Part 59

509 84 14
                                    

Aku berjalan mengendap-endap sampai aku yakin aku bisa dengan aman memasuki pinggir hutan. Hutan segelap yang kukenal. Aku terus berlari dan berlari hingga aku sampai di semak Hydragea favoritku. Turun melalui jalur pendakian disana untuk masuk ke rumahku yang lama. Aku masih menyembunyikan kunci rumahku yang lama diantara dinding batu. Rumahku aman dan sepi. Sekitarnya sepi. Semua orang masih ada di malam perjamuan. Termasuk ibuku.

Dengan cepat aku mengambil barang sebisaku. Jaket tua, pisau dan beberapa bahan makanan restoran ibuku. Lalu dengan cepat pula kembali ke jalur pendakian. Hanya berbekal seadanya dan satu senter tua kecil.

Aku berjalan menanjak. Melewati gubug tua Mbah Nata. Kembali berdiri di tempat terakhir aku mendengar sayup-sayup suara nenek. Lalu aku kembali berlari lagi. Berlari dan terus berlari sampai jantungku seperti balon helium yang nyaris meledak.

Aku tidak punya infomasi banyak tentang Anagata. Yang aku tau, menurut cerita, Anagata paling sering muncul di jalur punggung naga. Ketika kabut turun dengan cepat disana dan ketika seseorang sungguh-sungguh berdoa di kala hujan turun.

Detik ini, hujan masih turun rintik-rintik. Selama itu aku terus berdoa dan berdoa. Aku ingin bertemu nenek. Menyelamatkan ayahku. Aku harus mencari tau sendiri. Karena seperti aku mengenal ayahku, Mbah Djiwo dan semua orang warga desa. Aku juga kenal pak Phraya dan ibuku. Mereka tidak akan pernah mengakui apa-apa. Jalanku buntu kalau hanya berharap mereka menjawab pertanyaanku. Berharap mereka melakukan usaha yang sama besarnya sepertiku,- padahal mereka, yang kutau, yang menbuat ayah begitu.

Aku sampai di pos tiga jalur pendakian melebihi tengah malam. Suara-suara binatang malam memekik. Gelap gulita. Hanya ada aku dan bahkan bayanganku di telan kegelapan. Menghilang. Anehnya aku tidak takut. Hutan tidak pernah membuatku takut.

Kala, jangan pernah takut dengan roh dan jiwa yang ada di hutan. Mereka ada sejak dulu. Sebelum leluhur kita ada. Mereka menjaga langit, menjaga bumi. Kamu harus lebih takut pada manusia.. Manusia bisa lebih jahat dari roh paling jahat. Suara ayahku berteriak di kepalaku bersamaan dengan suara Hugo, -Jangan pergi. Jangan remehkan alam, kamu nggak akan pernah jadi tanduk rusa yang akan di buang begitu bosan. Jangan menyerah untuk kita, Kala....

Kabut muncul dari hembusan nafasku. Aku mendongak menatap langit. Kemudian menjatuhkan mataku kembali ke gundukan tanah di antara akar kayu. Suhu sudah turun di bawah lima belas derajat karena aku bisa merasakan tanganku mulai kebas.

Setelah berpikir cukup lama. Akhirnya aku  duduk. Bergelung memeluk diriku sendiri. Di atas tanah. Kelelahan. Setelah lama terdiam tanpa sadar aku mengeluarkan beberapa butir buah darah dari dalam tas kecil yang kubawa. Serupa ivy berry, tapi beracun ringan. Warnanya merah menyala. Buah yang menjadi rahasia untukku dan hanya ayahku.

Kala, kamu lihat buah ini? Ayahku menunjuk semak dengan buah warna darah menarik di bawah pohon pinus yang banyak di desaku, buah yang familiar untukku dari kecil, ini buah darah. Buah yang di pakai leluhur ayah untuk kabur dari tahanan kompeni. Buah ini mudah di dapat. Warga desa takut menyentuh buah ini. Para tetua melarang. Karena di percaya membawa sial. Tapi kamu harus tau, sebisa mungkin selalu bawa buah ini beberapa untuk berjaga-jaga.

Buah ini bisa kamu gunakan untuk berburu binatang atau menolongmu di saat kamu benar-benar butuh untuk menghindar.

Aku yang masih kecil menggeleng tak suka, Aku nggak suka membunuh binatang, ayah.

Buah ini tidak bisa membunuh. Hanya paralisis sejenak seperti patung kayu, Ayahku tersenyum,  suka tak suka jangan lupa, hari buruk tidak ada di Kalender, Kala.

Aku memejamkan mataku cukup lama kemudian membukanya kembali ketika aku lagi-lagi merasakan sensasi yang pernah kurasakan. Angin gunung menggigit tubuhku. Seperti pecahan es tajam yang menusuk-nusuk. Disaat yang sama, ada api samar merembet di denyut nadiku. Panas dan dingin. Api dan es. Membingungkan.

Gejala Hipotermia.

Aku menggigil. Hatiku sedih. Kenapa aku selemah ini. Aku sudah bertekad untuk pergi, menemukan jawaban. Menyelamatkan ayahku. Tapi kalau aku mati sekarang. Semua sia-sia dan kalau aku kembali sekarang, aku tidak bisa menatap wajah Hugo. Wajah sakit hati Hugo, membekas di hatiku.

Aku kembali memejamkan mata.  Cengkeraman rasa dingin mengebaskan seluruh indra. Nafasku sesak. Aku mengantuk. Kepanasan. Bingung dan linglung. Anehnya ketika aku membuka mata kembali, kabut gelap turun. Pekat. Secepat angin. Dalam sekedipan mata. Hingga menyisakan ku jarak beberapa jengkal. Kabut serupa tembok. Tak berbayang apa-apa kecuali dua patung kayu besar menjulang dengan ukiran Kuno.

Gerbang Anagata menyambutku.

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang