kehangatan 2

2 0 0
                                    

Alfian menegang, ia segera melepaskan pelukan Luna padanya. Sorot mata Alfian penuh rasa sesal kala melihat Queena yang memergokinya siang itu.

"Aku bisa menjelaskan semua ini sayang."

Alfian menelan salivanya kala mendapati tatapan datar yang Queena berikan padanya. Ia sungguh merutuki kebodohannya yang tidak menyadari perlakuan Luna siang itu. Sejujurnya dia pun terkejut kala Luna dengan cepat memeluknya erat. Dan sialnya tak lama Queena muncul melihat semua itu.

Queena berjalan mendekati keduanya. Ia menatap lurus suaminya, Alfian. Namun sesaat kemudian Alfian dibuat terkejut dengan tawa yang terdengar tertahan dari Alfian.

"Kurasa bukan tempatmu disini Nona." Ucap Queena sarkastik seraya menarik kerah kemeja Luna.

Tawa Alfian mengudara. Sungguh, istrinya itu penuh kejutan.

"Lepaskan aku." Luna menatap lurus Alfian. "Kumohon Fian, bebaskan ayahku." Pintanya lagi.

Queena semakin menyeret paksa Luna yang dirasa keras kepala. "Aku yakin kau masih memiliki harga diri Nona." Ucapnya saat ia berhasil mengeluarkan Luna dari ruangan suami tercintanya itu.

Queena mendelik pada Alfian saat pintu sudah tertutup rapat. Ayolah, meskipun dia menyadari Alfian tidak akan berlaku curang di belakangnya. Tapi tetap saja melihat secara langsung suaminya dipeluk wanita lain, hatinya terasa meradang.

Alfian menarik Queena untuk mendekat padanya, bahkan dia mendudukan Queena pada meja kebesarannya itu. "Semua tidak seperti yang kau lihat Q." Ucapnya lembut.

Queena memutus kontak mata dengan Alfian. Katakanlah dia kekanakan. Tapi mood nya saat ini telah hilang hanya gara-gara Luna yang memeluk suaminya.

Alfian menyentuh dagu istrinya seraya mengangkatnya perlahan hingga kini Queena menatap Alfian. Ia mengecup singkat bibir yang sejak dua hari lalu menjadi candu baginya itu. "Dia tiba-tiba berlari dan memelukku saat aku kira kaulah yang datang. Maaf membuatmu merasa tidak nyaman atas kejadian tadi." Tuturnya lembut.

Queena mengalungkan kedua tangannya pada leher Alfian. "Aku percaya padamu." Jawabnya seraya kembali mengecup bibir suaminya itu.

Alfian tersenyum di sela ciumannya. Lambat laun ciuman Alfian kian menuntut. Beberapa kali ciumannya berpindah ke dagu dan menggigit lembut disana. Lalu turun ke leher hingga untuk pertama kalinya Queena bersuara indah yang hanya akan diperdengarkan pada Alfian.

Nafas Queena tersengal pun dengan Alfian yang juga diliputi gairah. "Sebaiknya kita makan siang sebelum dingin." Ucap Queena mengalihkan. Ia tau jika suaminya itu tengah diliputi gairah. Namun ia tak ingin jika pertama kali untuk mereka berdua terjadi di tempat seperti ini.

Alfian mengangguk. "Baiklah, setelah itu kita lanjutkan yang tertunda saat tiba di rumah."

Tawa Queena mengudara. Ia gemas sekali melihat suaminya bertingkah seperti itu. Bukan hanya saat ini Queena berharap Alfian akan menyentuhnya lebih dari ciuman. Katakanlah dia mesum. Jika saja ia berani berkata jujur, maka sejak pertama kali melihat Alfian. Queena bahkan telah terpesona dengan semua yang ada pada diri Alfian.

"Apa kau yang memasak semua ini?"

Queena tersenyum meringis. "Sedikit dibantu mama."

Alfian tersenyum seraya mengelus lembut puncak kepala istrinya itu.

"Apa pihak berwenang telah menangkap Saka?" Tanya Queena disela makan siang mereka.

Alfian mengangguk. "Penangkapan Saka memang tidak muncul di pemberitaan. Karena Ayah masih berbaik hati untuk tidak menjatuhkan perusahaannya."

Queena menaikkan alis tak percaya. "Maksudmu Papa?"

Alfian kembali mengangguk. "Apa ada yang salah?"

Queena menyeringai tak percaya. "Papa bukan orang yang selembut itu." Tuturnya.

Alfian tersenyum. "Setiap orang bisa saja berubah. Sayang."

