Lagi-lagi aku melihat pohon yang sama. Aku hafal bentuk lengkungannya dan semburat seperti warna merah di salah satu batangnya.
Aku sudah melewati pohon ini tiga kali hingga perasaanku mulai gelisah. Karena putus asa, aku mulai menyentuh pohon itu. Mengusapnya sambil berdoa.
Setelah cukup lama, aku baru mendongak menatap langit. Kalau langit cerah aku bisa membaca bintang. Tapi langit Sembagi hampir selalu mendung jadi langit pun tidak bisa menolong ku sekarang.
Maka perlahan aku duduk, aku hampir tidak berkeringat. Tapi badanku terasa terbakar. Aku mulai lelah dan tubuhku sudah sampai batasnya.
Kamu itu sudah ayah bilang, jangan ceroboh. Teriak ayahku dalam kepalaku.
Seperti ayahku benar-benar nyata memarahiku, aku meringis takut. Maaf ayah. Bisik ku dalam hati.
Duduk, tetap tenang!
Aku mengangguk nurut. Dulu aku pernah mengalami hal seperti ini juga bersama ayah dan solusi ayahku waktu itu juga cuma tetap tenang. Duduk, berdoa.
Karena itu aku mulai memijat kakiku sendiri dan melepas sepatu yang kupakai. Sepatu olahraga yang sudah bertahun-tahun kumiliki sampai sol nya tipis. Sembari mengatur nafas.
Aku juga terus menatap langit, langit benar-benar tidak berpihak padaku karena aku mulai melihat Sambaran petir di antara gulungan awan hitam bercampur dengan kabut yang membuat jarak pandang ku hanya sekian meter. Angin berubah menjadi semakin kencang. Menggigit kulitku. Mencakar menembus tulang. Anehnya aku tidak merasa dingin lagi seperti sebelumnya. Justru aku merasa sangat kepanasan.
Ini hipotermia, Kala. Bisik Ayahku panik, Seharusnya kamu tidak pergi. Jangan pergi. Jangan ceroboh.
"Aku tau, ayah." Ujar ku, sekalipun kepanasan bibirku bergemeletukan.
Jangan tidur. Jangan tidur Kala. Cepat kembali. Berlindung di shelter. Kamu harus pulang. Ini belum waktunya.
Aku mengangguk-angguk. Hatiku ingin menuruti ayahku tapi tubuhku menolak. Mataku mulai terpejam. Aku mengantuk. Tanpa sadar aku tetap mendongakkan kepala. Membiarkan air hujan seperti es batu mulai menerpa wajahku dengan keras.
Dingin dan panas.
Membingungkan.
Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.
Yang aku tau. Aku bermimpi bertemu dengan naga, dengan peri gunung dari cerita rakyat desaku. Aku menari-nari sambil mengitari Api unggun bersama ayahku. Menyenangkan sekali. Ada banyak burung dan rusa. Aku suka. Aku suka mendengar suara cicitan binatang yang bahagia diantara pohon dan bunga-bunga.
Mataku terkunci rapat dalam waktu lama sampai aku merasakan sesuatu yang hangat mulai menjalari ku. Menganggu tidurku. Mimpiku yang seperti nyata. Lebih indah dari kenyataan. Padahal aku tau dalam mimpi aku terus berteriak, ini tidak nyata! Ini cuma mimpi! Tapi disaat yang sama aku tidak mau terbangun. Aku ingin terus tidur terbuai mimpi.
Rasa hangat itu terus bergerak. Mempercepat detak jantungku. Membuat nafasku mulai bergerak dalam irama normal. Disaat yang sama aku bisa merasakan hembusan nafas yang lain. Aroma asing yang berbeda dari bau hujan, tanah dan lumut. Bau hangat yang mengingatkan ku pada aroma kamar Hugo yang manis dan harum.
Seketika aku tersentak, nafasku tersengal dan mataku membuka lebar. Pemandangan buram dihadapan ku berubah menjadi sebuah lengkungan leher maskulin. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan jakun nya bergerak bersamaan dengan otot-otot lehernya. Aku buru-buru menunduk gugup, aku ingin mengalihkan mataku ke tempat yang lebih sopan, tapi keputusanku salah. Dibawah lengkungan leher itu aku justru melihat tubuh tegap bertelanjang dada dengan lengan yang tiga kali lebih besar dari lenganku, memelukku keras-keras seperti aku batu.
"Kala." Bisik Hugo tepat di telingaku.
Aku kembali mendongak. Menyembulkan kepala dari pelukan lengannya untuk menatap mata abu-abu Hugo.
"Kala." Bisiknya sekali lagi. Dari dekat aku bisa melihat dengan jelas, bibir Hugo terus bergerak. Sementara tangannya lebih sibuk lagi menutupi punggungku dengan benda entah apa, mungkin selimut atau jaket.
Kami berada di sebuah tempat berwarna merah. Melingkupi ku seperti tenda. Atau memang ini tenda? Pikirku bingung, bukan seharusnya aku ada di bawah pohon?
"Kala, kamu dengar aku?"
Bibirku masih bergemeletukan, seperti hampir menggigit lidahku sendiri. Aku sulit untuk bicara. Menggerakkan sebagian besar tanganku saja aku masih belum bisa.
"Jangan tidur Kala. Jangan tidur. Cepat kembali. Ini hipotermia." Hugo membenamkan kepalaku di dadanya lebih erat.
Aku mengangguk pelan.
"Kenapa kamu ceroboh !?" Seru Hugo. Kerutan wajahnya, ekspresi dan rautnya mirip Ayahku saat memarahiku.
"Maaf, Hugo." Bisik ku, kesadaran ku masih timbul tenggelam.
"Jangan remehkan alam Kala." Ucap Hugo di pipiku sebelum ia mencium seluruh wajahku sampai keningku hingga pipi ku yang kebas mulai merona.
"Iya." Bisik ku kembali sementara hatiku bertanya, apa boleh aku satu kali saja menjadi anak tidak baik dengan menikah dengan Hugo?

KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...