Part 27

761 134 9
                                        

Dibawah tatapanku, Hugo mulai makan.  Ia menguyah sup dan roti yang di bawakan pak Nawa. Lahap karena sepertinya Hugo memang sudah lama tidak makan. 

Hugo juga langsung menurut ketika aku memintanya minum obat. Mirip anak kecil yang merajuk pada ibunya. Ia terus menatapku, yang duduk di kursi tepat di sebelah tempat tidurnya, sepanjang waktu dan menolak untuk tidur. 

Dari yang awalnya ku niatkan hanya sebentar, akhirnya menjadi berjam-jam. Aku bicara kesana kemari dengan Hugo. Masa-masa kecil kami yang hampir sebagian besar ingin ku lupakan. 

"Dua belas tahun lalu. Pertama kali ayah ibuku berbagi dengan warga Sembagi, pertama kalinya aku melihatmu juga."  Ujar Hugo ringan, pelan, di bawah pengaruh obat penurun panas yang bercampur dengan obat tidur, "Rambut coklat Ikal, mata coklat, kulit putih, berdiri di bawah atap bambu. Aku tau kamu pasti juga keturunan campuran."

"Disana aku dengar kamu, ibumu, fisikmu beberapa kali di ejek, oleh orang-orang tua, para tetua. Orang-orang tua yang seharusnya bijaksana malah ngejek anak kecil."

"Itu juga pertama kalinya aku tau; seandainya aku warga asli desa Sembagi dan keluargaku tidak punya apa-apa, mungkin aku juga berakhir sepertimu, karena kita keturunan campuran." Tatapan Hugo berubah sinis, "Orang-orang hipokrit."

"Hugo." Aku memotong kalimat Hugo, "Hugo ingat setelah itu kita main petak umpet?"

"Ya. Kita sembunyi di gubuk hutan."

"Disana Hugo mau injak jariku."

Hugo menggeleng, "Aku mau bantu kamu berdiri.  Tapi dari awal kamu sudah takut.."

"Masa' sih?"

Hugo menahan senyum, "Ketakutan mu cuma di bayanganmu."

"Kalau memang takutku cuma bayangan, kenapa Hugo hampir nembak aku dengan senapan di hutan?"

"Apa aku pernah?" Alis Hugo bertaut bingung.   

Aku buru-buru menggeleng, kejadian itu hanya mimpiku, -atau bukan mimpiku ? Apa kalimat Hugo sebelum ini juga hanya mimpiku? Karena sihir atau karena Hugo benar-benar mengatakannya?  Aku tidak tau. 

Aku cepat-cepat menggeleng, berusaha balas tersenyum, "maaf aku salah ingat."

Hugo terdiam sesaat terpana menatapku, sebelum ia berkata, "Kamu manis Kala. Senyum mu manis."

"Persis seperti cerita ayahmu." Lanjut Hugo tangannya menarik jemariku ke pipinya yang masih sepanas sebelumnya. 

Aku meringis ngeri. Pipiku sepanas pipi Hugo dengan alasan berbeda. Sekarang aku jadi bingung memilih antara aku harus dengan sengaja pura-pura ngiler, atau pura-pura buang ingus di depan Hugo. Karena kutukan nenek kan pasti ada pantangannya. Aku harus melakukan sesuatu yang membuat Hugo terpaksa menimbang-nimbang lagi logikanya.

Akhirnya aku memutuskan memasang wajah sejelek mungkin.  Menahan segenap harga diri dan rasa malu. Sesaat Hugo bengong. Kukira aku berhasil. Tapi tiba-tiba senyum Hugo berubah jadi lebaaaaarrr sekali. 

"Kamu cantik, Kala."

Ya ampun. aku mau muntah saking malunya.  Tapi karena aku sudah kepalang basah, aku buru-buru mengubah ekspresi yang lebih jeleeeek lagi. Paling jelek. Ekspresi yang menurutku sudah cukup lah untuk membuat Hugo ingin muntah juga. 

Tapi senyum Hugo justru semakin lebar. Dia malah terlihat suka. Wajahnya kelihatan lebih cerah. Lebih sehat.  Lebih bahagia.

"Wajahmu lucu." Hugo terkekeh. 

Aku buru-buru bicara setengah ingin menangis, "Hugo pernah dengar tentang nenek sihir? Kutukan nenek sihir?"

"Ya." Hugo tersenyum geli, "Apa kamu barusan pura-pura jadi nenek sihir?"

"Apa pantangan dari kutukan nenek sihir, Hugo tau?"

Hugo mengangkat bahu, "Aku nggak tau."

"Kalau ternyata perasaan Hugo karena sihir, menurut Hugo gimana?"

"Nggak masalah, karena aku belum pernah sebahagia ini."

Aku buru-buru bangkit berdiri, putus asa. Memposisikan Hugo, sedikit memaksanya supaya ia benar-benar dalam posisi tidur yang nyaman sebelum mengelus rambut hitam gelap Hugo, "Kita cerita lagi setelah Hugo istirahat."

"Jangan."

"Masih ada banyak waktu."

Hugo menggerutu, "Jangan pergi."

Aku terus mengelus rambut Hugo cukup lama sampai aku yakin Hugo mau tidak mau benar-benar tertidur.  Cukup lama tatapan mataku jatuh pada dinding kaca besar Hugo. Sekarang dinding kaca itu di terpa angin, kabut dan hujan tanda aku harus segera kembali ke rumah karena langit sudah semakin gelap. Hugo memang meminta ku tidak pergi. Tapi aku tidak pernah berjanji dan aku tidak mungkin terus disini. 

Ketika aku membuka pintu pelan-pelan, aku melihat pak Nawa tertidur dalam posisi duduk di sofa depan ruang kamar Hugo.

Setengah mengendap-endap, aku menuruni tangga.  Menuju ke pintu tempat aku masuk dan membukanya. 

Air dan kabut langsung menerpaku. Aku memejamkan mata.  Aku familiar dengan hujan. Aku tidak pernah takut badanku basah oleh air hujan. Aku penduduk dari salah satu desa yang paling basah dan lembab sedunia jadi aku tidak keberatan jalan kaki pulang sendirian. 

Maka aku mulai berjalan menembus hujan. Tapi baru beberapa langkah tiba-tiba aku merasakan tubuhku di angkat dengan mudahnya. Seseorang menggendongku paksa dan membawa ku lari masuk kembali ke dalam rumah. 

Aku tersentak kaget memeluk leher orang yang menggendongku karena secara insting aku takut jatuh dan ketika aku sudah terlindung sepenuhnya dari hujan, aku mendongakkan kepala, Hugo tetap menggendongku sebelum akhirnya memelukku erat-erat dengan rambut meneteskan air di keningnya, "Jangan pergi Kala. Tolong tetap disini.  Disamping ku."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang