Part 46

346 76 3
                                    

Nafas Hugo tersengal. Udara dingin di sekitarnya menipis. Sulit di hirup seakan Hugo sedang berusaha bernafas di bawah air. Disampingnya pak Bhagya berkali-kali mengatur nafas. Beliau sama payahnya dengan Hugo. Dengan tinggi badan beliau yang hanya sebahu Hugo, beliau mati-matian berusaha memapah Hugo menuruni punggung Naga dalam keadaan hujan badai, terpeleset berkali-kali, gelap gulita.

"Sedikit lagi. Sedikit lagi." Gumam pak Bhagya lebih untuk dirinya sendiri sementara giginya bergemeletuk keras. Seperti akan menggigit lidahnya sendiri.

Hugo menarik nafas panjang. Berusaha mengabaikan tubuhnya yang sakit terutama bagian kakinya yang memar dan terpelintir. Nyatanya angin aneh dari Anagata berhasil membuat Hugo babak belur dalam hitungan detik.

"Kita sampai dimana ini?" Tanya Hugo. Ia sedikit linglung di bawah hujan deras yang membuatnya setengah buta.

"Kita sedang lewat di pasarean. Setelah itu kita bisa berteduh sebentar di gubug Mbah Nata."

"Pasarean?"

"Kuburan." Ujar pak Bhagya ditelinga Hugo, dengan sudut matanya beliau melirik ke samping, membuat Hugo akhirnya menyadari ada beberapa gundukan tanah di hiasi gulma dengan patok-patok kayu tanpa nama, "Ini jalan pintas terdekat."

Hugo mendecakkan bibir kasar, ingatannya tentang kengerian Anagata meletup. Suka tak suka, Hugo mencoba berjalan lebih cepat di bantu oleh pak Bhagya. Berusaha mengabaikan beberapa patung batu pasarean dengan taring panjang hingga ke kaki diikat dengan kain-kain panjang kuning di sekeliling makam.

Akhirnya, entah di waktu berapa, masih dalam hujan badai. Hugo sampai di gubug tua yang cukup ia kenal. Bangunan itu biasanya hanya Hugo lewati dalam satu lirikan. Tidak menarik minat dan justru setiap sudutnya berteriak kata bahaya.  Namun kali ini gubug tua mbah Nata terasa seperti bangunan paling aman sedunia.

Didepan pintu kayu lapuk, pak Bhagya dengan sopan menundukan tubuh dan kepalanya. Matanya terpejam seakan berdoa sebelum akhirnya memasuki bangunan ndoyong gelap itu dengan langkah hati-hati sambil memapah Hugo.

Setelah mendudukan Hugo, dengan cekatan pak Bhagya melepaskan jas hujan miliknya. Berganti baju. Diikuti oleh Hugo yang melakukan hal yang sama secepat yang ia bisa, sebelum berakhir menyalakan kompor portabel milik Hugo.

Nyala api menari-nari dalam gubug. Menciptakan rasa aman yang sementara. Rasa hangat yang seadanya. Tapi lebih baik daripada terjebak hujan badai di luar.

"Dimana Mbah Nata?" Tanya Hugo setelah ia merasa jauh lebih nyaman.

Hugo kenal dengan Mbah Nata, ia pernah beberapa kali membantu pak Bhagya mengantarkan beras ke tempat ini sebelum menjelajah hutan.

"Sudah meninggal." Jawab pak Bhagya. Beliau menyesap kopi panasnya, "Tadi kamu melewati tempat istirahat terakhir nya."

"Pasarean yang tadi?"

"Ya."

"Kenapa mbah Nata tidak di kuburkan di kuburan umum desa?"

Pak Bhagya terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Kadang ada seseorang yang melakukan kesalahan besar sampai ketika orang itu matipun tanah desa tidak mau menerima dia."

"Tanah desa atau penduduk nya?" Ejek Hugo.

"Dua-duanya."

Hugo mendengus. Ia terlalu lelah untuk membahas hal lain di luar logika, "Setelah meninggal pun, jenazahnya tetap terbuang? Dikucilkan dekat rawa-rawa? Jadi sebenarnya siapa ini yang jahat? Penduduk desa atau Mbah Nata?"

"Orang menilai kita itu terkadang tergantung dari siapa yang menceritakan tentang kita, Hugo." Pak Bhagya berkata pelan tanpa senyum di bawah cahaya api temaram,  "Dan kalau kamu mendengar cerita tentang Mbah Nata dari saya, pasti jauh berbeda dari cerita yang akan kamu dengar nanti dari orang lain."

"Jadi kembali lagi pada kamu. Jangan tergesa-gesa menyimpulkan. Jangan lihat seseorang dari sampulnya. Dari satu kesalahannya, sampai kamu lupa ada kebaikannya yang lain. Tetap hati-hati tapi jangan sampai membuat kamu jadi tidak punya hati."

Hugo menyeringai sinis, "Bapak pasti sudah pernah mendengar dari orang-orang kalau mereka menyebut saya tidak punya hati."

"Ya." Pak Bhagya mengangguk, "Saya lihat sendiri kalau kamu bisa menembak burung paling cantik yang pernah saya lihat tanpa ragu-ragu."

"Jadi benar saya tidak punya hati?"

"Ah.." pak Bhagya mengerutkan kening, "Sebetulnya, tadinya saya mau mengajak kamu naik gunung lagi, Hugo. Saat cuaca lebih cerah, secepatnya. Tapi saya tidak akan memaksa kamu. Selama kakimu masih sakit. Ada seseorang yang saya temukan di batas vegetasi gunung. Nenek tua. Tinggal di gubug yang lebih jelek dari ini, sendirian."

"Nenek-nenek?" Hugo tertawa sumbang.  Kenapa ada banyak hal aneh di desa Sembagi, "Kenapa bisa ada nenek-nenek di atas gunung sendirian?"

"Beliau di tinggal disana oleh anak-anaknya, tidak tau sejak kapan. Saya juga tidak tau nenek itu berasal dari desa mana. Beliau sudah sedikit pikun. Saya harus KESANA lagi secepatnya dengan para tetua dan aparat desa. Semoga untuk kali ini, beliau mau turun dari gunung."

Hugo tertawa semakin keras. Dunia sudah gila, "Anaknya buang ibunya di atas gunung untuk lebih cepat mati kan?!"

"Ya"

"Kasihan, nenek tidak mati. Jadi ia mungkin terpaksa bertemu anak-anaknya lagi kalau harus turun dari gunung."

"Pada akhirnya, nenek memang harus kembali ke keluarganya."

"Untuk di buang lagi?"

"Apa ada solusi lain?" Mata pak Bhagya memincing pada Hugo.

"Itu alasannya bapak ingin mengajak saya kesana kan? Secepatnya?"

"Ya."

"Bisa. Saya bisa bantu memberi tempat tinggal dan akomodasi untuk nenek di Arutala." Jawab Hugo singkat.

Perlahan senyum pak Bhagya mengembang, "Kamu punya hati, Hugo."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang