teringat

0 0 0
                                    

Kepergian Alfian dan juga Damar membuat suasana di rumah itu hening bersamaan dengan Clarissa yang berpamitan untuk pergi menemui temannya. Para asisten rumah tangga pun sudah kembali ke paviliun yang tak jauh jaraknya dari rumah utama.

Queena mendesah pelan. Bukan ini yang ia harapkan pada hari terakhirnya di rumah ini. Entah kenapa, kepergian Clarissa membuatnya kembali merasa sepi. Bahkan Julian pun yang sejak sarapan pagi tadi tak terlihat lagi batang hidungnya.

Mengambil handphone dari atas nakas. Ia membuka galery foto yang berisi kebersamaannya bersama dengan Ken juga Andrean saat di jepang dahulu. Sejenak Queena termenung, jemarinya meraba pada layar yang menampilkan foto Andrean dengan dirinya yang tersenyum lebar disana. Hatinya kembali perih, ia benar-benar tak pernah menyangka jika sosok yang begitu ia cintai itu sudah pergi meninggalkannya.

"Aku masih tidak percaya kau pergi begitu cepat meninggalkan kami mas."

Queena mengusap air mata yang kembali membasahi pipi setiap ia mengingat sosok Andrean. Ia memang mencintai Andrean. Tapi itu dulu, saat ini ia hanya ingin sekali dan berharap jika Andrean masih hidup. Sungguh, perasaannya untuk Andrean saat ini hanyalah rasa sayang kepada sosok kakak yang selalu Queena harapkan.

"Apa aku sanggup untuk bertemu dengan wanita itu?" Gumamnya.

Kembali menghela nafas pelan. Entah apa yang Queena rasakan setiap mengingat jika wanita yang ia ketahui sebagai sahabat dari suaminya itu ternyata adalah sosok dibalik kepergian Andrean dari dunia ini.

Queena sempat mendengar jika Luna menjadi tahanan rumah untuk kasus itu. Fabian benar-benar melakukan apa yang sempat ia katakan di kediaman Wiryatama tempo hari. Namun, Queena tak habis fikir. Entah kenapa, kepolisian belum menentukan Luna sebagai tersangka. Polisi bahkan mengatakan perlu mendalami lagi kasus tersebut sehingga membuat Luna menjadi tahanan rumah.

Queena menggulir layar handphone miliknya ke ikon hijau untuk mengirimkan pesan kepada seseorang yang ia yakini bisa membantunya. Berfikir sejenak, akhirnya ia menekan ikon telpon dan memutuskan untuk menghubunginya.

"Hallo bang Rey, apa kau sibuk?" Tanya Queena saat seorang dari sebrang sana menjawab sambungan telpon pada nada tunggu kedua.

"Queena? Kaukah itu?"

Tertawa sejenak, Queena seakan melihat ekspresi yang ditunjukkan Rey kala mendengar kalimat pembuka Queena tadi. "Tentu saja. Apa kita bisa bertemu?"

Hening. Queena mengerti, mungkin Reyhan hanya mencari waktu yang tepat disela kesibukannya di perusahaan milik Ken itu.

"Tentu, bagaimana jika pukul sepuluh pagi ini di kafe depan kantor Wiryatama."

Queena mengangguk "baiklah. Tapi, apa Ken tidak akan memarahimu?" Tanya Queena sedikit merasa tak enak hati. Mengingat, pukul sepuluh bukanlah waktu istirahat.

Terdengar tawa dari sebrang sana. "Tenang saja, pukul sepuluh tidak ada jadwal ataupun meeting penting untuk hari ini."

"Baiklah bang, terima kasih. Aku tunggu di kafe depan kantormu pukul sepuluh nanti."

Sambungan terputus. Queena menghela nafas, semoga saja Reyhan bisa membantunya kali ini. Pikirnya. Ia bukan tak ingin bertanya perihal Luna pada suaminya, tapi ... entah kenapa, Queena merasa jika Alfian tak akan mengijinkan ia menemui Luna tanpa dirinya.

"Masih ada waktu satu jam lagi. Menatap ke arah ruang keluarga, ia tak melihat Julian disana. Kemana lelaki itu. Pikir Queena.

"Sepertinya aku harus memesan online." Gumamnya seraya menggulir layar pipih berlogo apel tergigit itu.

"Kau mau pergi kemana kakak ipar?" Tanya Julian membuat Queena terkejut.

Menghela nafas sesaat dan meredakan sedikit keterkejutannya. Queena menatap kesal seraya menelisik penampilan Julian yang nampak sudah rapi dengan t-shirt dan celana jeans berwarna biru tua, juga sepatu sport yang menunjang penampilannya itu. Queena tak menampik jika ternyata Damar mampu melahirkan keturunan yang sangat baik bibitnya. Pikirnya seraya tertawa geli dalam hati.

"Apa kau akan pergi El?"

Julian mengernyit bingung melihat penampilan kakak iparnya yang seperti hendak pergi. "Tentu saja, ini adalah hari terbaik untuk sekedar jalan-jalan." Ungkapnya Jumawa.

Queena mendelik. "Baguslah. Kebetulan sekali, bolehkah aku ikut menumpang sampai ke kafe dekat kantor Wiryatama?"

Alis Julian bertaut. Sedikit ia ingin tau ada keperluan apa kakak iparnya itu disana? Namun tak urung ia fikirkan. Mendengar nama Wiryatama disebutkan, setidaknya Julian merasa tak perlu berburuk sangka. Karena walau bagaimanapun, ia tau jika Wiryatama adalah salah satu keluarga dari kakak iparnya itu.

"Bilang saja kau ingin aku mengantarmu kak." Tutur Julian kesal.

Queena tertawa sesaat. "Kau memang adik yang pintar."

Julian mendelik. "Baiklah, akan aku antarakan. Asal kau tidak pingsan seperti tempo hari. Kau berat, asal kau tau."

Queena mendelik tak suka. "Cepatlah, aku akan terlambat." Ucapnya seraya melangkah mendahului Julian.

Julian memutar bola matanya saat melihat jika kakak iparnya itu telah berjalan mendahuluinya. "Dasar suami dan istri sama saja. Tukang perintah. Apa dia lupa, jika dia yang menumpang padaku." Gumam Julian kesal.

"Hei El, kenapa kau tidak ke kantor hari ini?" Tanya Queena saat keduanya sedang dalam perjalanan menuju kafe.

"Entah kenapa dunia bisnis seperti bukan bidangku."

Queena menganggukan kepalanya beberapa kali.

Julian mendesah pelan. "Kurasa kau tau bagaimana kerasnya ayah dengan permintaannya. Akan sangat tidak mungkin bagiku menolak bukan?" Ungkapnya dengan tersenyum miris.

"Tapi suamiku terlihat menikmatinya."

Julian tersenyum miring. "Apa kau lupa? Bukankah abang Zayn mendirikan perusahaannya sendiri. Dan kau sangat tau jika perusahaannya jauh berbeda dengan perusahaan ayah."

Seakan tersadar karena ucapan adik iparnya itu. Queena menatap tak percaya pada Julian.

Julian tersenyum miring. "Kenapa? Jangan bilang jika kau baru menyadarinya." Tuturnya "Ternyata kau istri yang buruk." Imbuhnya.

Queena melebarkan tatapannya tak terima. Ia memukul lengan Julian berkali-kali. "Kakak beradik sama saja." Hardiknya.

"Kami tidak sama." Protes Julian tak terima saat disamakan dengan Alfian.

Queena memutar bola matanya malas. Jelas-jelas mereka sama percis. Mungkin yang membedakan hanyalah sikap Alfian yang cenderung dingin dan Julian yang hangat. Tapi selebihnya Queena melihat begitu banyaknya kesamaan dari kedua Megantara berbeda ibu itu.

"Sudah sampai nyonya. Silahkan turun." Ungkap Julian menyadarkan lamunan Queena sesaat lalu.

Queena meringis mendengar kalimat adik iparnya itu. "Kau benar, terima kasih sudah mengantarku."

Julian mengangguk. "Tak masalah, apa perlu aku jemput?"

Queena menggeleng. "Mungkin aku akan menghubungi Alfian, atau menemui Ken dan Aliefa di rumahnya selepas ini."

Julian mengangguk dan meninggalkan Queena dengan arah yang bertolak belakang dari tempat Queena saat ini. Ia tertawa pelan sebelum melangkah ke dalam kafe. "Pantas saja dia terlihat enggan mengantarku." Gumamnya.

Melihat pada jam yang melingkar pada lengan kirinya. "Masih ada waktu setengah jam menunggu Abang Rey." Ucapnya seraya berjalan memasuki kafe yang memiliki kenangannya bersama Andrean itu.

"Sudah lama sekali aku tidak kemari." Ucapnya seraya menatap ke berbagai sudut yang berisi kenangan pesta ulang tahun yang diberikan oleh Andrean untuknya dulu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang