Part 48

340 76 16
                                    

"Kita harus turun Hugo." Ujar pak Bhagya. Beliau dengan sabar tetap duduk di samping Hugo, di atas salah satu batu besar di dekat kawah gunung.

Hugo dengan keras kepala tetap menggelengkan kepala. Kepalanya tertuju jauh pada Padang rumput di bawah sana.

Pak Bhagya dengan lembut dan hati-hati menambahkan berkata, membujuk Hugo,  "Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan dari nenek, nak."

"Pasti masih ada yang tersisa."

"Padang rumput itu sudah jadi wilayah Harimau. Kita tidak boleh memotong jalur wilayah harimau. Harimau itu pasti tau dan kita akan di lacak."

"Jadi membiarkan nenek mati tanpa di kubur?!"

"Harimau tidak akan menganggap kamu sedang mengambil jasad nenek, tapi mereka akan menganggap kamu mengambil makanan mereka."

"Jenazah nenek di perlakukan lebih buruk dari Mbah Nata." Kemarahan Hugo mulai menggeliat, hingga jemarinya bergetar, "Dosa seburuk apa hingga harus mati di makan harimau? Apa lebih buruk dari dosa Mbah Nata?"

Pak Bhagya menghela nafas. Menghadapi Hugo dengan sabar. Anak laki-laki yang sudah ia anggap lebih dari anaknya sendiri, "Mbah Nata meninggal bunuh diri."

"Bunuh diri itu dosa paling hina, Hugo. Semua warga Sembagi hidup banting tulang, penuh cobaan sedari kecil, berkeringat darah. Siapa yang menyerah dengan nasib maka tidak akan punya tempat terakhir. Terkucilkan. Sendirian."

"Dosa paling hina? Apa itu dosa?" Hugo mulai terkekeh ketika melanjutkan berkata, "Bapak tau bangunan paviliun Arutala yang letaknya paling dekat dengan kandang rusa?"

"Kantor pribadi pak Gunther?"

"Seharusnya begitu."

"Seharusnya?"

"Saya tau ayah saya membawa banyak perempuan kesana. Semua orang di Arutala pasti tau. Kecuali ibu saya."

Pak Bhagya terhenyak, lebih tepatnya selain ibunya, Hugo juga seharusnya tidak tau soal hal ini.

"Ibu dan ayah saya punya hubungan yang agak aneh daridulu." Bibir Hugo mulai bergerak, mengucapkan hal-hal yang selama ini hanya ia simpan rapat dalam hati, "Saya sudah tau sejak lama. Sejak saya kecil. Tapi yang ibu dan saya tau, Arutala di bangun untuk jadi tempat satu-satunya untuk ibu saya tanpa perempuan lain di samping ayah. Apa permintaan ibu saya agak terlalu berat?"

"Maaf." Pak Bhagya akhirnya mulai memberanikan diri untuk bicara walaupun hatinya berat, "Apa Hugo akan memberi tau bu Gunther?"

"Apa saya bisa?" Hugo semakin tertawa, namun tawa nya terdengar menyakitkan, "Arutala tempat favorit ibu saya. Saya nggak bisa menyingkirkan ibu saya dari tempat yang paling beliau suka."

Pak Bhagya menghela nafas lega. Dengan sikap dan sifat Hugo selama ini yang cenderung keras dan tendensius, Pak Bhagya bersyukur Hugo lebih mengedepankan perasaannya sekarang. Karena faktanya, tanpa kabar buruk lain, kondisi kesehatan Bu Gunther akhir-akhir ini juga sudah tidak baik-baik saja.

"Bapak pasti sudah tau lama soal ini."

"Ya." walau kenyataan tidak selalu menyenangkan tapi beliau pantang untuk berbohong.

"Apa ayah saya juga alasan kenapa saya tidak boleh mengenal Kala?"

Lagi-lagi pak Bhagya hanya bisa terhenyak. Hugo memang cerdas. Walaupun ia lebih banyak diam, dingin tanpa komentar sebetulnya ia lebih cepat membaca situasi dari siapapun yang pak Bhagya kenal.

"Buah jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya. Darah lebih kental dari air. Dosa mengalir jauh ke keturunan. Proverbs-pribahasa seperti itu berdasarkan logika, ilmu pasti, mitos atau paranoid?"

"Saya tidak suka mempercayai mitos. Tapi disini saya belajar untuk mematuhinya. Jadi menurut bapak, apa saya harus menanggung dosa ayah saya? Apa orang seperti saya seharusnya tidak boleh menikah?"

"Tetua adat yang lebih bisa memberi jawaban, Hugo."

"Apa tetua adat berani bicara sejujurnya di depan saya dan ayah saya?" Ledek Hugo. Bagi Hugo, tetua adat desa Sembagi tidak ada bedanya dengan penduduk desa lain. Mereka hanya lebih tua tapi tidak lebih bijaksana. Didepan orang yang punya kuasa dan uang mereka tidak jauh beda dari penjilat, "Apa para tetua yang selama ini menentukan ini dosa paling hina atau bukan? Tergantung  pada pelakunya? Apa mereka juga yang menentukan nasib?"

"Bukannya Kala dan istri bapak juga sering di hina tetua adat karena punya darah asing? Bukannya saya juga? Tapi tidak ada yang menghina saya, setidaknya di depan saya."

"Hati-hati dalam berbicara Hugo." Potong pak Bhagya, beliau menatap Hugo khawatir. Cara berpikir Hugo yang terbuka dan gaya bicaranya tidak cocok disandingkan dengan gunung Sembagi yang Kramat.

Hugo menggertakan gigi. Tatapan mata yang sinis kini teralih pada pak Bhagya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

...............


Aku tersentak kaget karena lagi-lagi ketika aku membuka mata, wajah Hugo lah yang pertama kali muncul bersamaan dengan sinar matahari pagi yang redup.

Hugo memandangku lekat-lekat. Beliau duduk di atas tempat tidur dengan buku terbuka di atas pangkuannya. Disampingku, di balut dengan baju tidur yang biasanya selalu kusiapkan untuk Hugo. Dengan rambut hitam khasnya yang berantakan setiap bangun tidur.

"Hugo...." Aku menggigit bibir dalam-dalam, ketakutan, menunggu kemarahan Hugo kembali lagi, "Kenapa Hugo ada disini?"

"Ini tempat tidurku. Jadi seharusnya aku tidur dimana?"

Aku mengerjapkan mata. Bingung. Tidak begitu ingat kejadian sebelumnya. Apa kemarin aku menangis sampai tertidur? Aku tidak tau. Buru-buru aku memposisikan diri ikut duduk di samping Hugo. Dengan sengaja aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku dengan rambut ikalku yang jatuh ke samping. Memanjang hingga ke punggung.

"Maaf."

"BERHENTI MINTA MAAF."

"Hugo sekarang pasti nggak nyaman tidur di sampingku." Aku menggigiti jemariku, cemas, "Mulai sekarang aku tidur di kamar yang lain."

"Atas perintah siapa?"

"Eh?" Aku mendongak. Rasa cemasku bertambah berkali-kali lipat di tambah rasa bingung yang mencekik.

"Menurutmu semua orang termasuk pak Nawa akan berpikir apa kalau kamu dan aku tidur terpisah?" Hugo menelengkan kepala, bibirnya melengkung membentuk senyuman dengan gigi putihnya yang tertata rapih yang anehnya membuatku merinding takut.

"Tapi." Aku berusaha bicara, tapi aku bahkan tidak tau harus memulai dari mana, "Hugo tidak sayang aku lagi kan?"

Hugo terdiam.

"Sihir nenek." Aku menelan ludah, "Sudah berakhir."

Mendadak Hugo mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku membeku. Mataku membelalak. Tubuh Hugo yang besar menyelubungi ku. Menutupiku dari sinar matahari. Membayang gelap. Ketika bibir Hugo hanya berjarak beberapa Senti dari bibirku, Hugo mulai berkata pelan mematikan, "Juga menurutmu lagi, bagaimana kalau semua orang tau kamu memakai sihir nenek untuk menikah denganku, Kala?"

Mata abu-abu Hugo menatapku tajam, besi dan tanah, "Bagaimana kalau kabar ini sampai ke ketua adat?"

"Sampai ke ayahku,-pak Gunther?"

"Menurutmu, apa nasibmu?"

"Di bakar hidup-hidup." Bisikku, nafasku tercekat. Itu hal terburuk yang bisa terjadi selain di kucilkan.

"Lalu, apa nasibku?" Tanya Hugo, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat di keningku.

Aku menggeleng, Hugo punya segalanya, hukum tidak tersentuh pada orang yang punya kuasa, "Hugo tetap baik-baik saja."

"Oh ya?" Hugo akhirnya memundurkan wajahnya dari wajahku. Ia tertawa menghina, "Begitu kah?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang