Part 4

597 98 0
                                    

Puja, teman sekaligus tetangga samping rumahku nyengir sambil memainkan rambut ikal panjangnya. Sepanjang bulan setelah pembagian paket di balai desa itu. Di setiap aku bertemu dengannya, ia terus menyebut nama yang sama. Hugo.  Seperti anak perempuan lain yang terkena virus princess. Mereka ingin bisa menjadi teman Hugo. Lebih tepatnya, tujuan mereka; mereka ingin datang ke rumah penginapan Hugo.  Hotel itu, Arutala

Ingin mencoba menjadi pengunjung pertama.  Merasakan deretan sofa empuk di halaman muka penginapan.  Mencium bau interior kayu yang masih berbau pernish. Tempat tidur empuk mewah yang belum di tiduri, deretan menu mewah yang belum pernah di makan dan sebagainya. 

Hotel Arutala benar-benar membawa angin baru di desaku.  Terutama untuk Puja. Kakak  pertama nya yang tadinya tukang masak di salah satu resto kecil di dekat pasar di terima menjadi salah satu juru masak di hotel Arutala.  Prestasi luar biasa untuk keluarga Puja.  Karena seumur hidup, tujuh turunan, belum pernah ada satupun keluarga Puja yang bekerja memakai seragam sebelumnya. Dan itu berlaku juga untuk Rosa, ayahnya yang tadinya lama menganggur sekarang sudah menjadi tukang kebun disana. Juga anak-anak lain yang ayahnya banting stir dari petani musiman menjadi satpam atau sejenisnya. 

Keberadaan hotel Arutala menjadi kabar bahagia untuk sebagian orang.  Tapi kabar buruk juga untuk beberapa orang.  Seperti orang-orang sejenis pak Surya dan pak Nandi    yang terus mengeluh karena hutan yang biasa mereka pakai untuk menembak burung atau berburu binatang telah di beli oleh keluarga Hugo dan di pasangi tembok berduri sangat tinggi yang sulit di tembus. 

Ya, aku sendiri baru tau hutan bisa di beli dan ternyata bisa kalau uangmu sangat banyak sampai tidak bisa di hitung. Belum termasuk beberapa ratus meter tanah lain di sekitar danau.  Kini tanah itu menjadi wilayah penginapan yang kemungkinan besar akan di bangun menjadi bagian hotel.

Keluarga Hugo memang tidak membeli danau.  Tapi mereka menguasai tanah sekitar danau. Sama saja kan.

Kenyataan itu seperti pisau dengan dua mata. Permasalah danau selalu menjadi masalah pelik untuk desa kami, desa Sembagi

Danau Rettatisna, membentang dari ujung ke ujung. Membagi desa Sembagi menjadi tiga dusun.  Pusara mata air gunung. Danau dalam gelap tak berbayang namun jernih. Sumber air yang tak akan pernah habis di desa ku. 

Orang-orang tua di sekitarku, terutama ketua adat tertua selalu bilang, di zaman dulu tempat itu tempat pemandian bidadari. Tempat  keramat.  Biasanya peri itu turun di malam-malam tertentu, terutama di saat bulan berbayang dengan jelas di danau.  Hingga menjadi adat di desaku, untuk mengirim ke sekeranjang bunga, persembahan dan beberapa hal lain ke tengah danau dengan kapal kayu kecil di masa terang bulan setiap bulan Oktober. 

Beberapa warga desa yang berpikiran modern hendak membuat tempat itu menjadi tempat tujuan wisata.  Untuk tambahan dana kas desa dan memajukan ekonomi warga. Beberapa warga lain, terutama yang tua tetap ingin tempat itu menjadi tempat keramat. Terlindung dari dunia. Sisanya, diam nurut tidak mau tau. 

Seingat ku, ayahku pernah sekilas bercerita, golongan muda lah yang menang. Mereka membabat hutan bambu dan menggunakan bahan itu untuk membangun beberapa pendopo, kios-kios di sekitaran danau Rettatisna dan palang-palang besi penunjuk arah di jalan-jalan menuju ke desa kami. 

Untuk beberapa saat danau menjadi tempat yang ramai. Pengunjung dari desa-desa lain datang.  Tapi tidak bertahan lama karena hampir semua golongan muda punya pekerjaan lain selain hanya mengurus danau.  Rumput-rumput sekitar danau sering menjadi tidak terurus.  Tumbuh tinggi singup.  Ditambah  desaku memiliki tingkat curah hujan yang tinggi dan lembab, tidak ada kayu apapun yang tahan di bawah paparan alam desaku. 

Pondok-pondok bambu cepat lapuk. Fasilitas kurang memadai, Hujan deras menyapu bibit-bibit tanaman hias.  Wisatawan mulai kabur karena tidak ada daya tarik lain dari tempat ini.  Hingga akhirnya, ide wisata itu ikut lapuk tergerus tanpa dukungan dana. 

Ide itu mati untuk beberapa saat hingga hotel Arutala mulai di bangun. Harapan baru untuk sebagian orang dan pil pahit untuk yang lain.

Hotel Arutala tidak di kelola melalui dana desa. Resmi pribadi. Di bangun dengan material kokoh yang sulit di kalahkan kelembaban.  Seperti kebanggaan desa yang di rampok oleh  pihak asing, di dukung kepala-kepala dusun, desa dan pemerintah daerah yang sudah tutup mata karena pusing memikirkan kekurangan dana.

Setidaknya itu yang aku tau. Sekilas

Itulah yang ku maksud dengan pembicara ayahku dan kepala dusun yang membuat ku pusing itu. pembicara  yang sama bertahun-tahun tidak berubah sekalipun, umurku bertambah dan Hotel Arutala semakin besar membentang hingga aku hampir tidak mengingat lagi, bangunan asli yang di bangun di masa kecilku ketika aku masih duduk dibawah hujan di atas pagar batu sewaktu itu. 

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang