Sepulang dari kantor Megantara, Queena seakan ingin menyerah. Sungguh ia lelah. Tak bisakah senyuman hangat itu berikan sedikit saja untuknya. Sebenci itukah Alfian padanya.
"Apa yang harus aku lakukan lagi." Ucapnya pelan
Queena menarik nafas panjang, semangat yang biasanya selalu ia coba pupuk kini sama sekali tak ada. Semangat itu benar- benar menguap. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Alfian Megantara. Bahkan janjinya memasakan makan siang setiap hari pun sama sekali tak ia lakukan.
"Sungguh, jika sainganku sikap dingin dan cuek, maka aku pastikan tak akan menyerah. Tapi jika senyuman dan tatapan hangat mu sudah ada tempatnya, maka apalagi yang bisa kulakukan." Queena bermonolog sendu
Cuaca hari ini entah kenapa sedikit mendukung. Matahari tak seterik biasanya, Queena merasa suntuk seharian bergelut dengan dokumen serta tanda tangan yang tak ada habisnya itu. Ayolah, hatinya sedang berwarna kelabu. Kenapa Fuzi senang sekali menyibukannya dua hari ini.
"Nona Queena mau kemana?" Suara Fuzi yang menyapa terasa semakin membuat kepalanya penat.
"Ayolah Fuzi, tidak bisakah kau melihat atasanmu ini menghirup udara segar. Aku berjanji menyelesaikan dokumen itu hari ini. Atau ... Besok." Cicitnya sembari berlari.
Fuzi merasa sedikit lega melihat atasannya itu baik-baik saja dibanding dua hari sebelumnya. Entah apa yang terjadi, namun ia yakini kepulangannya dari Kantor Megantara lah penyebabnya.
Queena menyusuri jalan mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri. Sungguh ketenangan dengan ditemani segelas teh dan cake cocok menyenangkan hatinya meski sedikit.
Tak jauh dari pandangannya saat ini, ia melihat ada satu cafe baru yang sepertinya nyaman. Interior dan eksterior yang dikemas dengan sangat apik itu menyuguhkan kenyamanan bagi para pengunjung. Dan Queena menyukainya. "Aku harus bertemu pemilik cafe ini." Gumamnya seraya pandangan yang memuji kenyamanan dan keindahan cafe yang bernama "King" itu.
Pelayanan yang ramah serta pesanan yang diantar tak cukup lama menjadi poin plus dari cafe King yang dirasa Queena. Dan tentu saja cake serta teh pesanannya itu memiliki rasa yang tak asing di lidahnya dan tentu saja sudah dipastikan enak.
"Sepertinya kau sangat menikmatinya Princess?" Suara dan panggilan yang tak asing menyapa Queena yang tengah asik menikmati sepotong red velvet kesukaannya.
Queena nampak terkejut melihat seorang yang ada dihadapannya kini. Ia adalah anak dari teman papanya. Sewaktu di Depok Queena selalu bermain dengannya.
"Eldric, Kaukah itu?"
"Yes princess." Jawabnya masih dengan panggilan seperti dulu untuk Queena
"Apa kau mau? Aku pesankan."
Eldric tertawa renyah, tatapannya masih hangat untuk Queena, sungguh ia tak menyangka jika gadis yang sedari dulu ia sayangi itu ada d depannya kini. "Kurasa, aku akan membuatnya sebanyak yang aku ingin. Jika aku mau." Jawabnya jumawa
Alis Queena bertaut, tatapan Queena menuntut penjelasan.
"Yes Princess, ini cafe ku. Bukankah sejak dulu mimpiku untuk memiliki cafe dengan makanan kesukaanmu." Jawabnya dengan tatapan teduh seperti dulu.
Queena terharu jika teman masa kecilnya itu terbilang sukses. Ia benar-benar membuktikan kata-katanya. Meski sempat Queena ragukan, karena ia fikir itu hanya sebatas celotehan anak kecil.
"Pantas saja aku tidak merasa asing dengan rasa ini, dan aku tidak terlalu terkejut. Karena sejak kecilpun kau pintar memasak. Tapi, yang ini lebih enak."
"Apa kabarmu Princess?"
"Aku baik-baik saja. Kau tentunya tau apa yang terjadi setelah aku pergi dari kedua orang tuaku yang ambisius itu."
Eldric tersenyum. Sorotan matanya penuh kerinduan, sungguh ia tau apa yang terjadi hingga terakhir ia dengar Queena hidup dengan keluarga Wiryatama. Ia benar-benar kembali ke rumah hanya untuk tidur, tak jarang juga ia tinggal dengan mama Winda. Yang ia tau adalah ibu dari Andrean dan Ken Wiryatama.
"Aku tidak menyangka kau membangun perusahaanmu sendiri untuk membungkam kedua orang tuamu itu Princess."
Queena tertawa "yah, tapi kau tentunya juga tau perusahaanku masih amat sangat kecil jika dibandingkan dengan milik papa."
"Aku percaya kau pasti bisa melebihi ekspektasi kedua orang tuamu princess." Jawab Eldric seraya mengusap lembut puncak kepala Queena. Dan Queena tidak terganggu dengan itu, karena sedari dulu pun Eldric selalu seperti itu untuk menghibur Queena.
"Kau harus mencoba cake yang aku buat khusus untukmu. Dan belum aku keluarkan di menu."
"Benarkah? Aku mau." Jawab Queena sumringah.
"As you wish Princess. Alangkah baiknya Princess mendapatkan kursi yang lebih nyaman di ruanganku." Eldric berlaga layaknya pelayan bagi tuan putri kecilnya dulu.
Tawa Queena mengudara, sungguh ia bahagia Eldric masih mengingat cara memanjakannya seperti dulu.
"Apa kabar tante dan om Wisnu?"
"Papa dan Mami baik, mereka sehat dan masih di Paris. Kurasa Kau mengerti. Mereka benar-benar ingin menciptakan masa tua romantis."
Queena tertawa, Eldric benar-benar dibesarkan dalam keluarga yang hangat, ia benar-benar bersyukur mengenal keluarga Wisnu. Dari sana Queena mendapatkan kasih sayang yang belum pernah ia dapatkan dari kedua orang tua nya. Setelah keluarga Eldric memutuskan pindah ke Paris, Queena bertemu dengan keluarga Wiryatama. Ia sungguh bersyukur dipertemukan dengan keluarga yang hangat. Karena jika tidak, ia tak akan tau bisakah ia hidup sampai saat ini.
"Cake pesananmu datang Princess." Suara Eldric mengusik lamunan kepahitan Queena di masa lalu.
"Wah, sepertinya ini akan sangat enak." Queena melahap potongan pertama dengan semangat, dan benar saja. Rasa yang diberikan itu sungguh diluar prediksinya. Cake yang disajikan kini benar-benar enak. Ia lembut, rasanya tidak terlalu manis seperti cake kebanyakan. Dan sangat cocok dinikmati dengan teh hangat di sore hari.
"Kapan akan launching ini EL? Aku sudah memakan beberapa cake dari banyak tempat, dan aku pastikan cake ini yang paling enak."
Eldric menatap hangat Queena yang tersenyum bahagia saat memakan cake kesukaannya itu. "Princess."
"Ya?" Jawab Queena heran
"Nama cake itu Princess." Jawab Eldric dengan tatapan hangat yang masih belum teralihkan dari Queena.
Queena adalah sosok yang paling berharga bagi seorang Eldrich. Apapun akan Eldrich lakukan selama Princess nya senang. Dan selama ini pun Eldrich selalu mampu menjaga tawa di wajah seorang Queena abigail Hito.
Perpisahannya sejak kepindahan Eldrich ke Paris, membuatnya tak letih untuk selalu belejar membuat makanan kesukaan Queena. Entah kenapa rasa rindunya seakan terobati setiap ia membuat cake. Ataupun bereksperimen memasak masakan lainnya.
Sebagai orang yang berada, Eldrich merasa Queena tidak pernah merasakan kehangatan di meja makan. Itulah alasan utamanya untuk mengambil jurusan memasak dan bisnis saat kuliah di Paris. Dan tentu saja, selagi ia di Paris. Tak ada sedikitpun kesempatan yang Eldrich lewatkan. Bukankah sudah hal yang cukup meyakinkan Paris adalah negara dengan semua makanan enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...