langit berawan

5 1 0
                                    

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tiga hari sudah Alfian dirundung kesedihan. Entah kenapa ia baru kali ini merasakan sesak hati. Jika dibandingkan saat ia mendengar berita pernikahan Aliefa. Kali ini ia merasa tak ingin melanjutkan hidup. Katakanlah ia pengecut. Tapi itu kenyataan.

Alfian sama sekali bukan Alfian biasanya. Setiap hari ia berharap sosok itu kembali hadir mengganggunya lagi. Sungguh kali ini Alfian berharap suara high heels itu adalah milik gadis pengganggunya. Namun rasanya permohonan itu terlalu muluk. Sepertinya Tuhan tengah memberikan hukuman padanya.

"Selamat pagi Fian."

Alfian sedikit tertegun dan berharap. Namun harapan itu lagi-lagi hanya menjadi angan semata kala yang berdiri di depannya kini bukanlah Queena.

"Pagi Luna." Jawabnya lemah

"Bagaimana jika siang ini kita mampir di cafe kemarin, kurasa itu bisa membuatmu sedikit nyaman."Luna mencoba membujuk Alfian yang sudah tiga hari ini bekerja tanpa henti seakan kewarasannya hilang.

Alfian menarik nafas berat. Luna benar, sepertinya ia memang membutuhkan sedikit udara segar.

"Baiklah." Jawabnya tanpa melihat Luna.

Luna tau suasana ini, ia mengerti apa yang terjadi. Hanya saja ia tak tau siapa perempuan yang kembali mampu membuat seorang Alfian seterpuruk ini.

***

Cuaca siang itu tidak terlalu terik. Alfian merasa sang bumi turut merasakan suasana hatinya. Sesuai janji Luna pagi tadi, akhirnya kini ia tengah duduk di cafe yang belum lama buka yang jaraknya tak jauh dari tempat bernaungnya si pemilik tahta Megantara. Alfian cukup penasaran kenapa rasanya suasana cafe mengingatkan ia pada Queena. Menu yang cafe King suguhkan pun benar-benar seakan menunjukkan sosok Queena.

Alfian tersenyum kala melihat menu cake yang diberi nama Princess itu. Hanya sepotong red velvet, tapi sungguh mampu membuatnya kembali merasakan nyeri pada hatinya.

"Menurut pelayan disini, menu Princess adalah cake terenak dan banyak dipesan meski baru di keluarkan dua hari yang lalu oleh pemilik cafe. Apa kau mau mencobanya?" Tanya Luna yang menyadari ketermanguan Alfian.

"Baiklah."

Pelayanan disini memang wajib di berikan penilaian plus. Pasalnya pesanan yang d antar pun tepat serta cepat. Dan jangan lupakan keramahan semua pelayan yang mampu menghidupkan suasana cafe menjadi hangat.

Alfian menatap cake di depannya. Ia tersenyum pahit, baru kali ini ia memfavoritkan makanan. Alfian memakan cake yang dilabeli Princess itu. Entah kenapa rasanya benar-benar mengingatkannya pada Queena.

"Selamat siang Tuan, Nona. Bagaimana menurut anda rasa dari cake ini?" Suara yang terdengar ramah itu mengejutkan Alfian.

"Cake nya sangat enak. Rasanya tidak terlalu manis, tapi itu menjadikan ciri khas bagi cake ini sendiri." Jawab Luna

"Ia memang sengaja saya buat untuk seseorang yang special bagi saya. Dan bersyukur sekali, dia menyukainya. Oh maaf sebelumnya perkenalkan, saya Eldrich. Pemilik cafe ini." Tambahnya

Alfian sedikit dibuat penasaran dengan kalimat Eldrich tadi. Tapi kebetulan yang terjadi itu selalu ada di dunia ini bukan? Jadi Alfian tidak terlalu memikirkannya.

"Baiklah, saya permisi. Selamat menikmati."

Alfian menatap keluar jendela, langit tampak sedikit berawan. Namun matanya tertegun kala ada seorang yang selama tiga hari ini ia tunggu kehadirannya.

Hatinya berdegub kencang. Sungguh jika saja ia tidak pengecut, ia ingin berlari dan memeluknya. Alfian tersenyum kala melihat gadis pengganggunya itu baik-baik saja.

Namun, kelegaan itu tak berselang lama. Suasana hatinya kembali memburuk, pemandangan di depan matanya kini mampu kembali mencubit hati dari seorang Alfian Megantara.

Alfian mengepalkan tangannya kala ia melihat Queena bersenda gurau dengan seorang pria yang tak lain adalah Eldrich si pemilik cafe. Ia belum pernah melihat Queena tertawa seperti itu di depannya. Kemarahan Alfian kian meluap kala ia melihat Eldrich menyentuh dan mengelus lembut puncak kepala Queena siang itu.

Luna menyadari perubahan sikap Alfian, dan ia melihat kemana arah tatapan mata Alfian kala itu. Akhirnya ia sepenuhnya mengerti, jika wanita itulah yang mampu membuat Alfian kembali terpuruk seperti ini.

Tatapan Alfian masih tajam dan kepalan tangan yang kian menguat hingga terlihat buku jari memutih itu mampu menyadarkan si pemilik semburat warna merah muda yang selalu Alfian rindukan. Mata Queena bertemu dengan Alfian. Kerinduannya sedikit terobati. Tapi entah kenapa Alfian terlihat sedikit kelelahan.

Namun, lagi-lagi Queena harus menelan pil pahit kala ia menyadari gadis di samping Alfian kala itu. Tatapannya kembali sendu. Entah kenapa, kenyataan siang itu seakan mengharuskannya menyerah.

Sepertinya ia takkan lagi bertemu dengan Alfian. Dan ia pastikan hari ini adalah yang terakhir matanya bertemu dengan kekasih hati, Alfian.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang