Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan ia masih setia menunggu suaminya pulang. Beberapa kali dia tertidur dan kembali terbangun semenjak kepulangannya dua jam tadi. Alfian memang mengatakan jika Queena tak perlu menunggu. Namun tetap saja, istri mana yang akan tidur nyenyak jika suaminya belum juga pulang.
Ponsel berlogo apel tergigit selalu ia genggam dengan harapan akan ada pesan singkat dari suaminya. Beberapa kali ia melihat benda pipih berwarna sierra blue itu, beberapa kali juga kecewa menderanya. Alfian bahkan tak berniat mengirimkan pesan satupun kepadanya malam itu.
Queena menghela nafas perlahan. Tentu saja ia mengerti kenapa suaminya itu marah. Tapi, ayolah. Julian adik san juga keluarganya bukan. Lagi pula Queena sama sekali tidak ada perasaan apapun pada Julian. Pun dengan Julian sendiri padanya. Tapi entah kenapa Alfian mewanti-wanti sejak awal untuk tidak mendekati Julian.
Queena memijit kepalanya yang masih terasa sakit. Kantuk yang sejak siang tadi terasa pun ia hiraukan hanya untuk menunggu kepulangan suaminya, Alfian.
Setengah jam berlalu. Namun, Alfian masih belum juga terlihat batang hidungnya. Selama ia menikah, suaminya itu tak pernah pulang sangat larut seperti ini. Kekhawatiran yang terasa begitu membuatnya tak nyaman itu membuatnya semakin lelah. Beberapa kali ia menghubungi Alfian. Namun beberapa kali itu juga tak ada jawaban sama sekali dan membuatnya kecewa.
"Kenapa kau membuatku khawatir милая (milaya)." Gumamnya seraya terus mencoba menghubungi suaminya.
Deru mobil yang memasuki pekarangan rumah membuatnya lega. Ini hampir tengah malam, dan Alfian baru pulang? Kenapa saat mendekati hari bahagia kami berdua ini seakan banyak sekali gangguan. "Kuharap kami sama-sama tidak jatuh sakit saat resepsi nanti." Batinnya penuh harap.
Queena berlari kecil untuk membukakan pintu bagi Alfian. Ia tersenyum lega saat melihat wajah suaminya yang sangat ia rindukan sejak pagi tadi.
Namun, secepat senyum itu terbit. Maka secepat itu pula senyum Queena redup. Tidak ada pelukan juga kecupan hangat yang biasa Alfian berikan setiap kembali dari kantor. Saat ini Alfian hanya menatap datar dan melewati Queena begitu saja.
Queena mencelos. Ia menggigit kecil bibir dalamnya. Menghela nafas perlahan berusaha mengusir sesak yang tiba-tiba menghimpit. Dengan gemetar ia menghampiri suaminya yang telah lebih dulu menuju kamar tidur mereka.
"Mau aku buatkan teh?" Tanya Queena dengan suara yang masih terdengar sedikit bergetar.
Alfian menatap sekilas pada Queena dan beranjak ke dalam kamar mandi. Lagi-lagi Queena menelan pil pahit saat ini. Kepalanya semakin terasa sakit dan berdenyut. Namun, ia tetap menahannya. Ia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk suaminya, Alfian.
Queena menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Sembari membawa secangkir teh hangat untuk suaminya, ia mencoba menghilangkan sesat atas sikap dingin Alfian padanya malam ini. Ia mencoba tersenyum dan berharap jika hatinya akan membaik.
Queena mengedarkan pandangannya di dalam kamar. Namun sosok yang ia cari tidak ada disana. Ia berjalan menuju ruang kerja suaminya dan menemukannya disana. Hatinya sedikit mencelos kala melihat suaminya yang masih sama dinginnya dengan beberapa saat lalu.
"Apa kau masih sibuk?" Tanya Queena seraya menyimpan cangkir teh ke atas meja di hadapan Alfian.
Alfian menatap sekilas dan kembali fokus pada layar besar berlogo apel tergigit di depannya.
"Apa ada yang bisa kubantu?"
Alfian menggeleng. "Kembalilah ke kamarmu Q."
Queena terhenyak, dia terkejut mendengar nama panggilan Alfian untuknya. Ia menyeringai miris dan menatap ke arah langit-langit ruangan untuk menahan air mata yang telah memenuhi pelupuk matanya.
"Tapi aku ingin tidur bersamamu милая (milaya)." Ungkap Queena dengan suara yang bergetar.
Alfian lagi-lagi menggeleng. "Kembalilah Q. Tinggalkan aku sendiri." Tutur Alfian dingin.
Queena menyeringai miris. Dia menatap suaminya dengan berderai air mata. Tidak ada gunanya ia tahan. Sakit hatinya malam ini begitu membuatnya terlihat rapuh. Ia mengangguk sebagai jawaban dan sedikit berlari meninggalkan ruangan kerja Alfian.
Lelah yang ia rasa sejak pagi tadi semakin menambah pilu malamnya. Ia meringkuk dengan bahu yang bergetar karena tangis yang ia redam. "Apakah kau tidak mempercayaiku милая (milaya)?" Gumamnya.
***
Sejak pagi Alfian hanya memikirkan istrinya. Sudah dua hari ini keduanya sama-sama sibuk dan hanya bisa melepas rindu kala sore atau malam menjelang selepas pekerjaan mereka selesai. Dan tentu saja, itulah yang membuat Alfian semangat dalam pekerjaannya. Karena ia selalu berfikir jika kepulangannya di rumah nanti adalah waktu yang akan sangat berharga untuknya.
Ia merutuki koleganya dari Singapura yang berkunjung pagi tadi membuatnya kehilangan waktu bahkan untuk sekedar bertanya kabar pada istrinya. Menjaga kerjasama yang telah terjalin cukup lama membuat Alfian melupakan Queena. Bukan, bukan melupakan dalam arti sebenarnya. Hanya saja Alfian benar-benar harus memprioritaskan koleganya saat ini.
Dan dia merutuki kesibukannya itu. Jujur saja. Setiap sore hari, Alfian akan dibuat khawatir mengingat ia tidak bisa menjemput Queena yang sudah satu minggu ini fokus di butik. Salahnya sendiri tidak mengijinkan istrinya itu membawa mobil sendiri. Tapi, ayolah. Sebagai suami, dia hanya ingin memberikan perhatian kecil seperti mengantar jemputnya setiap hari. Namun sayang, sejak dua hari ini. Hal itu tidak bisa Alfian lakukan.
Queena selalu dijemput oleh supir kantornya. Alfian cukup menyesalinya. Tentu saja. Namun, Alfian yakin. Jika istrinya akan mengerti. Setidaknya sampai sore tadi. Queena menghubunginya beberapa kali menanyakan apakah ia bisa menjemputnya saat itu juga atau tidak. Dan yah, kedatangan tamu penting nyatanya membuat Alfian tak bisa menjemput istrinya, Queena.
Alfian semakin merutuki diri kala ia mencoba menelpon supir kantor yang biasa menjemput Queena sejak dua hari yang lalu itu. Dan tidak ada jawaban untuk beberapa lama. Lima belas menit kemudian akhirnya ia berhasil meminta tolong kepada supir kantornya untuk menjemput Queena. Dan mungkin saja itu alasan istrinya memilih pulang bersama Julian.
Dua puluh menit kelegaan atas tugas menjemput Queena ternyata tak berhak Alfian nikmati secepat itu. Kabar sang supir mengatakan jika istrinya itu tidak ada di butik membuatnya khawatir. Pertemuan dengan pemilik perusahaan dari Singapura telah selesai lima menit yang lalu. Ia putuskan menghubungi ponsel istrinya. Jujur saja perasaan khawatir yang berlebihan itu menggerogoti hatinya kala itu. Alfian seakan menyalahkan diri sendiri atas tidak adanya Queena di butik.
Ia menghubungi istrinya dengan harap jika Queena ada di dalam butik dan tengah menunggunya untuk menjemput. Jujur saja, sempat terfikirkan untuk menjemput Queena kesana karena memang pekerjaannya telah selesai.
Namun sayang, kekhawatiran yang Alfian rasakan itu seakan dihancurkan telak kala mendengar ternyata Queena telah kembali ke rumah dengan Julian. Pekerjaannya telah selesai. Namun rasa kecewa seakan membuatnya berbohong dan enggan untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...