Part 52

416 90 18
                                    

"Puja." Aku berusaha terus menyapa Puja, datang ke ruang buffet, disela-sela waktu yang biasanya kuhabiskan dengan berkebun di paviliun Hugo atau memanggang roti, sekalipun reaksi Puja tidak membangun tapi tetap saja ia temanku, selamanya, "Kamu sebenarnya kenapa?"

Reaksi Puja masih sama seperti sebelumnya, tidak tampak tenang. Tegang. Seperti takut salah tapi disaat yang sama juga tidak nyaman. Ingin menghindar.

Tidak seperti Puja yang aku kenal.

"Kala? Atau sekarang aku harus manggil kamu nyonya Hugo?"

"Kala Hujan. Namaku tetap itu."

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya aku kenapa? Apa kamu peduli? Padahal semua sudah kutahan setengah mati." Puja mulai berbisik, ekspresinya kecut, matanya melirik kanan kiri, takut ada pramusaji Arutala lain yang mencuri dengar, "Aku tau, sebetulnya aku nggak boleh melampiaskan marahku ke kamu."

"Tapi aku sudah nggak tahan lagi Kala." Puja menggigit bibirnya, keras hingga berdarah, menatapku dengan wajah merah padam, "Kamu. Gara-gara kamu Kala. Kenapa kamu harus menikah dengan Hugo? Ibumu dan nenekku, setiap hari selalu bertengkar. Rumahku satu-satunya mau di beli ibumu sampai ke debu-debu nya. Aku bisa apa? Apa salahku?! Kenapa harus aku? Nenekku sekarang selalu marah, ngomel minta aku harus seperti kamu, menikah dengan orang seperti Hugo. Aku harus cari dimana orang seperti Hugo?! Kamu nggak tau rasanya Kala, rumahmu berubah jadi neraka."

.......................

Berbeda dari sebelumnya, kali ini aku menenggelamkan wajahku dalam lengkukan leher Hugo. Memeluk leher Hugo seerat mungkin dalam gendongan punggungnya dengan cara yang berbeda.

Perasaan nyaman mulai membanjiri. Apa ini mimpi atau bukan mimpi? Apa sihir nenek kembali bekerja atau doa ku setiap hujan datang benar-benar di dengar Tuhan?

Tadi aku tidak mendengar Hugo mengatakan sayang. Padahal aku butuh mendengar itu juga. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Supaya aku yakin bahwa ini nyata. Bahwa seseorang seperti Hugo juga menginginkan ku sejak lama, bukan karena nenek, bukan karena sihir, tapi karena aku.

Anehnya mulutku terkunci, aku tidak berani bertanya lagi. Aku takut mempertaruhkan perasaanku. Takut pada jawaban Hugo. Aku takut tidak bisa menerima fakta kenyataan tidak selalu bahagia. Aku takut perasaan Hugo yang nyata, nyatanya lebih dangkal dari perasaan artifisial yang diciptakan oleh nenek.

Karena kalau ini semua membingungkan bagi Hugo, maka ini semua lebih membingungkan untukku.

"Hugo, kita mau ke rumah lamaku?" Tanyaku, melihat rute yang Hugo ambil, kami berjalan di jalur pendakian yang nantinya pasti melewati rumahku.

"Iya, sudah terlalu malam. Lebih bagus buat mu langsung istirahat disana malam ini." Jawab Hugo, nada suaranya datar, tenang, stabil, "Besok pagi, kita baru pulang ke rumah kita."

Hatiku mencelos. Rumah kita. Seperti di aliri kejutan listrik dan air dingin bersamaan. Aku memeluk Hugo semakin erat. Aku suka cara Hugo menyebut kata kita. Aku sayang Hugo. Sayang. Laki-laki pertama yang paling aku sayang sedunia selain ayahku.

Sayangnya, kenyataan memang tidak selalu berakhir bahagia. Restoran rumahku sudah tutup saat aku tiba. Lampu sudah di matikan dan jalanan sepi.  Ketika Hugo menurunkanku dari gendongan dan aku berjalan pelan lebih dulu untuk membuka pintu belakang rumah lamaku, aku mendengar suara ibuku.

Suara desahan pelan.

Jantungku berhenti berdetak. Suara paling tidak pantas yang seharusnya tidak boleh kudengar.

Suara itu bertumpuk. Beradu. Dengan suara yang kukenal baik. Suara sahabat ayahku. Pak Phraya- kepala dusun.

Dengan gerakan mekanis, aku berbalik arah. Mendorong Hugo menjauh dari pintu. Mendongak menatap mata Hugo. Mencari perlindungan kembali. Seperti pengecut. Seperti anak kecil tak berdaya.

Hugo, yang jelas insting berburu dan pendengaran jauh lebih tajam daripadaku, langsung mengetahui apa yang kudengar. Hugo menggeram sementara aku buru-buru menggeleng.

"Kayaknya kita tetap harus pulang ke rumah kita, malam ini juga." Bisikku. Berusaha tampak ringan. Menepuk-nepuk jantung Hugo. Tempat yang dulu secara reflek sering kutepuk ketika Hugo sedang marah.

Hugo mencengkram bahuku, jemarinya kembali memutih. Murka. Jelas ingin merangsek maju. Menggebrak pintu. Tapi aku menggeleng. Terus menggeleng, terus menepuk dada Hugo. Mendorongnya menjauh. Menenangkan nya padahal hatiku jauh lebih tidak tenang, lagi-lagi berkecamuk berdarah-darah.

"Tidak apa-apa Hugo. Ibuku memang sudah lama kesepian."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang