"Nggak biasanya kamu pakai jaket parasut, Kala." Ujar pak Nawa ketika aku masuk dan duduk di mobil Hugo.
Aku tersenyum kecil. Berusaha mengabaikan fakta bahwa ternyata pak Nawa memperhatikan detail kecil tentangku. Biasanya aku selalu memakai sweater dan celana panjang sederhana. Ini memang pertama kalinya aku memakai jaket saat datang ke cabin milik Hugo.
Selama lima menit perjalanan, aku dan pak Nawa sama-sama terdiam dalam keheningan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku baru berbicara ketika mobil Hugo hampir melewati salah satu rumah ketua desaku.
"Pak Nawa?" Panggilku, jantungku mulai berdegup berantakan, "Saya di minta ibu untuk sekalian mengantar biskuit ini ke rumah Pak kepala desa."
Pak Nawa menoleh sedetik kebelakang, menatap tas kecil yang ku pegang yang memang berisi biskuit, "Kamu mau mampir?"
"Iya." Aku mengangguk gugup, "hanya sebentar."
"Hanya sebentar." Ulang pak Nawa, perlahan beliau memberhentikan mobilnya didepan rumah yang semua orang tau adalah milik tetua di desaku, "jangan terlalu lama, pak Hugo sudah menunggu."
Aku menggigit bibir cukup keras, hingga aku bisa merasakan sedikit rasa besi mengalir di bibirku, "Hugo sudah lebih sehat kan sekarang?"
"Beliau sudah jauh lebih sehat. Beliau pasti sekarang juga sudah menunggu kamu di depan cabin."
"Ya." Aku mengangguk, membuka pintu mobil, "Aku pasti segera kembali."
........
Aku berlari sekeras mungkin. Tersengal-sengal hingga rasanya paru-paru ku hampir meledak. Sayangnya, aku tidak boleh kalah dengan keadaan. Aku tidak boleh mengalah dari kakiku yang mulai gemetaran dan perutku yang tegang kesemutan.
Aku sudah sampai sejauh ini. Tidak mudah untuk menyusun rencana di belakang ibuku, lari kabur dari pak Nawa dan berjalan mengendap-endap di sekitar deretan rumah yang kebanyakan berisi para generasi paling tua desaku yang tanpa segan berkata kasar setiap melihat wajahku.
Sekarang aku sudah berhasil masuk dalam jalur pendakian tidak resmi dari gunung Sembagi, tidak seindah dan semudah jalur pendakian di belakang rumahku. Tapi bebatuannya masih bisa di toleransi.
Aku terus berjalan tanpa tau waktu. Patokan ku hanya pada kabut yang perlahan turun dan suara angin dari lembah yang mulai bergulung-gulung membawa bau air. Aku harus sampai minimal di pos pendakian tiga sebelum malam tiba. Karena aku tidak membawa apa-apa kecuali senter kecil, biskuit dan jaket.
Di pos tiga ada shelter, bangunan tua yang di bangun dari zaman ayahku kecil. Itu pos teraman yang aku tau dan sejauh ini hanya pos itu tempat terjauh di gunung yang pernah ku jangkau itupun dengan ayahku bertahun-tahun lalu.
Sayangnya untuk mencapai batas vegetasi, aku harus berjalan lebih jauh lagi ke atas, lebih dari pos lima. Hampir mendekati puncak.
Aku baru sampai di pos tiga saat langit sudah berubah gelap, suhu udara anjlok turun dan nafasku berubah menjadi kabut.
Pos tiga sepi.
Hanya ada aku dan bangunan tua berbentuk persegi berwarna putih kusam dengan atap jebol di beberapa bagian. Ukurannya tidak besar, berdiri di bawah pohon sangat besar dengan akar menjuntai di kelilingi kabut.
Sekarang bukan waktu liburan, bukan di akhir Minggu pula, tapi di musim yang di hindari oleh pendaki waras; waktu di penghujung tahun, gunung Sembagi terkenal dengan badai petirnya. Salah-salah, siapa saja bisa pulang dalam keadaan gosong.
Aku bergelung di pojok shelter. Memeluk diriku sendiri dan memaksakan diri menikmati bekal yang kubawa. Sedikit air mineral dan biskuit.
Aku tidak takut haus. Aku paham titik-titik mata air di sekitar pos tiga dan aku tau, hujan pasti akan turun juga setiap hari. Hampir setiap saat.
Aku lebih takut jatuh dari tebing karena batu yang licin dan tanah yang basah. Lebih takut lagi kalau seseorang menemukanku sebelum aku menemukan nenek.
Jadi aku berniat untuk terus melanjutkan perjalanan setelah beristirahat sebentar sekalipun di malam hari dengan penerangan sedikit.
Jangan remehkan gunung, Kala.
Suara Ayahku terus menerus bergema sedari tadi. Tapi aku berusaha mengabaikannya dengan terus menggelengkan kepala setiap baris kata itu teringat.
Anehnya semakin lama suara itu justru semakin keras. Berdenyut-denyut di kepalaku. Sampai otakku di kuasai eforia takut dan adrenalin.
Jangan gegabah. Jangan ceroboh, Kala.
Aku bangkit berdiri. Hatiku sendiri bertanya-tanya, terus mengejek diriku sendiri. Setelah semua cara ku lakukan, apa iya, nenek dalam cerita pak Kadus; nenek yang di temui oleh ayahku dan Hugo, adalah nenek yang sama yang kutemui di gubuk Mbah Nata?
Bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau aku malah tidak menemukan siapa-siapa?
Aku menggelengkan kepalaku lagi. Buru-buru melangkahkan kaki dalam gelap sebelum tekad ku berubah.
![](https://img.wattpad.com/cover/186925926-288-k726465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomansaMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...