fakta 1

0 0 0
                                    

Queena mengerjapkan matanya saat silau mentari mengusik kenyamanan tidurnya pagi itu. Tatapannya menyipit dengan tangan yang meraba sisi sebelah kanannya yang sejak dua hari ini selalu memeluknya erat.

Matanya terbuka sempurna tatkala ia tak mendapati siapapun selain dirinya di dalam kamar itu. Dua hari sudah Queena dan Alfian menginap di kediaman utama Megantara seperti yang di inginkannya pada Alfian tempo hari.

Dia tersenyum geli setiap mengingat bagaimana suaminya itu berusaha bertahan selama dua hari ini di kediaman utama. Queena menghela nafas sebelum menyanggul rambutnya yang tampak berantakan dengan tubuh yang tidak mengenakan apapun di balik selimutnya.

Queena menggigit bibirnya. Ia tersenyum saat mengingat Alfian yang mencumbunya begitu liar semalam. Dan ia meringis kala melihat pakaian yang berserakan tak beraturan di lantai kamar yang Alfian tempati sejak dulu.

Waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Ia kembali meringis. Sungguh, ia merasa malu terbangun begitu siang untuk pertama kalinya bahkan di rumah mertuanya.

"Kenapa dia tidak membangunkanku saja." Gerutunya seraya beranjak dari tempat tidur.

Queena kesal, ia tidak habis pikir. Kenapa suaminya itu malah meninggalkannya terbangun begitu siang seperti ini. Ayolah, bahkan saat ini mereka sedang menginap di rumah orang tua Alfian. Tidakkah ia sempat berfikir jika Queena akan merasa malu jika terbangun begitu siang seperti ini? Batinnya kesal.

Tiga puluh menit ia lewati untuk membersihkan dan merapikan diri. Dengan perasaan malu yang hinggap di benaknya ia menuruni tangga. Bahkan ia sedikit mengendap saat berjalan ke arah dapur. Ayolah, kegiatan panasnya semalam cukup menguras tenaga dan tentu saja pagi ini ia sangat lapar.

"Pagi Q."

Queena terdiam. Langkahnya terhenti saat mendengar suara lembut dari mertuanya itu menyapa rungu pagi ini.

Queena meringis dan berbalik perlahan. "Pagi bu, maaf aku kesiangan."

Clarissa tersenyum dan berjalan mendekati menantunya. "Tidak apa-apa. Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu." Ujarnya seraya menunjuk meja makan.

Queena kembali meringis, dia tersenyum canggung dan memainkan kedua kakinya satu sama lain. Rasanya ia ingin sekali tenggelam saat ini. Pokoknya semua salah Alfian. Batin Queena geram.

"Zayn berangkat pagi-pagi sekali tadi. Dan dia menitip pesan pada ibu untuk tidak membangunkanmu." Ungkap Clarissa dengan tersenyum penuh arti.

Queena menunduk. Entah kenapa ia sedikit malu mendengar penuturan Clarissa yang ramah dan tersenyum penuh arti itu.

"Ayah dan El juga berangkat ke kantor bersama dengan Zayn." Tuturnya lagi yang di angguki Queena kemudian.

"Duduklah, kau harus sarapan. Apa kau baik-baik saja?"

Queena menatap ibu mertuanya yang tengah duduk di depannya saat ini. "Aku merasa baik-baik saja bu."

Clarissa mengangguk. "Ibu hanya takut kau mengalami mual atau badanmu tidak nyaman. Kau terlihat pucat."

"Tidak bu. Aku bahkan bisa memakan semua makanan dan tidak terganggu dengan aroma apapun. Bahkan setiap bangun tidur pun aku tidak merasakan mual-mual. Meski hanya terkadang sedikit terasa pusing. Dan itu hanya sebentar, ibu tidak perlu khawatir." Ungkapnya jujur.

Clarissa tersenyum. "Cucu ibu anak yang baik ternyata."

Ia, Clarissa bahkan terlihat sangat bahagia saat kedatangan Queena dua hari lalu membawa kabar gembira itu. Bukan hanya Clarissa, tapi juga Damar. Ternyata Julian benar-benar memegang janjinya untuk tidak memberitahukan siapapun tentang berita penting itu. Bahkan kedua mertuanya sekalipun yang notabenenya orang tua kandung Julian.

"Ibu senang kau menginap disini Q."

"Aku juga bu, rasanya sepi dan juga bosan saat di rumah tidak bisa mengerjakan apapun. Ibu tau sendiri putra sulungmu bagaimana."

Clarissa tertawa. Ia tau jika Alfian akan bersikap protektif bahkan cenderung berlebihan untuk melindungi apa yang menjadi miliknya itu.

"Zayn memang seperti itu. Tapi percayalah, dia begitu mencintai kalian."

Queena mengangguk di sela kunyahannya. Sarapan pagi buatan ibu mertuanya itu selalu memanjakan lidahnya.

"Bagaimana kabar Sandra?"

"Mama baik-baik saja. Dua hari yang lalu mereka datang ke rumah sakit saat aku pingsan dan di antarkan El."

"Ibu selalu kesal mengingat saat itu. Kenapa El tidak segera memberitahukan ibu tentang kehamilanmu Q. Anak itu benar-benar." Gerutunya kesal.

Queena meringis. Ia merasa tidak enak hati saat mengingat Clarissa memarahi Julian tepat saat Queena memberitahukan berita bahagia itu.

"Apa orang tuamu akan menetap di Indonesia Q?"

Queena menggeleng. "Mereka sempat mengatakan akan kembali ke Rusia setelah peluncuran produk kolaborasi Hazel dan Abigail Candy selesai."

Clarissa menghela nafas. "Terkadang ibu rindu kebersamaan kami bertiga." Ia menatap Queena sejenak. "Ibu, Sandra, dan ibu kandung Zayn." Imbuhnya.

Queena masih setia melahap sarapan buatan ibu mertuanya itu dengan nyaman sembari mendengarkan cerita yang kemarin sempat terhenti.

"Kami bersahabat sudah cukup lama Q. Sejak dulu ibu kandung Zayn, Alceena sudah sakit-sakitan. Di antara kami bertiga dia yang memiliki kondisi seperti itu. Tapi..-." Clarissa menghela nafas sebelum menatap langit-langit dapur dengan tatapan yang menerawang jauh.

"Tapi Ibu dan Sandra selalu berusaha ada untuknya. Dia perempuan yang kuat sebenarnya, hanya saja keluarga yang terlalu mengekang dan selalu menatapnya iba membuatnya terluka tanpa mereka sadari."

Suasana terasa sendu. Saat tatapan Clarissa sedikit berkaca-kaca. "Aku merindukannya, kami selalu mendatangi makam Alceena saat Sandra masih di Indonesia."

Queena tertegun. "Aku ... aku tidak tau jika ternyata kalian bersahabat."

Clarissa tersenyum lembut. "Di antara kami bertiga, Alceena lah yang menikah lebih dulu. Dan kau tau? Kami sempat tidak percaya jika dia mengambil langkah yang cukup berani saat itu. Ya mengingat kondisinya dan keluarganya, kami cukup merasa khawatir pada awalnya." Hening, Clarissa tersenyum dan menghela nafas perlahan. "Damar laki-laki yang berhasil membawa Alceena keluar dari rumah yang bahkan cocok disebut penjara itu. Mungkin kau sedikit tau jika akhirnya Alceena hidup menjauh dari keluarganya."

Queena tertegun, ia mengingat jika suaminya sempat mengatakan jika pernikahan ibu kandungnya tidak mendapatkan restu dari pihak keluarga. Namun, fakta yang di dengarnya pagi ini membuatnya mengerti alasan apa yang membawa ibu kandung suaminya itu memilih jalan hidupnya sendiri.

Clarissa kembali tersenyum. "Dari caramu menatap ibu, sepertinya kau sudah tau tentang itu. Kau tau, Alceena ternyata cukup keras kepala saat keukeuh memilih untuk menikahi Damar meski keluarganya menentang sekalipun. Dan kami sebagai sahabatnya hanya mampu memberikan support dan berusaha selalu ada untuknya. Karena kami mengakui jika Damar adalah laki-laki baik dan terlihat begitu mencintai Alceena." Clarissa menatap sendu Queena di depannya. "Bahkan sampai saat ini." Imbuhnya nyaris berbisik.

Suapan Queena terhenti. Apa ia tidak salah dengar? Clarissa baru saja mengatakan jika ayah kandung Alfian yang begitu dibenci pria itu ternyata masih sangat mencintai ibu kandungnya.

Clarissa tampak sedikit mengusap pipinya. "Maaf ibu menceritakan semua ini padamu."

Queena merasa iba menatap ibu mertuanya itu. "Tidak bu, aku bahkan tidak tau apapun tentang kalian. Dan aku akan sangat berterima kasih jika ibu berkenan menceritakan semua tentang kalian."

Clarissa menatap menantunya sendu dengan senyum yang nyaris bergetar menghiasi bibirnya. Dan cukup membuat Queen menghela nafas pelan. Ia yakin, fakta yang akan ia dengar itu cukup mencengangkan dan ia yakin jika suaminya sendiri pun tak mengetahui fakta itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang