ambisi

6 0 0
                                    

"Aku sangat yakin kejatuhan Abigail semakin dekat."

***

Pagi yang mulai terasa hangat bagi Queena itu kini sedikit memberinya semangat. Semakin hari Queena semakin menyadari jika ia benar-benar mencintai Alfian. Ia sungguh tak mengerti kenapa sulit sekali menghilangkan Alfian Megantara dari benaknya. Bayangan Alfian selalu memenuhi kepalanya.

"Apa benar kau membenciku Fian?" Gumamnya

"Mba ... Ada tamu yang katanya membawakan makanan favorit mba." Suara Fuzi mengejutkan lamunan Queena.

Alis Queena bertaut. Siapa yang Fuzi maksud. "Suruh dia masuk."

"Selamat pagi Princess."

Queena terkejut, ia tak menyangka Eldrich datang mengunjunginya. "Hai ... Ada apa kira-kira owner King mengunjungi Aurora." Queena tampak senang menyambut kedatangan teman semasa kecilnya itu.

"Aku mengkhawatirkanmu princess. Sudah dua hari kau tidak datang ke cafe."

"Ternyata Owner King mengkhawatirkanku?" Queena tampak senang mendengarnya "aku hanya sedikit sibuk. Mereka kembali." Tambahnya dengan air muka yang berubah sendu.

Eldrich terkejut dengan kalimat terakhir Queena. Ia tau betul siapa yang dimaksud Queena. "Apa mereka tidak melakukan apapun padamu?" Suaranya terdengar semakin khawatir.

Bukan hal yang tabu bagi Eldrich jika Bastian dan Sandra menemui Queena. Eldrich tau jika ada yang Bastian inginkan dari Queena.

"Aku baik-baik saja. Hanya ... Kurasa kau mengerti jika mereka tak akan hanya sekedar mengunjungiku bukan?"

"Ya ... Aku mengerti."

"Tapi yah, apapun itu aku harus tetap menjadi Queena biasanya bukan? Kurasa saat ini aku bisa melawan mereka." Ucap Queena ragu

Eldrich tersenyum, tatapannya lembut. "Aku akan selalu mendukungmu Princess. Selalu." Tegasnya seraya mengusap puncak kepala Queena.

"Terima kasih. Ngomong-ngomong apa yang kau bawa itu El?" Tanya Queena mencoba mengalihkan pembicaraan yang sudah dipastikan akan menguras energinya.

"Hampir saja aku lupa. Aku membawakan suplemen energimu Princess." Seraya menyerahkan paper bag bertuliskan "KING" itu

"Kau sungguh tau apa yang aku butuhkan El." Queena tampak bersemangat membuka paper bag itu. Dan dia sangat terharu melihat cake kesukaannya. "Senangnya aku bisa melihat kembali suplemen energiku El. Terima kasih." Tambahnya.

Tawa Eldrich mengudara. Queena selalu mengejutkannya. "Q ... Apapun yang kau rasakan saat ini, atau kapanpun itu. Datanglah ke cafe. Aku akan selalu ada untukmu."

Queena terkejut, panggilan Eldrich yang berubah itu menandakan jika ia serius. "Ya, pasti. Terima kasih kau selalu ada untukku El."

"Baiklah. Kurasa kau terlihat membaik, aku harus kembali ke cafe. Jangan sungkan untuk datang kepadaku Q, aku akan selalu ada untukmu." Eldrich kembali mengelus lembut puncak kepala Queena sebelum akhirnya pergi.

Queena memandang punggung Eldrich yang kian menjauh darinya. Ia menyeringai miris "kenapa Tuhan tidak menempatkan cintaku untukmu saja El." Gumamnya.

Queena sejatinya mengerti, ia sungguh tau jika Eldrich mencintainya. Namun, tidak ada perasaan itu dalam diri Queena. Bukan perasaan itu yang ia miliki untuk Eldrich. Sungguh, jika saja Queena mencintai Eldrich. Ia rasa dunianya akan indah dan nyaman. Namun ... Semua itu hanya andai dan angan saja. Sebanyak kali Queena mencoba. Sebanyak kali itu juga sosok Alfian semakin mengisi hatinya.

Air matanya berhasil lolos membasahi pipi. Queena menyeringai miris di sela tangisnya. Sungguh kenapa rasanya Tuhan tidak adil, kenapa nama Alfian semakin menguasai hatinya. Ia menepuk-nepuk dadanya. Sakit sekali jika mengingat usahanya selama ini sama sekali tidak membuahkan hasil.

***

Siang yang terasa terik itu kedatangan Luna membuat Alfian tak nyaman.

"Ayahku ingin bertemu denganmu hari ini Fian."

"Bukankah sudah ku katakan akan ku atur jadwalku untuk bertemu dengannya."

"Aku tau, tapi ayahku sepertinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Tuntut Luna

Alfian mengurut keningnya pelan. Sungguh siapa sebenarnya Luna. Kenapa selama ini ia berfikir Luna memberinya kenyamanan. Alfian merasa tidak mengerti. Apakah Luna memang seperti ini, ataukah ia yang kini sepenuhnya mengerti.

"Aku tunggu kedatanganmu malam ini juga." Titah Luna tak terbantah seraya pergi meninggalkan ruangan Alfian.

Alfian menyugar rambutnya kasar. Ia berteriak kesal, kenapa banyak sekali rintangan untuk mengambil kembali Queena. Apakah ini hukuman Tuhan untuknya? Dan kenapa Rein lama sekali memberi informasi yang ia butuhkan.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang