Luna

4 0 0
                                    

Pagi yang cukup hening itu sedikit membuat Fian bersyukur. Pasalnya saat dia menatap pada benda pipih bulat di tangan kirinya "10 menit lagi moodku hancur" gumamnya pagi itu.

Yah seperti yang kita tau, rutinitas pagi Alfian Megantara adalah menyambut kebisingan dari si gadis pengganggu. Bahkan Alfian menamai Queena di daftar kontak handphone pun sebagai (Gadis pengganggu). Entah kenapa hanya nama itu yang tersirat disaat ada no yang tidak dikenal menelpon dan suara di sebrang telpon mengatakan jika dia adalah Queena Abigail Hito.

Cukup menghibur jika mengingat kala itu, sungguh Alfian dapat menangkap dengan jelas kegugupan Queena. Dan itu pertama kalinya Alfian tersenyum, meski si penelpon tidak mampu melihatnya.

Alfian kembali menatap benda bulat pipih di tangan kirinya. Sudah lewat 10 menit, tapi suara bising gadis pengganggu itu belum terdengar. Dan yang ia sedikit kecewa. Ia tersenyum pahit meski samar.

Suara high heels menyapu lantai terdengar sedikit berbeda, tanpa Alfian sadari Ia sedikit berharap jika yang ada di balik pintu ruangan itu adalah gadis pengganggu yang ia tunggu sejak 15 menit yang lalu.

"Selamat pagi Fian." Suara yang tidak asing itu menyapa rungu Alfian yang tengah sibuk dengan beberapa dokumen.

Alfian terkejut mendengar suara yang sudah lama sekali tak menyapa rungu nya itu. "Luna" gumamnya.

Alfian berdiri dan sedikit berlari memeluk perempuan yang sejak dulu menjadi sahabatnya itu.
Iya, dia adalah Luna Xaviera. Luna adalah sahabat yang ia temui sejak masa kuliahnya. Luna yang mengetahui bagaimana terpuruknya ia kala itu, bagaimana terpuruknya ia yang harus meninggalkan Aliefa tanpa penjelasan bahkan perkenalan sedikitpun. Luna tau semua tentang seorang Alfian Megantara sebelum  ia menjadi seperti saat ini.

"Aku merindukanmu Fian."

"Apa kabarmu, dan ayah. Bagaimana kondisi ayah? Apakah ia sehat?" Tanya Alfian semangat. Alfian tidak mampu menutupi kerinduannya kepada sahabatnya itu.

"Aku baik, ayah juga baik Fian. Aku tidak menyangka kamu benar-benar membuktikan ucapanmu waktu itu."

Alfian tersenyum sendu, "aku memang berhasil. Tapi tidak dengan satu hal."

Luna tampak penasaran, apakah yang Alfian maksud satu hal?

"Apa maksudmu?"

"Disaat aku kembali dengan membawa semua kesuksesan ini, Aliefa sudah menjadi milik orang lain." Jawab Alfian tersenyum sendu.

Luna kembali memeluk Alfian, ia sungguh mengerti kesedihan Alfian, ia tau jika Aliefa sangat berarti untuk Alfian.

"Tapi tak apa, aku sama sekali tak kecewa. Karena Aliefa benar-benar mendapatkan suami yang sangat mencintainya, bahkan melebihiku." Alfian tersenyum hangat dengan tatapan yang menerawang jauh. Dan Luna tau itu, Alfian sosok pria yang baik bahkan selalu mendahulukan kepentingan orang lain.

Alfian memang tampan, dia berperawakan tinggi, dia tidak banyak berbicara. Bahkan cenderung cuek, temannya bahkan bisa dihitung jari. Tapi itulah, jika sudah bersahabat dengannya. Senyuman hangat serta kebaikan yang hanya akan terasa jika sudah dekat dengannya. Seperti saat ini yang terjadi dengan Luna, ia tak menampik jika perasaannya terhadap Alfian melebihi rasa dari persahabatan, hanya saja Luna tak ingin menghancurkan ikatan mereka yang terjalin sebelumnya. Entah kenapa mendengar perkataan Alfian tentang Aliefa yang sudah di pinang orang lain ibarat angin segar baginya.

"Ada apa gerangan seorang Luna Xaviera ini berkunjung ke tempatku. Apakah Eropa sana sudah membuatmu bosan?" Alfian yang biasanya kaku dan cuek tiba-tiba menghilang di hadapan Luna.

Luna tertawa mendengar ejekan sahabatnya itu, "sepertinya kau lebih mengerti aku dibandingkan diriku sendiri ya Fian."

"Bukankah pertemuan kita bukan kemarin sore?"

"Kau benar Fian, ayah menuntutku segera menikah. Kau tau pasti alasannya kenapa bukan?" Luna menatap sendu lantai dan menarik nafas berat.

Alfian merasa iba mendengar keluhan yang tiada berubah dari sahabatnya itu, sejak dulu Luna memang selalu diminta ayahnya menikah. Bukan tanpa alasan, karena ia benar-benar pewaris tunggal dari perusahaan Moon yang bergerak d bidang pariwisata. Yah, pernah juga Alfian diminta menikahi Luna oleh Saka adiwijaya, ayah Luna. Namun, dengan berbagai alasan Alfian menolak. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan menikahi seorang sahabat, Alfian selalu meyakini jika pernikahan harus dilandasi cinta. Dan bukan perasaan itu yang Alfian miliki untuk Luna.

"Lalu, apakah kau sedang mencari perjaka indonesia? Sepertinya kau mulai menyukai produk lokal?"

Candaan Alfian membuat tawa keduanya mengudara. Sungguh Luna merindukan momen ini, Luna merindukan Alfiannya yang hangat seperti ini.

"Seperti biasa, kau selalu bisa membuatnya terasa ringan Fian."

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.20 dan itu semua Alfian lalui dengan berbincang bersama Luna. Sungguh pembicaraan yang terasa seperti bernostalgia itu cukup menyita waktunya. Tapi Alfian senang bisa bertemu sahabatnya itu.

"Sebaiknya kita makan siang dulu, kebetulan ada cafe sesuai dengan seleramu di dekat sini."

Kesederhanaan Fian yang menyikapi sesuatu itu selalu mampu memupuk perasaan yang sedari lama seorang Luna pendam.

"Benarkah? Kau memang selalu mengerti Fian." Jawab Luna sedikit bermanja namun terlihat seperti candaan bagi Fian.

Suara high heels yang sedari pagi Alfian tunggu itu mulai terdengar dan menyapa rungu Alfian yang saat ini sedang berada d meja sekretarisnya, Agnes.

Tatapan Queena menyendu, sumringah dan semangat yang sedari tadi ia pupuk kini menguap habis tak bersisa kala menatap senyum hangat Alfian untuk perempuan yang di depannya itu.

Alfian menyadari kehadiran Queena. Dan mengingat janji Queena kemarin untuk membawakannya makan siang. Sungguh ia terlalu bahagia bertemu sahabat lamanya.

Tatapan Queena menuntut penjelasan "Hai Fian. Aku membawakan ini sesuai janjiku kemarin."

Tatapan Fian beralih ke paper bag yang dibawa Queena. Entah kenapa sepertinya ia tak ingin melewatkan masakan Queena.

"Aku akan memakannya sepulang nanti, terima kasih." Fian menerima paper bag dari Queena dengan tatapan cuek nan dingin seperti biasanya.

Queena tampak kecewa, kenapa ia tak pernah bisa mendapatkan tatapan hangat seperti yang Fian berikan kepada wanita disampingnya itu.

"Baiklah, aku permisi." Queena tersenyum sendu, dan Alfian menyadari itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang