Part 16

528 100 8
                                    

"Kala?" Mata puja terbelalak menatapku. Ia buru-buru bangkit dari kursi depan ketika aku berjalan pelan melewati rumahnya, "Bukannya kamu sudah pulang daritadi? Kenapa kamu baru sampai ke rumah sekarang?"

Aku tersenyum lemah. Aku capek, kedinginan dan basah kuyup. 

Sayang senyum susah payahku tidak membuat rasa penasaran Puja hilang, malah semakin menjadi. Ia menatapku dari atas kebawah, rautnya semakin ngeri, "Kamu habis darimana? Kenapa kamu basah kuyup?"

"Dari danau. Aku habis jatuh ke danau."

Puja terperangah, suaranya berubah berbisik, "Kala, bukannya kamu nggak bisa berenang..."

"Memang."

"Kamu bukan coba untuk bunuh diri kan, Kala?" Tanya Puja panik. 

Aku ingin tertawa. Tapi gigiku  bergemeletuk semakin keras. Melepuh kan tulang-tulang ku hingga di ambang hipotermia. 

Aku bukan mau bunuh diri, tapi aku nyaris terbunuh. Aku tidak berhasil mati tenggelam di danau. Tapi Hugo berhasil membuatku berdiri basah kuyup kedinginan selama bicara dengannya.

"Cepat-cepat masuk kedalam kamar! Ganti baju Kala! Pakai selimut! Minum air hangat!" Seru Puja ia buru-buru memelukku dan menarik ku menuju depan pintu rumahku. Awalnya Puja memaksa ingin memastikan aku, hingga aku benar-benar sudah berganti baju, tapi aku dengan cepat menutup pintu depan rumahku. Tepat di depan wajah Puja.

Dengan sengaja membatasi diriku.   Dengan rasa penasaran Puja.

"Aku nggak apa-apa, Puja." Ucapku pelan. Sesaat sebelum menutup pintu rumahku, "Aku nggak akan mati."

Setidaknya untuk saat ini.

.....

Hari ini, sepanjang pagi perutku terasa sakit. Sama seperti hari kemarin, hampir setiap hari aku merasa kesakitan.

Ternyata benar kata orang, suasana hati mempengaruhi kondisi kesehatan. Tiga hari terakhir aku sering demam, muntah, sakit perut. 

Di setiap detik waktu terlewat, mendekati berakhirnya bulan Desember. Kondisi kesehatanku semakin buruk. Wajahku lebih pucat. Aku jarang makan bukan karena tidak ada makanan. Tapi karena aku tidak berusaha untuk mencari makanan yang selalu tersedia di hutan.

Kondisi ibuku lebih parah. Beliau telah kehilangan semangat hidup. Masa tenggang waktu rumah kami telah habis. Aku dan ibuku hanya tinggal menunggu detik pak Nawa datang bersama aparat. Melihat beliau tersenyum seakan menyesal rumah kami telah resmi tergadai di kedatangan beliau yang ke lima. 

Pertanda kami harus segera angkat kaki. Secepatnya. 

Di tengah jeleknya kondisi kesehatanku, aku tetap memaksakan diri merawat ayah dan membereskan barang ku, barang ayahku dan ibuku, yang semakin mogok bergerak.

Untung tidak banyak barang yang bisa dibawa dari rumahku. Masalahnya hanya ada di bagaimana cara membawa ayahku yang cuma bisa terbujur kaku serupa batang pohon padahal aku tidak tau harus membawa kemana ayahku.

Disaat aku sibuk memproyeksikan rasa gelisah pada lantai dengan mengetukan kaki semakin cepat, aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumahku.

Jantungku berhenti berdetak. 

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menahan tangis lalu baru membuka mata kembali setelah cukup lama untuk memandangi ayahku yang tertidur di kasur.

Aku tau suara mobil itu milik siapa. Pak Nawa dan kaki tangannya telah datang. Waktu keluarga ku telah habis.

Tidak berapa lama, aku mendengar suara langkah kaki memasuki rumah. Suara sepatu dan kursi kayu yang terjatuh mendadak,-aku yakin suara itu berasal dari ibuku. 

Aku buru-buru menutupi telingaku dengan telapak tangan. Aku benci memiliki telinga yang terlalu peka saat aku tidak mau mendengar apapun dari depan rumah. Karena aku ingin pergi tanpa tangisan. Tanpa kehebohan. Karena aku ingin membangunkan ayahku dari tidur perlahan.  Membantu beliau duduk di atas kursi roda. Lalu berjalan keluar seakan-akan aku hanya mengajak beliau berjalan-jalan walau setelah jalan-jalan aku dan ayahku tidak akan pernah kembali lagi kedalam rumah. 

Aku sedang menyiapkan kursi roda usang milik ayah ketika ibuku tergopoh-gopoh berjalan masuk kedalam kamar. Aku mendongak, menunggu suara dari ibuku terucap mengajak ku untuk segera angkat kaki, atau sejenis itu.

Anehnya wajah ibuku tidak bersimbah air mata. Masih sepucat biasanya. Tapi di luar ekspektasi ku karena mata ibuku yang biasanya kosong tampak sedikit hidup. Api kehidupan dari jiwanya seperti kembali menyala. 

"Kala.."

Hatiku teriris.

Tanpa sadar mataku mulai basah.

Sudah lama aku tidak mendengar suara ibuku memanggil namaku. Aku kangen mendengar suara ibu.

"Ya ibu?"

"Hugo. Dia ada disini. Disini untuk melihat kamu, Kala."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang