Part 47

371 82 19
                                    

Hugo mengumpat, "Ini terakhir kali. Kalau nenek pikun ini tidak mau turun biarkan saja."

Pak Bhagya menepuk-nepuk pundak Hugo. Ini kali ke tujuh dalam waktu berbulan-bulan setelah kejadian Anagata, Hugo dan Pak Bhagya naik ke batas vegetasi gunung menemui nenek.

Sepanjang jalan Hugo satu dua kali menggerutu sementara pak Bhagya hanya menahan senyum. Hugo memang seperti itu. Ia sedikit menggerutu tapi lebih baik daripada para tetua dan aparat desa yang langsung menyerah pasrah membiarkan saja nenek tua pikun keras kepala itu tidak mau turun dari atas gunung setelah percobaan ketiga.

Nenek tua itu memang sedikit aneh. Beliau tidak pernah mau menyebutkan nama. Ia hanya berkali-kali bercerita bahwa tiga anaknya meninggalkannya disana setelah membangun gubug seadanya.

Setelah itu si nenek biasanya hanya duduk di salah satu batang pohon besar sambil melinting sesuatu, entah daun apa tapi bukan tembakau. Serupa cerutu tapi mengeluarkan bau kemenyan. Ngomel sendiri. Begitu terus sepanjang waktu. Semencoba dan sememaksa apapun semua orang, nenek itu tetap tak goyah. Ia bersikeras tetap di atas gunung walau sampai mati.

"Cucu nenek akan menjemput nenek nanti!!!" Teriak nenek begitu melihat wajah Hugo dan Pak Bhagya muncul berjalan mendekat dari batas vegetasi.

Hugo terperanjat. Ia tidak pernah biasa begitu datang langsung di semprot oleh nenek-nenek tua berkeriput dari ujung rambut sampai ujung kaki, berpakaian jarik sederhana, dengan rambut beruban dan tubuh bongkok.

Pak Bhagya sendiri dengan cuek tetap berjalan mendekat. Beliau menjatuhkan sekarung beras dan bahan makanan ke samping gubug reyot nenek yang hanya terbuat dari potongan kayu seadanya dan berukuran sangat kecil tanpa penerangan sama sekali.

"Hei kau. Daripada kau hanya bengong. Tolong ambilkan air saja." Nenek itu kembali menyemprot Hugo dengan rentetan omelan, "Dan kamu jangan harap bisa membawa saya turun dari gunung." Kali ini beliau menyemprot pak Bhagya.

Hugo menggertakan gigi pada pak Bhagya lalu menunjuk nenek dengan jempolnya,   "Saya iket, bius, masukin karung lalu saya gendong saja bagaimana?"

Nenek seketika muntab.

"Kita ambil air saja dulu." Pak Bhagya hanya tersenyum-senyum kecil. Mengambil dua guci tanah kecil milik nenek dan menyerahkan satu pada Hugo.

Hugo menghela nafas. Seakan sudah menjadi kebiasaan. Sekarang setiap kali ia menaiki gunung maka tujuan pertama selalu gubug nenek. Lalu mengambil air untuk nenek di salah satu mata air terdekat. Lalu kembali lagi ke gubug, mendengar nenek ngomel dan baru setelah itu Hugo bisa bebas kemanapun untuk belajar berburu.

"Pantas saja anak-anak nya meninggalkan nenek sendirian di atas gunung." Ucap pak Bhagya ketika mereka berdua mulai berjalan.

Hugo nyengir, itu kalimat paling jahat yang pernah Hugo dengar dari pak Bhagya, "Tapi nenek ini hebat juga."

"Iya. Luar biasa."

Sendirian di atas gunung berbulan-bulan untuk ukuran seorang nenek tua renta memang luar biasa. Hampir mukjizat. Dengan gunung Sembagi yang surga petir dan hewan-hewan liar nya yang masih banyak.

Mata air terdekat dari gubug nenek letaknya sedikit ke tengah hutan. Muncul kecil di antara bebatuan berlumut menciptakan aliran air yang tidak bisa di bilang sungai namun cukup untuk sehari-hari.

Hugo dan Pak Bhagya harus menunggu sedikit lama untuk mengisi dua guci tanah milik nenek supaya terisi penuh. Seperti biasa sambil menunggu waktu Hugo memperhatikan sekeliling. Membaca jejak-jejak hewan. Karena hewan apapun secara naluri selalu mendekat ke mata air.

"Pak Bhagya." Hugo tersentak, tatapan matanya jatuh pada jejak kaki di depannya, "ini Jejak... Harimau?"

Pak Bhagya yang tadinya hanya duduk menatap air, terperanjat bangun. Beliau segera menatap jejak yang di tunjuk Hugo.

Jejak itu samar di atas lumpur basah yang masih baru di antara tumpukan daun-daun kering di sekitar mata air.

"Nenek." Ujar Hugo. Hatinya menciut begitu melihat perubahan ekspresi wajah pucat pak Bhagya. Tanpa menunggu aba-aba Hugo segera berlari kembali bersamaan dengan Pak Bhagya yang segera mengokang senjatanya.

Mereka terus berlari. Menembus hutan. Hingga suara raungan memecah bumi.

Hugo menegang kaku. Gubug nenek kosong. Di depan gubug ada ceceran darah.

"Nenek!!" Teriak Hugo.

Pak Bhagya segera membekap mulut Hugo. Sebelum beliau melemparkan pandangan kesekitar.

"Jejak darah ini menuju ke sana." Ujar pak Bhagya pelan, jemari nya menunjuk ke arah Padang rumput yang menurun menuju lereng terjal tidak jauh dari gubug.

Hugo meringis ngeri. Darah di depannya tumpah sangat banyak dan semakin banyak setiap kali kakinya melangkah mengikuti ceceran darah.

"Nenek tidak mungkin masih hidup Hugo."

"Jadi bapak mau menyerah, membiarkan saja beliau mati begitu saja?!"

"Ini jejak harimau dewasa, Hugo. Kemungkinan betina dan kalau ia menyeret korbannya. Kemungkinan besar ia membawa nenek ke anak-anaknya."

"Untuk jadi menu makan malam begitu!?" Nafas Hugo tercekat.

"Dunia seperti itu Hugo. Membunuh sebelum di bunuh."

Hugo mengumpat. Lebih kasar dari sebelumnya. Seperti kesetanan Hugo berlarian lebih cepat mengikuti ceceran darah, ceceran itu sedikit samar begitu sampai di Padang rumput besar di dekat tebing.

Jantung Hugo serasa terhenti. Beberapa puluh meter di depannya sungguh-sungguh ada Harimau. Harimau terbesar yang pernah ia lihat. Lebih besar dari sapi. Menggigit leher nenek yang mulutnya ternganga berdarah dengan mata membelalak.  Harimau itu berjalan membelakangi Hugo terseok membawa korbannya menuju ke tumpukan bebatuan menyerupai gua kecil.

"Hugo." Pak Bhagya menepuk pundak Hugo yang mematung, "Sudah terjadi. Yang  hanya bisa kita lakukan sekarang hanya belajar menerima takdir."

Reminiscent (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang