Rindu yang tersampaikan

1 0 0
                                    

Kicauan burung pagi itu bahkan terdengar merdu di rungu Alfian. Namun tidak bagi istrinya. Queena yang berada dalam pelukannya pagi itu masih terlihat sama dengan Queena kemarin.

Alfian menatap sendu paras yang selalu ceria itu. Semenjak kepulangan dari kediaman Wiryatama kemarin, istrinya menjadi pribadi yang berbeda. Fakta tentang kematian yang menimpa Andrean tentu saja menjadi andil yang paling diyakini cukup menghancurkan hatinya. Sungguh, itulah kenapa Alfian mencoba menyembunyikan fakta yang sudah dua minggu ia selidiki bersama dengan Rein.

Alfian semakin mengeratkan pelukannya "Inilah yang aku takutkan. Saat melihatmu begitu rapuh dan terluka kala mendengar fakta tentang kematian Andrean." Bisik Alfian seraya mengecup puncak kepala Queena yang terlelap di pelukannya.

Menurut Fabian Abraham kemarin, dalam dua hari ke depan ia akan menguak semua fakta dengan bukti yang sudah di siapkan lengkap untuk menjatuhkan Moon. Helaan nafas pelan terdengar dari mulut Alfian. Kemarin ia sempat ragu jika bukti yang masih belum lengkap itu mengarah kepada sahabatnya, Luna.

Alfian tidak pernah menyangka jika sahabat sejak masa kuliahnya bisa berbuat sekeji itu. Luna yang Alfian kenal bahkan selalu memberikan masukan positif. Bahkan Alfian masih mengingat jelas tentang nasihat yang diberikan Luna saat ia terpuruk atas meninggalnya sang ibu, juga karena ia harus meninggalkan gadis yang bahkan belum sempat berkenalan dulu.

Gerakan halus mengejutkan ketermanguan Alfian. Senyumnya sedikit terbit kala menatap mata sosok yang begitu ia cintai kini mengerjap tengah menatapnya sayu.

"зая (zaya), selamat pagi."

Queena tersenyum tipis dengan tatapan yang masih sendu. "Pagi." Jawabnya lemah seraya melepaskan diri perlahan dari pelukan suaminya, Alfian.

Alfian menghela nafas pelan. Sungguh, ia tak ingin melihat kesedihan yang Queena rasakan saat ini. Sejenak ia ingin marah. Ayolah, bukan karena ia tak ingin istrinya berkabung atas kepergian Andrean. Tapi, tidakkah ia melihat ada Alfian yang selalu di sampingnya. Tidakkah sedikit saja Queena merasa bahagia dengan kebersamaan mereka selama ini? Pikir Alfian.

Alfian bukan tak tau perihal foto Andrean yang terpampang jelas di layar handphone istrinya, Queena. Ia tau, namun ia lebih memilih diam. Karena menurut sahabatnya, Rein. Alfian akan sangat tidak waras jika harus merasa cemburu kepada orang yang bahkan sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Sarapan pagi hari ini ditemani keheningan. Sesekali Alfian menatap pada istrinya yang menatap kosong pada piring yang tersaji sarapan buatan Alfian. Ia menghela nafas pelan. Apakah selama ini perasaannya belum tersampaikan? Bukankah Queena mengatakan jika dia mencintainya? Lalu apakah yang salah hingga ia harus melihat kesedihan berlarut pada istrinya itu. Pikir Alfian.

"зая (zaya)." Paggil Alfian lembut.

Helaan nafas kembali terdengar saat ia tak menerima jawaban dari Queena. Alfian beranjak dari kursinya dan mendekati Queena. Ia mengusap lembut punggung tangan Queena yang memegangi sendok. "Apa kau mau ikut bersamaku hari ini?" Tanya Alfian.

Queena tersenyum sendu. Rasanya mendengar fakta tentang kematian Andrean membuatnya kehilangan semangat untuk hidup. Kematian tragis yang merenggut nyawa Andrean bahkan membuatnya menangis pilu berminggu-minggu dulu. Dan sekarang, fakta yang kembali terdengar mencengangkan itu seakan membuka kembali luka yang belum sempat mengering.

Ia menyadari jika sejak kemarin seakan mengabaikan kehadiran suaminya, Alfian. Queena mengerti jika tak seharusnya dia terlalu larut dalam kesedihan ini. Namun, fakta yang ia dengar kemarin seakan kembali menghujam hatinya. Luka karena ditinggal pergi orang terkasih seakan kembali basah menguliti hatinya.

"Maaf." Ucap Queena parau.

Alfian menyeringai miris. Alfian mengerti maksud dari kata maaf yang di ucapkan istrinya itu. "Makanlah sarapanmu, aku akan membawamu ke suatu tempat." Tuturnya lembut.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang