kehangatan

3 0 0
                                    

Pagi-pagi sekali Queena terbangun dan menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya mengingat kedekatannya akhir-akhir ini dengan Alfian. Ia tersenyum lagi saat mengingat betapa lembut Alfian menciumnya semalam.

"Aku masih tidak percaya kau milikku saat ini, Fian." Bisiknya seraya menyentuh setiap inchi wajah suaminya, Alfian.

Queena melepas pelan pelukan Alfian padanya. Ia bersyukur meski belum ada kelanjutan yang lebih intim selain ciuman semalam. Namun, Queena tak akan menyerah. Ia akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Alfian.

Ia berjalan ke arah kamar mandi sekedar untuk membersihkan diri. Entah kenapa ciuman lembut semalam mampu memupuk semangatnya hari ini.

Berkutat di dapur, ia melihat lemari pendingin yang kosong belum terisi bahan masakan atau makanan ringan sekalipun.

"Apa selama ini Alfian tidak pernah memasak?"

"Maaf aku melupakan isi lemari pendingin yang sangat penting saat kau menjadi istriku."

Queena terlonjak kaget kala mendengar suara dari seorang yang selalu bercokol di kepalanya. "Selamat pagi."

"Pagi sayang, aku ada urusan sedikit di kantor hari ini. Selepas itu kita belanja kebutuhan rumah." Ucapnya seraya menuangkan air putih yang tak jauh dari Queena.

Jujur saja Queena belum terbiasa dengan panggilan sayang dari Alfian untuknya. Namun tak dipungkiri jika ia bahagia mendengarnya.

"Kebetulan aku ingin berkunjung menemui papa dan mama. Setelahnya aku akan ke butik sebentar." Hening sejenak. "Lalu ... Aku akan menemuimu sekaligus membawakanmu makan siang, apa ... Boleh?" Cicitnya.

Alfian tersenyum mendengar kalimat malu-malu istrinya. Ia sempat berfikir apakah perasaannya masih belum tersampaikan? "Tentu saja aku akan sangat merasa senang. Apa perlu ku antar pagi ini?"

"Tidak perlu, aku rindu menyetir sendiri."

"Ya sudah, aku siap-siap dulu." Ucap Alfian seraya mencium kening istrinya sebelum berlalu kembali pergi menuju kamarnya.

Queena turut mengikuti kepergian Alfian ke kamarnya hanya untuk menyiapkan keperluan suaminya itu. Dia merasa satu kewajibannya di pagi hari itu akan membuat suaminya lebih bersemangat lagi. Namun, ia masih sedikit ragu kala menyiapkan celana dalam suaminya sendiri. Semburat merah selalu menghiasi wajahnya kala ia melihat barang pribadi suaminya itu. "Otakmu mesum Queena." Rutuknya.

Ia kembali ke dapur sekedar melihat dan berharap ada sesuatu yang bisa ia suguhkan di meja makan. Sesekali jemarinya mengetuk dagu sembari menatap sekeliling. Dan senyumnya terbit kala melihat ada satu bungkus roti tawar yang tersimpan tak jauh dari lemari pendingin. "Apa setiap hari Alfian hanya memakan ini?"

Saat Queena masih sibuk menyiapkan roti bakar, ia mencium aroma sabun anti septik yang menyegarkan. Ia berbalik dan mendapati suaminya yang telah rapi kini menunggunya di meja makan. "Kenapa kau selalu terlihat tampan Fian?" Gumamnya.

"Siapa yang tampan sayang?" Goda Alfian dan tentu saja membuat Queena terlonjak kaget. Ia merutuki diri sendiri "Kenapa dia bisa sampai mengutarakan isi fikirannya itu." Bathin Queena.

"A-apa ingin kubuatkan teh?"

Alfian tersenyum lembut menatap Queena yg nampak gugup.  "Tentu."

"Maaf hanya bisa menyiapkan ini untukmu." Cicitnya saat membawa dua porsi roti bakar juga teh hangat.

Alfian mengecup pipi istrinya lembut. "Tak masalah."

Queena menunduk malu, ia berjalan cepat menuju tempat duduknya untuk menyembunyikan semburat merah yang sejak tadi setia berada menghiasi pipinya.

"Apa kau yakin tak ingin ku antar?"

Queena mengangguk yakin. "Aku tidak ingin merepotkan mu, segera setelah urusanku di butik selesai, aku akan menemuimu."

"Baiklah, hubungi aku saat kau tiba di rumahmu."

Queena mengangguk. Ia merasa terharu mendengar kalimat sederhana itu dari Alfian.

"Tunggu di ruanganku siang nanti. Kurasa meeting hari ini sedikit akan melelahkan."

"Apa kau tidak keberatan saat publik mengetahui jika kau adalah pemilik sebenarnya dari Hazel?"

Alfian tersenyum tipis. Queena benar, kenyataan yang menggemparkan dunia bisnis itu memang sedikit mengganggunya. Tak sedikit dari beberapa kolega bisnisnya yang menghubungi dan mengajak bekerjasama. Namun, itu adalah salah satu bukti pengorbanannya untuk mendapatkan Queena sebagai istrinya.

"Aku tidak akan masalah. Karena itu adalah resiko yang sudah kufikirkan sejak sebelum menikahimu."

"Maaf." Sesal Queena

Alfian berjalan memutari meja makan dan berdiri di hadapan Queena. Ia menunduk mensejajarkan posisinya dengan istrinya itu. "Hei, semua itu bukan apa-apa bagiku. Karena yang paling penting saat ini adalah kebahagianmu." Ucap Alfian lembut seraya mengecup kening Queena lama.

Queena tersenyum haru dan memeluk erat suaminya itu. "Terima kasih."

Alfian mengelus lembut puncak kepala Queena. "Baiklah, aku pergi dulu. Kabari saat kau tiba di rumah nanti."

Queena bergegas mengikuti langkah suaminya. Ia benar-benar merasa dijadikan ratu oleh Alfian. Perlakuan lembut Alfian membuat Queena menginginkan hal yang lebih dari semua itu. Katakanlah dia mesum. Tapi bukankah semua itu wajar jika berharap pada suaminya sendiri.

"Berhati-hatilah. Kabari saat kau tiba di kantor." Tuturnya seraya mengecup bibir Alfian sekilas.

Alfian menegang, ia tak rela jika itu hanya sebatas kecupan. Dengan cepat Alfian menarik tengkuk Queena. Ia memperdalam ciumannya. Decapan demi decapan terdengar di depan pintu kediaman Alfian. Untung saja pagar rumahnya menjulang tinggi dan berada cukup jauh, sehingga tak akan mungkin ada yang melihatnya. Sekalipun mereka bercumbu di ruang tamu tanpa menutup pintu.

Queena mendorong pelan dada Alfian saat dirasa pasokan oksigen keduanya menipis. Nafas keduanya tersengal. Alfian menyatukan kening mereka "jangan pernah melakukan itu saat aku dikejar waktu seperti ini sayang." Ucapnya serak.

Queena meringis. Sejujurnya ia tak menyangka jika respon Alfian akan sangat berlebihan seperti itu. Ayolah, bahkan Queena masih bertanya-tanya tentang perasaan Alfian padanya. Bukankah laki-laki bisa tidur dengan perempuan mana saja? Fikir Queena.

"Pergilah. Kau akan terlambat jika terus memelukku seperti ini."

Alfian tertawa, ia mengecup kening Queena. "Pakai sesuatu yang kusiapkan di walk in closet nanti malam." Bisik Alfian.

Queena terlonjak kaget mendengar kalimat Alfian itu. Tanpa bisa di cegah semburat merah kini menghiasi pipi. Dan tentu saja Alfian gemas dibuatnya.

Queena bersandar di pintu selepas kepergian Alfian. Tanganya menyentuh dadanya yang berdegub kencang. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya kala kembali memikirkan makna kalimat Alfian.

Ia berlari menuju walk in closet dan memandangi gaun malam yang akan sangat menggoda jika ia kenakan nanti malam. Ia berteriak histeris tatkala memandangi gaun berwarna nude itu. "Kenapa rasanya aneh sekali saat mendengar Alfian mengatakan itu." Gumamnya.

"Kira-kira Alfian ingin melihatku memakai yang mana?" Ia tampak berfikir dan menimang sekedar untuk memilih satu dari lima gaun malam yang kini tengah Queena jajarkan di atas ranjang.

Queena kembali berteriak girang dan histeris kala membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam. Ia menggigit bibir bawahnya gemas dan berguling gelisah seraya memeluk gaun malam berwarna nude di genggamannya. "Kau gila Queena." Teriaknya.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang