"Kala hujan."
Suara itu mendadak bergema. Familiar sekaligus asing. Aku tidak pernah mendengar suara seberat, se menggaung ini dalam hidupku namun di saat yang sama aku seperti pernah mendengar suara ini dalam mimpiku.
Kala hujan. Itu namaku.
Aku mengedipkan mata. Menunggu Hugo mengucapkan kalimat lainnya untuk memastikan Hugo memang menyebut namaku atau hanya sekedar membahas soal cuaca malam ini.
Tapi Hugo masih diam. Tatapan matanya berubah semakin tajam. Bukan tatapan jatuh cinta. Aku harus kembali mengingatkan diriku sendiri. Itu bukan cara ayahku menatap ibuku. Bukan wajah seorang ibu menatap anaknya yang baru lahir, bukan pula tatapan seseorang menatap binatang peliharaan kesayangannya.
Itu tatapan Hugo yang sama seperti saat ia hendak menembak ku bersama ayam.
Tanpa sadar, aku berjalan mundur satu langkah dan di setiap langkah mundur ku, Hugo melangkah semakin mendekat.
Nafasku macet. Otakku tidak sempat berpikir dan suara hujan mengacaukan indra-indra ku. Aku belum pernah merasa se takut ini. Se terancam ini.
Langkah kakiku semakin cepat mundur kebelakang. Dalam bayanganku, aku adalah semak hydragea yang menunggu di injak. Tidak seperti bayangan ibuku, yang berharap aku jadi gadis pemberani yang langsung bisa bicara panjang lebar begitu bertemu dengan Hugo. Meminta keringanan pada hutang keluarga kami atau kalau bisa di lunas kan sekalian tanpa tau malu.
Sejalan dengan langkahku, langkah kaki Hugo juga terus maju. Langkah kakinya dua kali lebih panjang dari kakiku. Ia menjadi dua kali lebih menakutkan di setiap langkah jarak kami menipis.
Satu-satunya yang akhirnya menghentikan langkahnya adalah ketika aku terjebur ke air danau. Aku menggerakkan tanganku ke segala arah. Panik. Kakiku kurang sejengkal dari dasar pinggir danau. Aku nyaris tenggelam kalau bukan karena tanganku tanpa sengaja menyentuh besi pondasi dek beranda kayu danau.
Nafasku tersengal. Kehabisan nafas. Anak-anak perempuan di desaku di desain untuk bermain di hutan, berlarian di padang rumput, menebus hujan tanpa takut batuk pilek, tapi kami tidak di desain untuk pintar berenang.
Tanpa pilihan lain, aku meniti kayu dan besi dek. Aku bergerak pelan menuju pinggir danau. Bajuku basah kuyup dan kini aku gemetaran oleh dua hal yang berbeda; dingin dan rasa marah.
Semua karena Hugo.
Manusia yang hanya diam menatapku saat aku keluar dari danau dalam keadaan basah kuyup. Tepatnya menatapku dengan pandangan dingin namun bibirnya tertarik sedikit kesamping seperti setengah tersenyum. Tanpa inisiatif seharusnya seorang gentleman yang melihat orang nyaris mati tenggelam.
Pemandangan itu membuatku tercengang.
Aku berteriak dalam hati. Aku marah. Putus asa, benci menjadi satu. Kontrol tubuhku hilang dan logikaku kalah dengan perasaan, karena ketika aku sadar. Aku sudah melayangkan pukulan tinju telak pada dada Hugo yang sekeras batu.
Aku meringis kesakitan dan langsung menyesal karena senyum separuh Hugo berubah menjadi senyum betulan.
Itu adalah senyum orang yang jelas jarang tersenyum. Karena senyuman itu kaku. Seperti orang yang sedang ngejek.
Dibalik senyumnya. Tangan Hugo yang sama sekeras batu seperti badannya itu dengan cepat menggenggam pergelangan tanganku. Erat. Kasar. Seperti menggenggam hewan buruan.
"Kala."
"Kenapa!?" Seruku, aku bahkan melupakan fakta bahwa seorang Hugo yang memanggil namaku dan Hugo benar-benar tau namaku.
"Ya; kenapa?" Hugo tertawa. Suara tawanya mirip suara tawa ayahnya, pak Gunther, berat kasar dalam, "Kala, kenapa kita tidak bahas sebentar kejadian barusan?"
"Kejadian yang mana!?" Ucapku tanpa sadar lalu malu sendiri karena bisa-bisanya aku melontarkan pertanyaan aneh begitu tanpa pikir panjang.
"Jangan lupa. Kamu barusan memukul saya, Kala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reminiscent (Completed)
RomansaMaybe the way you feel is out of my control And if I'm honest, I know having you is too good to be true But I can't help myself from giving you my all this work dedicated for people who likes real, pure, simple, distopia Innocent love story thanky...