Megantara

6 0 0
                                    

Pagi yang kembali dirasa cukup melelahkan bagi Alfian. Bagaimana tidak, semenjak pertemuannya dengan Aliefa. Entah kenapa bukannya kebaikan yang ia dapatkan, tapi sebaliknya. Sosok Queena Abigail Hito itu cukup mampu menguras energinya setiap hari.

Suara yang sebenarnya merdu dan ramah setiap berbicara dengannya entah kenapa terdengar bising di rungu Alfian. Sungguh, tidakkah Tuhan berbaik hati padanya sekali saja. Alfian sungguh tak ingin mendengar suara seorang Queena untuk sehari saja. Tapi sepertinya doa itu terlalu muluk hingga Tuhan tidak mengabulkannya.

Alfian melempar sembarang kertas dokumen semenjak kepergian Queena pagi itu. Entah kenapa sepersekian detik ia terpaku melihat kecantikan Queena saat tersenyum tadi. Entah kenapa hari ini kedatangan Queena tidak terlalu buruk bagi Alfian.

Alfian menyugar rambutnya, ia terlihat dungu, bukankah ia yang menghalau Queena selama ini. Tapi kenapa malah hanya karena senyuman yang bahkan sepersekian detik itu mampu membuatnya terpaku. "Dia berbahaya." Gerutunya pagi itu.

***

Waktu menunjukkan tengah hari, disaat semua orang beranjak istirahat, tapi tidak baginya. Karena tengah hari adalah waktunya si penganggu itu kembali menguras energinya. Belum selesai bayangan mengerikan Alfian siang itu, sang pemilik kebisingan sudah menyapa ramah nan cantik d depannya kala itu.

"Aku membawakan makan siang untukmu, apakah kau tidak keberatan kita memakan ini bersama. Disini?" Queena tampak sedikit ragu, ayolah. Ini bukan kali pertama ia berusaha dan selalu berujung penolakan. Jd sepertinya Queena mulai terlihat lelah.

Alfian menatap tak minat kepada beberapa paper bag yang dibawa Queena. Ia menarik nafas berat seraya berkata "duduklah." Suara yang terdengar jelas keberatan itu tetap Queena anggap lampu hijau. Pasalnya, baru kali ini Alfian mengizinkannya tanpa ada kalimat-kalimat yang mencubit hatinya.

Sesaat Alfian merutuki kata-katanya tadi. Apakah ia tidak waras? Kenapa dia mengizinkan Queena duduk. Kedua kalinya ia tidak waras hari ini. Dan sudah dipastikan akan ada ketidakwarasan selanjutnya dari seorang Alfian.

Queena dengan cekatan mengeluarkan beberapa makanan dari dalam paper bag, dan semua itu tak luput dari tatapan tajam Alfian. Dan sekali lagi Alfian terpaku dengan semangat pantang menyerah yang terlukis dari wajah Queena. Sesaat Alfian tersenyum samar melihat Queena.

Belum selesai ketermanguan Alfian, kini Queena berdiri di depannya seraya tersenyum manis sekali dan sedikit malu hingga menimbulkan semburat merah di pipi seputih susu itu. Dan tentu saja membuat Alfian terpaku.

"Makanan nya sudah siap, sebaiknya kita makan sebelum dingin."

Alfian menahan tawa, sungguh kecanggungan Queena amat sangat terlihat jelas, kemana Queena yang biasanya tegas. Kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti bawahan yang meminta izin kepada atasannya.

"Baiklah."

Queena tertegun, entah keajaiban apa yang terjadi hari ini. Alfian sungguh diluar prediksinya, ia sungguh tidak percaya jika yang di depannya kini adalah Alfian. Ia sedikit berlari kecil menuju kursi panjang yang tak jauh dr meja kerja Alfian.

Dengan cekatan Queena mengambilkan Alfian bagiannya. Ia sungguh bersikap selayaknya istri kepada suaminya. Bukan hal yang tabu bagi Queena, karena didikan keluarga Abigail tentang tatakrama di meja makan adalah hal utama, apalagi tentang melayani seorang suami. Jd Queena tanpa sadar berlaku demikian. Dan tentu saja itu menjadi bagian-bagian dari poin plus untuk Alfian.

Tanpa sadar Alfian tersenyum hangat melihat kepiawaian Queena siang itu, dan tentu saja senyuman untuk pertama kalinya itu, menimbulkan semburat merah di pipi Queena. Ia terharu sekaligus malu, pasalnya Alfian benar-benar diluar prediksi hari ini. Dan Queena belum mempersiapkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang