jengah

1 0 0
                                    

Seharian ini isi kepala Alfian dipenuhi kejadian di cafe kemarin. Apa yang ia lihat terasa berputa-putar membentuk reka adegan di dalam kepalanya. Sungguh itu membuatnya muak. Alfian tidak ingin ada laki-laki lain yang merebut hati Queena. Posisi itu harusnya milik Alfian. Dan hanya milik seorang Alfian Megantara.

"Tolong cari tahu informasi tentang seorang Eldrich Prasetyo. Aku ingin informasi itu sesegera mungkin." Alfian meminta bantuan kepada sahabatnya Rein.

Rein tertawa mengejek "akhirnya kau sadar juga. Yah ... Setidaknya aku tidak perlu terlalu ikut campur dalam dunia asmaramu." Tambahnya.

"Tidak ada yang boleh memiliki Queena selain aku. Dia milikku, Alfian Megantara." Tatapan itu menghunus tajam pada layar yang berlogo apel tergigit.

"Baiklah, serahkah padaku. Kupastikan besok informasi lengkap ada di atas mejamu." Jawab Rein jumawa

Bukan tanpa alasan Alfian meminta bantuan kepada Rein, dia adalah sahabat sekaligus tangan kanan Alfian untuk segala urusan. Meski jabatan di Megantara grup hanya sebatas pengacara perusahaan, namun kepercayaan penuh atas apapun Alfian berikan pada Rein. Dan alasan itulah yang membawanya menjadi pengacara perusahaan Megantara.

"Dan satu hal lagi. Aku ingin semua informasi tentang keluarga Abigail, tanpa kecuali."

Rein tersenyum puas. Ia berlalu pergi seraya mengangkat satu tangan menunjukkan jika semua itu adalah hal kecil bagi seorang Rein. entah kenapa ia melihat jika akhirnya sosok Alfian penuh ambisi telah kembali.

Katakanlah Alfian pengecut. Namun semua bukan tanpa alasan. Karena Alfian mengerti Queena bukanlah wanita yang mudah ditaklukan, meski ia mencintainya sekalipun.

"Selamat siang Fian." Suara yang entah sejak kapan sungguh tak ingin Fian dengar kini selalu menyapa rungunya.

"Hai Luna."

Alfian masih sibuk dengan layar besar yang berlogo apel tergigit itu.

"Apa ... Kau sibuk? Bagaimana jika siang ini kita makan bersama?" Tanya Luna dengan aksen manja yang sejujurnya sedari dulu ia bersikap demikian jika bersama Fian.

Namun, entah kenapa Fian merasa tidak suka dengan sikap manja Luna . Alfian benar-benar merasa Luna terlalu berlebihan di depannya.

"Aku sibuk Luna."

Luna sedikit terkejut dengan sikap acuh yang Fian tunjukkan. Ini adalah kali pertama Fian bersikap sedingin itu kepadanya.

"Sebenarnya apa yang kamu kerjakan Fian?" Luna tampak berani mendekat dan mengelus lembut pundak Fian.

Fian sedikit terkejut melihat Luna berbeda dari biasanya. Jika kebiasaan suara manja itu kini terdengar menyebalkan. Sungguh, Fian semakin muak mendapati sikap Luna yang berani mengelus pundaknya kini.

"Bisakah kau tetap di tempatmu Luna?" Tuntut Fian tak terbantah.

"Baiklah. Aku hanya ingin sedikit membantu, sepertinya kamu sedikit lelah."

"Aku baik-baik saja selama kau tidak menggangguku."

Luna terkejut. Apa ia tidak salah dengar? Alfian baru saja mengatakan jika ia pengganggu? Sebenarnya siapa wanita di cafe kemarin. Ia benar-benar tidak percaya jika Alfian bersikap sangat berbeda padanya.

Alfian menyadari keterkejutan Luna atas sikapnya. Namun, Ia lebih memilih acuh dan kembali fokus pada pekerjaan yang sejujurnya tidak seberapa itu.

"Ayah ingin bertemu denganmu Fian."

Alfian menarik nafas dalam, ia tau betul maksud dari Saka Adiwijaya mengajaknya bertemu. Fian tampak menatap Luna "apa ... Om Saka sedang sakit?"

"Tidak ... Sepertinya dia merindukanmu Fian."

"Baiklah, akan ku atur jadwalku untuk bertemu dengannya."

"Benarkah? Aku akan menyampaikannya pada ayah. Aku yakin ayah akan senang bertemu lagi denganmu."

Alfian hanya sedikit mengangguk tanpa berminat kembali bercengkrama seperti biasanya dengan Luna.

"Sebaiknya kau pergi, aku sedang tidak ingin menerima tamu. Siapapun itu."

Alfian benar-benar tak terbantahkan. Ia mendorong Luna secara terang-terangan. Sejujurnya ia hanya lelah mendengar Saka adiwijaya lagi-lagi mengajaknya bertemu. "Belum cukupkah ia mengerti maksud penolakanku?" Bathinnya.

Luna pun pergi dengan membawa banyak pertanyaan di kepalanya. Ia cukup terkejut atas sikap Alfian yang terlihat mendorongnya untuk menjauh. "Sebenarnya siapa wanita itu?" Gumamnya seraya berlalu meninggalkan ruangan Alfian.

Alfian merasa hari ini teramat lelah. Ia memang pandai dalam berbisnis. Namun seperti yang sahabatnya katakan, ia sangat payah dalam menghadapi wanita. Tidak ada urusan asmara dalam kamus seorang Alfian. Sejujurnya cinta pertama Alfian adalah Aliefa. Namun, akhir cerita yang tidak seperti yang ia inginkan pun menjadi hasilnya hanya karena ambisi semata.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang