Part 22

607 100 5
                                    

Aku membuka pintu dan melihat ayahku duduk sendirian di dapur terbuka rumahku yang menghadap langsung ke kebun sayur. Di hadapannya ada se ember penuh daging, tulang dan kulit hewan.

Udara dingin tengah malam langsung masuk kedalam rumah lewat pintu yang kubuka, menusuk kulitku bersamaan dengan bau air bercampur darah.

Wajahku memerah. Aku mau muntah.

Ayahku menoleh. Begitu melihatku, beliau buru-buru menyembunyikan pisaunya ke dalam ember, "Kala, kenapa kamu belum tidur?"

"Karena ayah belum tidur."

"Ayah masih lama. Kamu tidur dulu saja."

"Ayah kan baru pulang berburu seharian. Kenapa ayah nggak langsung istirahat?"

"Tanduk rusa ini harus ayah antar besok pagi. Jadi sekalian saja ayah potong semua dagingnya."

"Tanduk rusa buat siapa?" Mataku berkilat tidak suka, "Untuk apa tanduk rusa?"

"Ini hadiah dari ayah untuk Hugo." Ayahku berusaha membuat perasaanku lebih baik dengan tersenyum. Beliau tau aku paling tidak suka membunuh binatang, "Hugo suka dengan rusa."

"Kalau suka seharusnya tidak di bunuh."

"Kala, ini keinginan ayah sendiri. Bukan karena permintaan Hugo." Ayahku dengan sabar berkata, "Hugo dan keluarganya sudah banyak membantu ayah. Ayah harus banyak-banyak membalas budi mereka."

Keningku bertaut, aku tau keluarga Hoheng banyak membantu warga desa. Aku tau mereka memang sering menggelontorkan uang semudah membuang nafas. Yang aku tidak tau, ternyata keluargaku juga sering di bantu.

"Keluarga Hoheng itu orang- orang baik. Terutama Hugo. Usianya tidak jauh beda dengan kamu, Kala. Tapi wibawa, Kebaikan dan pintarnya itu luar biasa."

Keningku bertaut semakin dalam, aku sedikit tidak percaya, "Hugo sebaik itu menurut ayah?"

Ayahku mengangguk, "Jangan lupa Kala, kita tidak boleh menunggu harus kaya dulu untuk selalu berbuat baik. Supaya kita di jodohkan dengan orang yang baik. Supaya kita di Kelilingi orang-orang baik."

. . . . . 

Kamu harus bertanggung jawab Kala.

Ciuman pertama Hugo, di ikuti kedua, ketiga, berkali-kali hingga aku tidak bisa menghitung.

Tubuhku mematung.

Aku baru sadar saat tatapan mataku tidak sengaja bertatapan dengan tatapan dua pramusaji di pojok terjauh ruangan. Ekspresi mereka seperti orang hampir mati berdiri. Wajah mereka merah padam lebih merah dari se vas bunga di atas meja makan marmer.

"Berhenti." Tanganku sekuat tenaga berusaha mendorong bahu Hugo, "Tolong berhenti."

Dalam kondisi normal aku pasti sudah sangat marah. Tapi disini aku  sadar, memang aku yang salah. Aku harus terus mengingat kan diriku bahwa Hugo bertindak begini karena memang... salahku.

Hati-hati dalam berdoa Kala. Hati-hati dalam berucap. Kita tidak tau doa mana yang akan di kabulkan tuhan.

Suara ayahku kembali bergema dalam kepalaku. Telingaku sampai berdenging. Rasa bersalah menghantam ku kembali bersamaan dengan rasa kasihanku pada Hugo.

"Aku baru berhenti, kalau kamu sudah mencium ku balik." Hugo berkata pelan, aku bisa merasakan hembusan nafas hangatnya di pipiku yang merona. 

Nada suara Hugo barusan ringan seperti kami sedang bercanda. Beda jauh dari suaraku yang terdengar seperti cicitan hewan yang tercekik saat berkata, "Hah?"

Tiba-tiba dengan sukarela Hugo memundurkan tubuhnya. Ia kembali dalam posisi duduk tegap. Disaat yang sama dari jendela kaca besar seberkas cahaya matahari langsung menyinari sebagian wajah Hugo. Membuat warna matanya terlihat lebih terang. Membuat Hugo tampak berkali-kali lipat lebih berbahaya untukku. 

Bibir Hugo tersenyum, "Cium aku, Kala."

Sekarang, aku jadi lebih mengasihani diriku sendiri. Kasihan aku, bisa-bisanya aku menceburkan diri dalam masalah bersama orang seperti Hugo.

"Aku nggak salah dengar?" Wajahku berubah menjadi tolol.

"Apa perluh ku ulangi lagi lebih keras?"

Aku bergidik ngeri, "Nggak perluh."

"Apa perluh kucium kamu lagi?"

"Nggak." Aku menggeleng dengan cepat, terperangah. Wajahku semakin merah padam. Kata cium masih terdengar tabu bagiku, bagi rata-rata warga desa Sembagi. Tapi Hugo mengucapkan itu semudah membahas soal cuaca. Apa karena ia keturunan campuran? Tapi aku sendiri kan juga keturunan campuran.

Keluarga Hoheng itu orang-orang baik, Kala. Terutama Hugo. Dia anak laki-laki yang baik.

Lagi-lagi suara ayahku bergema. Ayahku selalu pintar menilai orang. Sayang sekali kali ini aku yakin ayahku salah total.

"Then kiss me." Hugo melanjutkan berkata  disaat aku masih tenggelam dalam ingatanku. Tanpa sedikitpun tersirat rasa ragu atau malu di wajahnya, "five times."

Aku menggertak kan gigi, "Kenapa harus lima?!"

"Kamu mau sepuluh kali? Atau setiap menit? Atau setiap detik?"

"Tapi lima itu mirip jumlah berapa kali pak Nawa akan datang sebelum menyita rumah."

Aku paling benci dengan angka lima.

Hugo sontak tertawa, "Ya, memang."

"Jadi Hugo suka menyita rumah, tanah orang-orang yang benar-benar nggak bisa apa-apa?"

"Itu bentuk tanggung jawab dan komitmen mereka."

"Bukannya Hugo seharusnya tau, lebih banyak warga Sembagi yang gagal membayar daripada yang berhasil melunasi?"

"Apa kamu mau keluarga ku berhenti untuk meminjamkan dana usaha untuk warga desa?" Hugo tersenyum sangat lebar sekarang.  Dengan senyum yang sama seperti waktu ia melempar burung biru berlumuran darah di hutan padaku, "Uang pinjaman dengan bunga kecil apa itu kurang murah hati untukmu Kala?"

"Tapi Hugo nggak butuh rumah dan tanah sebanyak itu." Sergahku sebelum melanjutkan dengan tidak sabar, "Hugo pasti tau orang-orang desa Sembagi hidup turun menurun sebagai petani, mereka tidak tau masalah bisnis."

"Itu pilihan mereka." Hugo mengelus dagunya dengan santai, "Tapi kalau kamu mau, aku bisa mempersulit orang-orang untuk meminjam dana."

Aku menggigit bibirku dalam-dalam. Membalas tatapan santai Hugo dengan perasaan tidak karuan, "Hugo, mungkin uang pinjaman yang kamu beri ke warga desa tidak seberapa untuk Hugo, Tapi mungkin itu uang terbanyak yang pernah mereka punya."

Hugo tertawa, "Uang yang mudah di dapat, memang mudah di habiskan." Ujarnya lalu Hugo kembali mencondongkan tubuhnya mendekatiku untuk melanjutkan berkata pelan, "Menurutmu kenapa aku memudahkan pinjaman uang tanpa bunga besar, padahal aku tau mereka tetap tidak akan bisa membayar ?"

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang