Part 5

669 105 9
                                    

Keluarga Hohenstaufen schonberg.  Itu nama marga keluarga pemilik Hotel Arutala. Dari aku kecil hingga besar, hingga detik ini, aku masih tidak bisa menyebut nama marga keluarga itu dengan benar. Maka aku mengikuti warga desa yang lain yang sama-sama tidak bisa menyebut. Karena susah di sebut, nama marga keluarga Hugo lebih di kenal sebagai Hoheng di desa ku. 

Warga desa lain atau pelancong yang tidak tau. Bila sekilas dengar, seringkali mengira keluarga Hoheng itu keluarga Chinese pemilik toko sembako di ujung jalan desa kami. Padahal ya bukan.

Keluarga Hoheng, terutamanya sosok utamanya, pak Gunther. Bule yang dulu pernah kulihat. Ayah dari Hugo.  Mereka adalah pemilik tempat wisata Arutala. Orang-orang yang paling berpengaruh bagi desa kami mengalahkan aparat desa dan kroninya. 

Setelah dua belas tahun berjalan. Arutala sudah bukan lagi hotel.  Kelasnya sudah berubah menjadi tempat wisata yang merambah semua sektor di desaku. 

Hanya dalam waktu dua belas tahun, desaku telah berubah bagai langit dan bumi. Desa yang dulunya sepi tanpa pendatang sekarang desaku bahkan sering masuk media. Desa terindah.  Seperti mimpi. 

Ujung barat danau yang tadinya di tumbuhi rumput setinggi dengkul kini berubah menjadi lapangan rumput besar penuh rusa. Di sisi timur, kebun bunga, Sisanya kebun binatang kecil yang jauh berbeda dari kebun monyet tangkapan sendiri yang dulu pernah di usahakan oleh golongan muda desaku dalam usaha menyedihkan mereka membangun tempat wisata. Berderet-deret toko cantik menjual berbagai macam benda hasil kerajinan desa kami.  Belum termasuk bangunan-bangunan serupa kincir raksasa dan arsitektural klasik Eropa. Yang membuat  desaku tidak seperti desa umumnya; seperti negeri dongeng.

Desaku sekarang selalu ramai pengunjung bahkan membeludak di akhir pekan. Hampir semua warga sudah banting stir.  Kami bukan desa yang bergantung lagi pada hasil kebun.  Kami desa wisata. Banyak warga yang akhirnya membangun penginapan mereka sendiri.  Jauh beda dari hotel Arutala tapi ramah di kantong untuk pelancong miskin. 

Sebagian warga lain bekerja di hotel atau tempat wisata Arutala.  Sisanya membangun usaha mereka sendiri-sendiri untuk mengikuti perkembangan. 

Termasuk ibuku, di usiaku saat ini  21 tahun. Tanpa harapan untuk kuliah.  Karena lebih mudah bagi ibuku menyerahkan ku untuk bekerja di warung kelontong daripada menguliahkan ku jauh-jauh ke kota. 

Kini aku sibuk mengurus ayahku yang sudah tua. Hanya bisa duduk atau tidur di kasur. Sementara ibuku sejak lima tahun lalu membuka warung makan di depan rumahku. 

Rumah makan keluargaku adalah  rumah makan paling mewah dari deretan rumah makan lain yang di bangun di sekitar rumahku. 

Tapi juga yang paling sepi.

Ibuku menjual masakan seafood. Agak aneh karena kami tinggal di gunung. Bagi ibuku yang berpikir idenya adalah yang paling spektakuler, ini adalah ide bagus. Tapi tidak juga. Karena mengurus seafood itu susah. Membelinya lebih susah karena kami di gunung dan kenyataannya warga desa kami kebanyakan tidak suka seafood.  Apalagi pengunjung wisatawan desa kami tidak mencari seafood sebagai pilihan santapan mereka.

Memang, warung seafood keluarga ku sempat sampai di masa jaya. Terbuai dengan kejayaan, ibuku meminjam lagi suntikan dana dari keluarga Hoheng itu. Karena selain bisnis pariwisata, mereka juga memberikan bantuan pinjaman dana dengan bunga rendah hanya dengan jaminan surat tanah khusus pada warga desa Sembagi

Bagi sebagian orang, dana pinjaman itu adalah salah satu bukti balas Budi keluarga Hoheng. Balas jasa karena para warga memperbolehkan mereka; keluarga Hoheng, mengelola danau desa dalam damai. Sementara sebagian warga lain menuduh keluarga Hoheng merampok tanah desa dengan cara pelan halus. 

Banyak warga yang usahanya gulung tikar dan terpaksa merelakan tanah-tanah mereka demi membayar hutang di keluarga Hoheng. Walaupun ada juga yang usahanya semakin membesar hingga sukses.

Sementara ibuku, yang masih terbuai Pucak jaya yang hanya sesaat.  Tidak menyadari bahwa kemewahan restoran keluarga kami tidak memberikan dampak signifikan pada jumlah pengunjung dan malah hanya menambah hutang,

Bukannya sadar, ibuku hanya tutup mata. Semakin tutup mata.  Semakin  keras kepala. 

Aku beruntung karena aku tidak lahir dengan ke keras kepalaan ibuku tapi aku menuruni stress ayahku setiap menghitung jumlah hutang keluarga kami yang terus bertumpuk. 

Puncaknya ayahku terkena stroke. Hutang pembangunan restoran pun bertambah menjadi utang operasional dan hutang pengobatan.  Tumpah ruah hingga kalau ku hitung jumlah nol nya bisa sampai ratusan juta. Jumlah fantastis untuk keluarga kami. 

Keluarga ku jadi seperti tikus yang kelaparan di lumbung padi.  Aku hidup kekurangan di rumah dan restauran mewah yang di bangun ibuku dari hasil berhutang. 

Hingga menjadi sebuah paradoks paling ganjil dalam hidupku. 

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang