Sarapan

2 0 0
                                    

Queena menggeliat di dalam pelukan suaminya, Alfian. Malam tadi terasa sangat panjang kala ia kembali mengingat dan menikmati betapa lembutnya sentuhan Alfian. Entah kenapa setelah suaminya itu mengantarnya ke pusara Andrean. Perasaan yang sejak dulu terasa menyesakkan itu kini telah tercurahkan sepenuhnya. Queena meyakini jika perasaannya untuk Andrean benar-benar telah selesai.

Queena menggigit bibir bawahnya seraya tersenyum malu kala mengingat betapa liar dia semalam. Entahlah, ia bahkan tak berfikir jika ia akan seliar itu. Sungguh, ia hanya mengikuti apa yang hatinya inginkan selama ini. Dan tentu saja semua itu mampu mengukir senyum di wajah Alfian. Bahkan berkali-kali Alfian berterima kasih serta mencium dan mengecup seluruh wajahnya usai percintaan mereka. Dan lagi Queena dibuat tersenyum dengan tangannya yang terulur menyentuh kening. Ciuman lembut dan hangat yang Alfian berikan disana seusai percintaan mereka membuat Queena merasa sangat bahagia

Hatinya berdesir hangat saat menatap paras suaminya yang masih terlelap. Nafas teratur dari Alfian seakan membuat hatinya merasa lega. "Terima kasih Tuhan." Gumamnya. Ia mengecup pipi Alfian sebelum beranjak dari tempat ternyamannya. Sungguh, jika saja ia tak mengingat kewajibannya berjibaku di dapur. Maka dapat Queena pastikan, ia akan dengan senang hati bergelung dalam selimut bersama dengan pelukan suaminya, Alfian.

Helaan nafas terdengar kala kini Queena tengah memandang dengan jemari yang mengetuk-ngetuk dagunya pelan di depan lemari pendingin yang sudah penuh dengan kebutuhan dapur untuk sehari-harinya kini.

"Kira-kira apa yang Alfian inginkan untuk sarapan?" Batin Queena bingung.

Queena selalu berharap ia bisa seperti Aliefa. Ayolah, meski kini Alfian sudah menjadi suaminya. Namun hatinya selalu merasa takut. Ia bahkan tidak bisa memasak sebaik Aliefa atau bahkan ia pun tidak selembut Aliefa. Tak jarang juga jika Queena merasa tidak percaya diri atas statusnya yang menjadi istri Alfian Megantara kini.

Jemarinya masih setia memotong bahan-bahan yang akan ia hidangkan di meja makan pagi ini. Dia bahkan belum sempat membersihkan diri. Pakaian yang ia gunakan saat ini pun hanya kemeja putih Alfian semalam. Sungguh, ia tidak ingin sebenarnya. Namun, kegiatan panas semalam benar-benar membuatnya lelah hingga terlambat bangun.

"зая (zaya)." Panggil Alfian dengan suara berat dan serak. "Kau memasak apa pagi ini?" Tanya Alfian seraya melingkarkan lengannya di pinggang Queena.

Queena menegang, bahkan setelah melewati malam yang panas beberapa hari ini, Queena masih selalu merasa gugup jika Alfian bersikap seperti itu padanya.

"Aku terlambat bangun pagi ini. Bisakah kau duduk di pantry?" Ungkapnya gugup.

Alih-alih melepaskan pelukan dan menjauh, Alfian malah semakin mengeratkan pelukannya seraya mengecup leher istrinya.

Queena menggeliat dalam pelukan Alfian. Sekuat tenaga ia menahan lenguhan yang hendak lepas dari mulutnya. Alfian benar-benar monster lembutnya. Sungguh, ia piawai sekali memanjakan Queena bahkan ia seakan tau dimana titik kelemahan Queena yang membuatnya kewalahan.

"милая (milaya)." Ucap Queena pelan seraya menahan lenguhan yang hampir keluar melalui kata-katanya itu.

"Aku suka melihatmu memakai kemejaku." Ungkap Alfian jujur.

Queena membalikkan badannya dalam pelukan Alfian hingga kini ia langsung menatap mata sayu suaminya yang dipenuhi gairah. Ia menghela nafas pelan, apakah hanya memakai kemeja ini saja ia membangunkan monster lembut dalam diri suaminya itu? Pikir Queena.

"милая (milaya), please. Kita harus sarapan, bukankah hari ini kau ada meeting penting?" Tutur Queena seraya menyentuh rahang tegas suaminya.

Alfian menyeringai, ia mengecup bibir istrinya. Sungguh, penampilan Queena pagi ini bahkan terlihat lebih menggoda dibandingkan saat ia memakai gaun dinas malam yang Alfian siapkan.

"Aku menginginkanmu зая (zaya)." Bisik Alfian serak dengan sedikit menggigit pelan telinga istrinya.

Queena terkejut. Lenguhan yang sedari tadi ia tahan pun kini menyapa rungu Alfian yang tentu saja semakin membangunkan monster lembut yang membuat Queena menghela nafas.

"Tapi ini hampir jam tujuh pagi." Tutur Queena.

"зая (zaya), please. Aku berjanji untuk kali ini hanya sebentar. Tidakkah kau lihat. Aku hampir gila hanya karena melihatmu memakai kemejaku pagi ini." Ungkapnya frustasi.

Tatapan Queena melebar. Ia masih ternganga saat Alfian tanpa menunggu persetujuannya kini kembali memagut penuh hasrat bibir istrinya itu. Sesekali Queena mengerang kala ciuman Alfian turun ke leher. Bahkan ia tak sadar jika Alfian telah menggendongnya dan mendudukkannya di atas meja makan nya itu.

Untung saja Alfian hanya mempekerjakan orang untuk datang membersihkan kediamannya saat pukul sembilan hingga pukul empat sore. Jika tidak, Queena yakin ia akan merasa malu di pergoki orang lain.

"May i?" Tanya Alfian serak.

Queena bahkan masih merasa malu saat Alfian selalu meminta ijin kala akan melakukannya. Ayolah, tidakkah ia berfikir. Bukankah saat ini saja semua kancing kemeja yang dikenakan Queena sudah terbuka. Dan bahkan ia hanya memakai celana segitiganya di balik kemeja itu. Kenapa Alfian masih perlu persetujuannya jika saat ini saja ia sudah pasrah di bawah Alfian. Batin Queena.

***

Queena merengut kesal kala melihat matahari sudah cukup meninggi saat ini. Janji Alfian pagi tadi sungguh tak mampu ia tepati. Bagaimana tidak, Alfian bahkan tak hanya sebentar mencumbunya di atas meja makan itu, yang akhirnya membuat punggunya terasa sakit saat ini.

"Ada apa dengan bibirmu itu зая (zaya)?" Goda Alfian

Queena mendelik sebal. Saat ini bahkan sudah menjelang siang, pukul sembilan pagi tadi mereka baru selesai dengan ritual panas yang menurut Alfian itu wajib dilakukan setiap pagi. Untuk satu itu Queena merasa tidak setuju dengan pendapat suaminya.

"Kau membuatku ingin menciummu lagi." Goda Alfian saat hanya delikan Queena yang ia dapatkan.

Queena menatap tak percaya pada suaminya itu. Memangnya gara-gara siapa mereka melewatkan sarapan paginya. Dan ia sungguh semakin dibuat tidak percaya saat mendengar ucapan Alfian. Tangannya mencubit perut liat suaminya itu. "Kenapa kau senang sekali menggodaku seperti itu." Tuturnya kesal.

"Aku tidak sedang menggodamu, karena memang benar bibirmu itu memang minta dicium." Ucap Alfian santai dengan mata yang masih tertuju pada jalanan.

"Memangnya gara-gara siapa kita jadi melewatkan sarapan seperti ini. Bahkan kau tidak menghadiri meeting pentingmu pagi ini." Ucap Queena dengan bibir yang mengerucut kesal.

Tawa Alfian mengudara. "Untuk apa orang kepercayaanku selalu setia di kantor. Bukankah dengan merekapun cukup untuk mewakiliku." Alfian mengecup singkat bibir Queena. "Dan untuk sarapan. Aku akan mengantarmu kemanapun kau mau, sebagai permintaan maafku." Imbuhnya.

Tatapan Queena melebar. Ia memukul lengan suaminya, ia menghela nafas lega saat menyadari jika jalanan kini ramai dan sedikit macet. "Kau membahayakan kita милая (milaya)."

Alfian menyeringai. "Jalanan sedikit macet зая (zaya)." Jelasnya santai.

Queena semakin merengut. Ia merasa kesal sekali pada suaminya itu pagi ini. "Aku ingin sarapan di kafe King."

Alfian menginjak rem mendadak. Dadanya bergemuruh kala mendengar permintaan istrinya itu. "Bagaimana jika aku yang memilih dimana kita akan sarapan?"

Queena mendelik, "bukankah tadi kau bilang akan menuruti inginku dimanapun itu tempatnya untuk sarapan? Dan lagi, ini sudah terlalu siang untuk makan berat милая (milaya)"

Alfian mendengkus, ia menyesal berkata demikian sesaat tadi. Sial, ia tak terfikirkan sedikitpun tentang kafe King itu. Status Queena sebagai istrinya pun belum mampu menghilangkan kegusarannya atas kehadiran sosok Eldrich. Ayolah, Alfian tidak bodoh untuk melihat perasaan yang dimiliki Eldrich kepada istrinya, Queena.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang