"Kala, kamu kenapa bengong? Apa kamu nggak jadi berangkat?" Tanya Puja. Ia nyelonong masuk ke kamar ayahku.
Aku berjengit kaget, begitu juga pak Kadus.
"Lain kali ketuk pintu dulu." Protes pak Kadus pada Puja.
"Kala yang dari tadi di panggil tidak menyahut." protes Puja balik.
Aku tersenyum canggung. Kuakui seharian aku tidak begitu memperhatikan sekitarku. Masih dalam kebingungan ku sendiri dengan ingatanku yang membingungkan.
Cuaca hari ini berjalan sesuai dengan ingatan yang kuingat. Gelap mendung, siang seperti malam. Gerimis sepanjang hari. Ucapan Mbah Djiwo dan pak Kadus sama pula seperti dalam ingatanku. Sama juga dengan waktu kedatangan pak Nawa ke rumahku. Tapi kali ini aku tidak pergi ke hutan. Aku memilih berdiam dalam rumahku. Termenung berjam-jam. Memandangi lenganku yang masih basah terluka Patukan ayam. Luka berdarah yang aneh.
Seperti mimpi tapi bukan mimpi.
Dan hingga malam ini, aku masih terbuai mimpiku yang aneh.
"Ayo pergi Kala!" Seru Puja tak sabar. Suaranya yang lantang membuat ayahku yang seperti batu melirik nya dengan matanya, "Nanti kita sampai di sana terlalu malam."
Aku mengangguk, mencium ayahku pelan berpamitan, kemudian menatap pak Kadus yang tersenyum menyemangati. Saat aku melangkah pak Kadus sempat berkata pelan lambat, "Jangan lupa berdoa saat hujan, Kala."
Aku menoleh kebelakang lagi dan berkata ya, disaat yang sama Puja di sampingku menarik ujung lengan bajuku sambil berkata, "Kamu masih percaya hal begitu? Doa di kala Hujan bakal terkabul ?"
"Iya." Aku mengangguk. Jangan lupa berdoa di kala hujan itu ucapan yang sering di ucapkan oleh orang-orang tua di desa kami saat ada keluarga mereka hendak pergi keluar dari rumah. Semacam kebiasaan turun menurun.
"Apa karena nama mu itu Kala hujan?"
"Mau namaku kala badai petir, Kala siang panas-panas, aku tetap percaya hujan membawa berkah, puja. "
"Karena kamu anak petani." Ledek puja.
Aku tertawa kecil, aku selalu bisa tertawa disaat hatiku sedih, "iya mungkin. Tanaman ayahku kan butuh air. "
Puja ikut nyengir dan ia langsung buru-buru menarik tanganku masuk kedalam rombongan orang-orang desaku yang berduyun-duyun menuju ke hotel Arutala.
Seperti kawanan lebah madu, mendatangi ratunya. Seperti tradisi berdoa di saat hujan maka datang ke hotel Arutala untuk perjamuan juga telah menjadi budaya.
Budaya yang tidak aku suka.
Tapi aku harus membuktikan mimpiku. Melihat dengan mataku sendiri apakah mimpiku memang benar hanya mimpi atau hanya sekedar halusinasi.
Aku berjalan melewati jalan berbatu berwarna merah yang dulunya adalah Padang rumput besar yang sering ku lewati sambil berlari menembus kabut seputih awan. Kabut yang ku tembus sekarang menuju hotel Arutala lebih tipis dibanding kabut saat aku kecil. Tapi desaku tetaplah masih desa kabut. Desa tertinggi. Paling dekat dengan langit.
Bedanya lagi di sekeliling ku, bukan lagi rumput tapi berdiri bangunan-bangunan yang membuat ku teringat kartu pos tua bergambar tempat-tempat indah didunia. Bangunan yang di dominasi batu dan kayu kualitas tinggi. Membentuk arsitektur seperti sebuah bangunan kerajaan eropa. Di hiasi lampu-lampu jalan berlekuk hitam cantik. Berpedaran berwana kuning.
Di jendelanya yang menonjol dan besar, aku bisa melihat benda-benda hiasan, kue-kue dan permen cantik yang tertata dan tentu saja baju-baju cantik berwarna-warni.
Tempat itu hanya berjarak beberapa meter dari rumahku, tapi aku tak pernah kesini, karena ini dunia yang berbeda denganku.
Dunia yang tidak bisa ku jangkau.
Dari salah satu jendela kaca. Aku bisa melihat sekilas pantulan diriku. Aku memakai baju terusan panjang putih dengan corak bunga Daisy. Selutut. Berbahan santin. Jatuh dengan halus di tubuhku. Baju yang di belikan ibuku khusus untuk perjamuan sekalipun harus berhutang.
Gaunku berlengan pendek, tapi dengan sengaja aku memakai sweeter coklat kayu. Aku tidak mau siapapun melihat bekas luka di tanganku karena mereka akan bertanya-tanya asal muasal lukaku. Padahal aku sendiri bertanya-tanya dan aku juga tidak tau jawabannya.
Di bagian bawah, aku memakai sepatu putih gading dengan bagian ujungnya berwarna coklat kayu. Sepatu yang amat sangat jarang sekali kupakai karena aku biasa memakai sendal bekas Ibuku.
Aku tidak memakai riasan apapun, kecuali bedak tipis milik ibuku dan rambut panjang ku, kubiarkan terurai. Hanya orang-orang generasi purba yang suka protes pada penampilanku, warna rambutku, tapi orang-orang seumuran ku. Orang yang tumbuh besar bersamaku rata-rata tidak peduli warna rambutku apa.
Tak berapa lama aku sampai di depan pintu masuk hotel Arutala yang selalu kelihatan lebih megah dari waktu ke waktu. Bangunan ini berlantai marmer, dihias kayu termahal, di bangun dalam bentuk sangat cantik. Berbeda struktur dari bangunan-bangunan penduduk lokal yang biasanya kuno, tak berseni, membosankan.
Lampu berpendar kuning bersinar terang. Menyinari jalan kami menuju aula yang sudah ku hafal.
Langkah kaki ku semakin pelan tapi nafasku berubah memburu. Puja yang dari tadi bertahan diam memperhatikanku dengan penasaran akhirnya bertanya heran, "Kamu kenapa Kala? Kenapa kamu kelihatan takut ?"
"Iya aku takut. " Aku mengangguk mengakui. Kakiku melangkah semakin dekat menuju aula, "Aku takut mimpiku jadi kenyataan, tapi aku juga takut kalau mimpiku bukan nyata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomanceMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...