Queena tersenyum haru. Akhir-akhir ini ia merasa sangat bahagia dengan hidupnya. Bukankah Tuhan sangat baik mengabulkan semua harapannya itu?.

Dering notifikasi dari benda pipih berwarna sierra blue mengejutkan Queena juga Alfian. Laki-laki berjas abu-abu itu tampak memicing curiga menatap istrinya, Queena.

"Siapa?" Tanya Alfian curiga.

Queena menatap Alfian yang tengah menatapnya curiga. "Eldrich mengatakan akan berkunjung sore ini."

"Apa dia tau tempat tinggal kita?"

"Sepertinya papa dan mama memberitahukannya."

Alfian mengangguk samar.

"Bagaimana? Apa boleh?"

Alfian menatap lekat istrinya itu. Ia sedikit menimang. Namun ia mengangguk sesaat kemudian. Bukankah akan sangat bagus saat ia menunjukkan kepemilikannya atas Queena? Fikir Alfian.

Queena tersenyum dan mengecup pipi suaminya sekilas. Ia tak menyangka jika Alfian akan mengijinkan Eldrich datang berkunjung.

"Sebaiknya kita pulang sekarang." Titah Alfian tak terbantah.

Queena terkejut. Ia menatap Alfian tak percaya. Bukankah waktu masih menunjukkan pukul 12.30. bahkan makan siang mereka saja masih tersisa cukup banyak.

"Aku ingin melihatmu mengenakan gaun itu siang ini." Bisik Alfian.

Tatapan Queena membola. Bukankah hari masih siang? Kenapa suaminya itu terlihat mesum akhir-akhir ini.

Queena meringis. Hatinya berdegub kencang dan gugup memikirkan keintiman mereka nanti. "Tapi, bukankah sebaiknya kita menunggu malam. Akan sangat tidak nyaman jika nanti Eldrich tiba-tiba datang?"

Alfian menatap lekat istrinya, Queena. Helaan nafas pelan terdengar dari Alfian. Sepertinya istrinya itu benar. Alfian yakin ia tak akan cukup sebentar saat menghabiskan waktu berdua mereka itu.

"Baiklah." Jawab Alfian sendu. Dan tentu saja mengundang tawa Queena. Ia tak pernah melihat sisi suaminya yang seperti ini. Dan dia merasa bahagia saat menyadari jika hanya di depannya Alfian berlaku demikian.

"Aku akan menunggumu di sini sampai pekerjaanmu selesai."

Tatapan Alfian berbinar mendengar penuturan istrinya itu. Dan lagi-lagi Queena tersenyum bahagia mendapati ekspresi lainnya yang dimiliki Alfian. Entah kenapa, Alfian terlihat seperti anak kecil dan membuat Queena gemas sekali.

"Kenapa Luna datang menemuimu tadi?"

"Dia memintaku membebaskan paman Saka."

Queena menganggukkan kepalanya beberapa kali seraya membulatkan bibirnya. "Lalu?"

Kening Alfian berkerut. Ia tak mengerti atas pertanyaan istrinya itu.

"Lalu, bagaimana tanggapanmu?" Ulang Queena.

"Bukan kewenanganku atas Paman Saka. Bukankah dia telah berurusan dengan Ayah? Jadi ... Kurasa itu hukuman yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya." Jelas Alfian.

Queena mengangguk setuju. Entah kenapa Saka benar-benar tega menjatuhkan Abigail. Kenapa Luna merusak nama baik mereka sendiri untuk menarik perhatian Alfian.

Queena menatap lamat suaminya. Ia menghela nafas. Dan mengundang kebingungan Alfian. "Ada apa?" Tanya Alfian dengan mengelus lembut pipi Queena yang terlihat mengkhawatirkan sesuatu.

Queena menggeleng pelan seraya menunduk. Entah kenapa dia merasa takut suatu saat akan kehilangan Alfian.

Alfian menarik Queena dalam pelukannya seraya mengecup lembut puncak kepala Queena. Ia merenggangkan pelukannya dan menatap lembut istrinya yang tiba-tiba saja berubah sendu itu. "Ada apa?" Ulangnya.

Queena tersenyum sendu. "Aku...." Queena menatap lekat Alfian yang terlihat khawatir. "Aku takut jika suatu saat kau pergi meninggalkanku."

Alfian tersenyum dan menatap lembut istrinya itu. Kedua ibu jarinya mengelus lembut pipi Queena. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, ataupun melepaskanmu sampai kapanpun." Tegasnya seraya mengecup kening Queena lama.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang