berdua

0 0 0
                                    

Alfian masih menunjukkan raut wajah merengut dengan mata yang menatap tajam tak setuju atas keputusan istrinya itu. Menghela nafas sesaat, Alfian tak habis fikir dengan istrinya itu. Alfian memang berencana mengajak istrinya itu jalan-jalan. Tapi, ayolah. Kenapa Queena malah memilih kafe King sebagai tujuan pertama mereka.

Queena tertawa geli menatap wajah suaminya yang memberengut sejak kedatangannya setengah jam yang lalu di kafe milik sahabatnya, Eldrich.

"Kau harus mencoba cake ini милая (milaya)." Pinta Queena sembari mendekatkan sepotong kecil cake kesukaannya dengan garpu kecil.

"Dari semua tujuan, kenapa harus datang ke tempat ini зая (zaya)?" Protes Alfian.

Queena tertawa geli melihat suaminya. Entah kenapa Alfian masih saja merasa cemburu kepada Eldrich, padahal jelas-jelas saat ini Queena bahkan tengah mengandung buah hatinya bersama dengan suaminya itu. Batin Queena.

"Aku hanya merindukan cake buatan Eldrich."

Alfian mendengus pelan sembari mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Queena tersenyum geli. Tangannya terulur menggenggam tangan Alfian di atas meja dengan memandang lembut. "милая (milaya)." Ucapnya lembut. "Aku hanya milikmu." Bisik Queena dengan sengaja memberi tatapan menggoda pada Alfian.

Alfian mengumpat dalam hatinya, ia tidak menyangka istrinya itu pandai menggodanya seperti itu. Apakah ia tak sadar dampak yang ditimbulkannya bagi Alfian. "Kau menggodaku зая (zaya)."

Queena tertawa geli. "Aku tidak mengerti kenapa kau terlihat tak nyaman dan seperti sedang marah."

"Sudah ku katakan alasannya."

Lagi-lagi Queena tertawa geli. "Alasanmu tak masuk akal милая (milaya)."

Alfian hendak menjawab perkataan istrinya sebelum akhirnya terdengar suara dari seorang lelaki yang Alfian hindarkan dari istrinya, Queena.

"Apa kalian sudah lama?"

Queena terkejut dan menatap antusias pada sahabatnya yang sedari dulu selalu menjaganya itu. "El, ya Tuhan. Kenapa kau membatalkan kedatanganmu tempo hari?"

Eldrich tersenyum lembut menatap sahabat yang begitu ia cintai namun saat ini telah menjadi milik orang lain itu. "Boleh aku bergabung?" Pintanya dengan menatap bergantian pada Queena dan Alfian.

Queena tersenyum dan mengangguk tanpa memperdulikan air muka suaminya yang semakin merengut tak setuju. "Tentu saja, silahkan. Kami merasa sangat terhormat duduk bersama pemilik kafe ini." Ungkap Queena jenaka.

Eldrich tertawa "selamat atas pernikahan kalian. Maaf aku belum sempat berkunjung ke rumah kalian."

Alfian hanya diam dan menjadi pendengar dengan jemari yang tak lepas menggenggam jemari Queena yang bebas di atas meja. Entah kenapa, Alfian hanya ingin menunjukkan kepemilikan Queena di depan Eldrich yang notabene nya sahabat bahkan pernah mencintai istrinya itu.

"Terima kasih banyak. Untuk saat ini aku memaafkanmu El, tapi ingat, kau harus datang ke acara resepsi pernikahan kami nanti."

"Tentu, kabari saja kapan tepatnya."

Queena sedikit menunduk dengan raut wajah kecewa. "Seharusnya acara itu di adakan satu minggu yang lalu." Ungkapnya jujur.

"зая (zaya), kau sedang mengandung. Ingat?" Tegur Alfian.

Eldrich menatap tak percaya pada Queena. "Princess, kau hamil?"

Queena meringis seraya mengangguk. "Iya El, jalan enam minggu."

"Ya Tuhan, apa aku akan mendapatkan keponakan?"

Queena tertawa mendengar penuturan Eldrich. "Kau uncle yang buruk El."

"Suamimu benar Q, tidak ada salahnya menunda resepsi kalian. Semua itu untuk kesehatanmu juga keponakanku. Tentu saja." Tutur Eldrich.

Queena merengut kesal mendengar penuturan Eldrich. "Kalian sama saja. Padahal aku dan bayiku kuat dan sehat. Kenapa kalian tidak mempercayaiku sedikit saja."

Alfian menghela nafas pelan. Mood ibu hamil memang tidak mudah ditebak. "Kalian lebih berharga dari apapun bagiku зая (zaya)."

Eldrich hanya tertawa menatap sahabatnya yang merajuk seperti itu. Sedikit termenung dan menatap sendu pada Queena. Jika dulu ia selalu sigap memeluk dan mengusap puncak kepala Queena saat wanita itu merajuk seperti saat ini. Tapi sekarang, semua itu bukanlah tugasnya. Bahkan Eldrich sedari tadi menyadari betapa suami sahabatnya itu menunjukkan kepemilikannya atas Queena. Dan dari semua itu Eldrich menyadari jika ia telah sepenuhnya kalah.

"Aku selalu mendoakan kebahagiaanmu Q. Nikmatilah waktu kalian, aku permisi. Ada seminar yang harus ku datang satu jam lagi."

Queena mengangguk dan tersenyum pada Eldrich.

"зая (zaya), apa kau sudah selesai?"

Queena mengangguk "милая (milaya), terima kasih." Ucapnya lembut

Alfian tersenyum. "Anything for you зая (zaya)."

"Setelah ini, bisakah kita ke rumah Ken. Aku merindukan Raja." Pinta Queena yang di angguki Alfian kemudian.

"Apa kau tau? Entah kenapa, aku seperti melihat Mas Andrean saat melihat Raja. Wajahnya mirip Mas Andrean tapi sikapnya percis seperti Ken." Ungkap Queena saat keduanya tengah berada di dalam mobil dalam perjalanan ke rumah Aliefa juga Ken.

Alfian mengusap puncak kepala istrinya. Hatinya masih sedikit sakit setiap istrinya berbicara tentang Andrean. Sepenuhnya Alfian menyadari jika ia tak sepatutnya terus-menerus merasa cemburu kepada sosok yang sudah tidak ada di dunia ini. Dan bahkan, istrinya sudah menegaskan jika ia mencintai dirinya. Tapi, Alfian tak menampik. Ia masih selalu cemburu setiap nama Andrean disebut oleh istrinya, Queena.

"Aku jadi ingin bertemu dengan Andrean." Ungkap Alfian.

Queena melebarkan tatapannya, ia terkejut mendengar kalimat dari suaminya itu. Seketika mood nya berubah semakin buruk dan menangis.

Alfian mengernyit. Ia tak mengerti kenapa istrinya itu menangis. "зая (zaya)?"

"Kau tidak boleh bertemu Andrean. Kau harus tetap disini bersamaku милая (milaya)."

Alfian semakin menautkan kedua alisnya, ia benar-benar tak mengerti maksud dari kalimat yang diucapkan istrinya itu.

"Kau harus tetap hidup милая (milaya), kau harus menemaniku suka maupun duka hingga rambut kita berdua memutih."

Alfian menghela nafas pelan. Akhirnya dia mengerti kemana arah pembicaraan istrinya itu. Ia menggenggam lembut tangan Queena yang berada di pangkuannya itu dan ditarik untuk kemudian mengecupnya. "зая (zaya), aku tidak akan pergi kemanapun meninggalkanmu. Semoga Tuhan mengabulkan pintaku itu. Percayalah." Ungkapnya lembut.

Queena mengangguk yakin dengan tangis yang kian mereda. "Kau tau? Perasaan yang paling aku takutkan adalah saat aku mendengar kabar kepergian Andrean."

Alfian kembali mengusap puncak kepala istrinya. "Maafkan aku."

Queena menggeleng. "Kau tidak perlu meminta maaf untuk itu. Aku hanya tidak ingin kembali merasakan perasaan sesak saat itu lagi. Aku mencintaimu милая (milaya), kau berharga bagiku." Ungkap Queena jujur.

Alfian tersenyum, hatinya menghangat mendengar penuturan istrinya yang tulus itu. Sejank ia merutuki diri, kenapa hatinya selalu cemburu setiap mendengar tentang Andrean dari mulut istrinya itu. Seharusnya Alfian tau, seharusnya Alfian yakin dengan perasaan istrinya itu. Bukankah, Queena selalu mengatakan tentang apa yang ia rasakan. Seperti saat ini. Jika saja mereka tidak sedang berada dalam perjalanan. Maka bisa dipastikan Alfian akan memeluk erat dan menciumi setiap inchi wajah istrinya itu.
Tidakkah Queena tau, jika apa yang dikatakannya sesaat lalu memberikan efek luar biasa bagi Alfian. Pikir lelaki itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang