Satu minggu sudah Queena kembali dari rumah sakit. Ia masih belum percaya jika saat ini tengah ada buah cintanya dengan Alfian yang tengah menghuni rahim nya. Sembari mengusap perutnya yang masih terlihat rata itu, ia tersenyum. "Aku akan menjagamu sayang."
"Apa ada yang kau inginkan зая (zaya)?" Tanya Alfian yang semenjak pagi tadi ia tak jauh dari sisi Queena.
Queena menggeleng, ia pun terkadang merasa heran. Kenapa ia sama sekali tidak merasakan seperti halnya para calon ibu yang lain. Ia tidak merasakan mual-mual di pagi hari, mengidam pun paling hanya sesekali ia rasakan. Queena hanya sekedar merasa cepat lelah dengan wajah yang nampak pucat.
"Apa kau yakin?"
Queena mengangguk yakin. "Aku hanya ingin bersamamu seperti ini." Ujarnya seraya memeluk erat Alfian.
Alfian tersenyum dan mengecup puncak kepala istrinya yang terlihat lebih manja pada dirinya itu.
"Apa kau tidak ke kantor lagi hari ini?" Tanya Queena.
Alfian menghela nafas sejenak. "Ada Julian disana."
Queena mendongak dan menatap Alfian lekat. "Apa kau yakin?"
Alfian mengernyit. "Apa maksudmu зая (zaya)?"
"Apa kau yakin membiarkan Julian sendiri mengurus perusahaan?"
Alis Alfian terangkat menatap Queena . "Apa kau meragukan kinerja Julian?" Alfian menyeringai kecil. "Percayalah, dia orang yang sangat cocok menggantikan posisiku di perusahaan." Tambahnya seraya mengeratkan kembali pelukannya.
Queena tersenyum kecil dalam pelukan Alfian. Ia menghela nafas lega. Ternyata Alfian sangat mengenal Julian yang selalu ia tatap penuh benci itu. Dan Queena merasa lega, ternyata suaminya tak benar-benar membenci Julian bahkan Clarissa.
"Kau tau, aku tidak pernah menyangka akan hadirnya dia yang begitu cepat di antara kita." Ungkap Queena senang.
Alfian semakin mengecup puncak kepala istrinya. "Aku mencintai kalian, dan aku akan menjaga kalian sekuat tenagaku."
Lagi-lagi Queena terharu. Hatinya semakin hangat mengingat perjuangannya sejak dulu mendekati Alfian. Yang bahkan Tuhan terlalu baik padanya saat ini. Ia bahkan mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang sejak dulu ia harapkan.
"Apa ibu dan ayah sudah tau tentang kehamilanku?"
Alfian hanya terdiam. Dia masih ingin menikmati kebersamaannya dengan Queena hari ini. Tangannya tak berhenti mengelus surai kecoklatan istrinya.
Queena mendongak menuntut jawaban dari pertanyaannya sesaat lalu. Alfian menghembuskan nafas pelan. "Tentunya mereka tahu. Bukankah kau bilang jika Julian yang mengantarmu waktu itu." Jelas Alfian.
Queena menunduk. Tatapannya sendu. Sejenak ia merasa jika kedua mertuanya tidak bahagia dengan kabar membahagiakan darinya itu. Perasaan wanita hamil begitu sensitif bukan?
"милая (milaya) ... aku....-" Queena menggantungkan kalimatnya dan menatap sejenak pada Alfian yang tengah menatapnya penuh tanya.
"Aku ingin menginap di rumah ibu dan ayah. Bolehkah?" Ungkapnya gugup.
Terdengar helaan nafas sejenak dari Alfian. "Apakah kau sangat ingin?" Alfian sungguh tak ingin lagi kembali ke rumah itu. Tapi kenapa tiba-tiba saja istrinya mengatakn ingin menginap di rumah utama.
"Aku ingin memakan masakan ibu." Cicitnya sedikit takut melihat raut muka Alfian yang berubah.
Lagi-lagi Alfian menghela nafas perlahan. "Apa masakanku kurang cocok untukmu?"
Queena menggeleng, tentu saja masakan Alfian sangat enak dan cocok di lidahnya. Bahkan semenjak kepulangan Queena dari rumah sakit pun Alfian tak pernah absen membuatkan masakannya dua kali sehari. Sarapan dan makan malam pasti Alfianlah yang menyiapkannya.
"Tidak." Ungkapnya yakin. "Hanya saja aku merindukan ibu. Tapi aku tidak ingin memaksa jika kau tak ingin." Ungkapnya jujur.
Alfian merenggangkan pelukannya. Sejenak ia menatap Queena lekat. Ia mencari celah untuk membujuk istrinya agar membatalkan niatnya untuk menginap di rumah utama.
Queena sedikit merengut saat setelah menunggu sedikit lama, namun suaminya itu masih tetap dengan kebisuannya. "Baiklah, tidak perlu dipaksakan." Ucapnya sendu.
Alfian menatap istrinya dan menghela nafas perlahan. "Baiklah, malam ini kita ke rumah utama." Tuturnya.
Queena tertegun. Namun tersenyum dan mengecup sekilas bibir Alfian kemudian. "Terima kasih. Aku mencintaimu милая (milaya)." Ungkapnya senang.
"Kau mau kemana зая (zaya)?" Tanya Alfian saat Queena beranjak dari pelukannya.
"Aku harus menyiapkan perlengkapan kita милая (milaya)."
Alis Alfian bertaut tak mengerti.
"Satu minggu милая (milaya). Satu minggu kita akan menginap disana."
Alfian menatap istrinya tak percaya. Dia tidak salah dengar bukan? Istrinya mengatakan satu minggu? Ayolah, satu hari saja tinggal di rumah utama membuat Alfian tak nyaman. Dan istrinya mengatakan mereka akan menginap selama satu minggu? Apa yang di dalam kepala istrinya itu.
"Kau tidak mengatakan jika kita akan menginap satu monggu."
Queena meringis. "Bolehkan?" Pintanya.
Alfian mendengus. Ia ingin menolak, tapi melihat keadaan istrinya yang tengah hamil seakan membuat Alfian tak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawabnya lemah.
Queena tersenyum. "Kau memang penuh perhatian милая (milaya)." Ungkapnya jujur. "Lihat sayang, ayahmu sangat mencintai kita." Tambahnya seraya mengusap perutnya yang masih terlihat rata.
Tatapan Alfian yang sebelumnya kesal kini melembut dan tersenyum saat melihat istrinya mengelus perutnya dengan penuh kasih.
"Tapi sebelum itu, aku ingin suplemen energiku buatan Eldrich." Cicit Queena.
Alfian lagi-lagi dibuat terkejut dengan permintaan istrinya yang seakan tengah mengetes kesabarannya. Ayolah, menuruti permintaan Queena untuk menginap di kediaman utama saja sudah lebih cukup membuatnya menurunkan ego. Ditambah istrinya itu mengatakan jika mereka akan menginap selama satu minggu. Sial, jika saja istrinya tidak sedang hamil. Alfian pasti akan menolak keras permintaan itu. Dan permintaan kedua dari perempuan yang sialnya betapa Alfian cintai itu membuatnya hampir meledak.
Alfian mendengus pelan. Suplemen energi apa memangnya. Bagi Alfian bahkan rasa cake buatan pria itu sama saja dengan cake yang lainnya. "Bagaimana jika kita beli cake yang lainnya, aku tau ada beberapa toko kue yang menjual cake sejenis."
Queena merengut. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin menangis mendengar penolakan Alfian atas permintaan yang dirasa tak seberapa itu.
Alfian mengusap wajahnya kasar. "Baiklah, baiklah. Jangan menangis. Kumohon." Tuturnya seraya memeluk dan mengusap surai kecoklatan istrinya.
"Aku hanya menuruti apa yang di inginkan anakmu ini." Tuturnya dengan suara bergetar.
Alfian menghela nafas pelan. "Memangnya kandungan usia tujuh minggu itu sudah banyak maunya ya?" Ucapnya dalam hati.
"Aku siap-siap dulu, kita ke cafe Eldrich. Lalu setelahnya kita langsung ke rumah utama ya." Tutur Queena seraya beranjak dan meninggalkan Alfian yang belum sempat mengutarakan isi hatinya.
Sial, Alfian mengumpat. Dia benar-benar merasa sakit kepala menuruti dua permintaan Queena yang memang terlihat sederhana itu. Tapi, ayolah. Tidak akan mudah bagi Alfian melewati dua permintaan istrinya itu. Tidakkah Queena mengerti perasaannya saat ini. Tidakkah Queena melihat jika kedua permintaannya itu memberatkan Alfian. Jika saja istrinya tidak sedang mengandung, maka Alfian tidak akan menuruti kedua ingin istrinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...