kediaman Abigail

0 0 0
                                    

Seorang pria menyeringai puas kala mengingat apa yang terjadi kemarin. Semua yang ia harapkan benar-benar menantinya di depan mata. "Semua benar-benar berada dalam kendaliku."

***

"Bangun sayang. Ada yang ingin bertemu di depan?" Suara Sandra mengejutkan kenyamanan tidur Queena.

Queena mengerjapkan matanya lambat. Cahaya mentari yang mengintip dari celah gorden membawa kesadarannya perlahan. "Apa sudah pagi?"

Sandra mencubit hidung bangir putri semata wayangnya "bangun ... putri tidur." Jawabnya jenaka.

Queena merengut. Kenapa ibunya memperlakukan Queena layaknya anak kecil? Kenapa tidak sejak dulu mereka bersikap hangat padanya.

"Siapa yang ingin bertemu denganku pagi-pagi seperti ini?"

Sandra hanya tersenyum lembut seraya berlalu menanggapi pertanyaan Queena.

"Cepatlah mandi." Teriak Sandra sesaat setelah ia beranjak dari kamar putrinya, Queena.

Entah kenapa Ibunya itu terdengar sengaja berteriak demikian. Bukankah teriakannya itu sedikit berlebihan. "Apa mama ingin membuatku malu." Gumamnya seraya beranjak dari tempat tidur.

Setengah jam kemudian Queena keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang segar. Ia menghirup udara seraya bercermin. "Lihatlah pantulan ini. Bukankah cantik?" Gumamnya jenaka.

"Siapa kiranya yang mengganggu hari liburku ini." Gerutunya.

Ayolah, ini adalah hari liburnya setelah dua bulan kemarin ia berkutat dengan Abigail Candy, tidakkah orang yang mengajaknya bertemu ini berfikir jika hari libur itu sangat penting? Sungguh, rencana yang sudah Queena siapkan dengan apik itu tercium kegagalan. Fikirnya.

Tak membutuhkan waktu lama, Queena kembali memandang pantulan dirinya di cermin. Balutan dress yang sederhana nan elegan mencerminkan seorang Abigail. "Kurasa diriku ini cantik, tapi kenapa Alfian tak melihat itu. Apakah matanya minus?" Gumamnya . Sudah menjadi satu kebiasaan ia memuji pantulan dirinya di cermin. Katakanlah dia narsis, tapi sayangnya itu kenyataan.

Queena berdarah campuran. Ibunya berkebangsaan indonesia dan cantik natural khas nusantara. Dan Bastian yang berkebangsaan Rusia itu mampu melahirkan perpaduan yang terasa sempurna. Queena tidak terlalu tinggi. Fostur tubuh yang menurun dari ibunya membuatnya terlihat imut untuk wajah yang diwarisinya dari Bastian. Dan jangan lupakan lesung pipi di pipi kirinya itu benar-benar membuatnya terlihat lembut juga cantik ketika Queena tersenyum.

Terdengar tawa Bastian dengan seseorang yang tidak asing di rungu Queena dari ruang tamu kala ia turun dari tangga.

"Selamat pagi cutiepie." Sapa Bastian kala ia melihat Queena sedikit terkejut melihat tamunya pagi ini.

Queena terkejut melihat Eldrich yang terlihat tampan di depan ayahnya kini. Yah, Eldrich memang tampan. Tapi entah kenapa Queena hanya melihatnya sebagai sahabat masa kecilnya.

"Ada apa gerangan kiranya owner King ini mengganggu hari liburku?" Tanya Queena jenaka

Tawa Eldrich mengudara, Queena selalu terlihat menggemaskan baginya. "Selamat pagi Princess."

"Sesekali tidak apa ada tamu di akhir pekan sayang." Suara Sandra dari belakang Queena mengejutkan kehangatan di ruang tamu pagi itu.

"Tapi mah, ini hari liburku setelah dua bulan Papa menyibukkanku dengan perusahaan manisan itu." Jawab Queena merengut.

Tawa Bastian mengudara. Lihatlah itu, putri semata wayangnya merajuk dan tentu saja Queena akan tetap menjadi putri kecilnya sampai kapanpun.

Eldrich tak melepaskan pandangannya dari Queena. Ia benar-benar mencintai Queena. Awalnya Eldrich hanya ingin menjadi sosok yang selalu ada dan selalu membantu Queena kecil. Namun Entah sejak kapan perasaan itu berubah jadi cinta.

"Duduklah cutiepie. Rajukanmu tak akan menghabiskan energi papa." Bastian tertawa.

Queena mendekati Bastian dengan wajah yang masih merengut sebal. Lihatlah ... Kenapa papanya itu selalu senang menggodanya akhir-akhir ini. Tatapan Queena beralih ke paper bag yang dibawa Eldrich. Air muka yang masam sesaat lalu seakan menghilang dan tak pernah ada kala isi kepalanya menebak apa yang dibawa Eldrich.

"Apakah itu suplemen energiku?" Tanya Queena semangat.

"Hampir saja aku melupakan ini. Tentu saja, aku sengaja mengantarkan ini untukmu princess."

Tangan Queena seketika cekatan menerima dan membuka paper bag yang dibawa Eldrich pagi itu.

Sandra tersenyum melihat kelakuan putrinya itu. Entah kenapa ia menyesali sikapnya dulu kepada Queena. Ambisi yang dimiliki Bastian benar-benar menghilangkan kehangatan kebersamaan dengan putrinya seperti saat ini.

Eldrich melihat perubahan kedua orang tua Queena. Entah kenapa ia merasa tenang melihat Bastian dan Sandra tak seperti dulu. Jika dulu Eldrich selalu mengkhawatirkan Queena, maka saat ini kekhawatiran yang selalu menghantui itu seakan lenyap.

"Kenapa cake buatanmu selalu enak El. Mama sekali-kali harus mencoba cake buatan Eldrich."

Pernyataan Queena yang terdengar sangat menikmati sepotong kue red velvet kesukaannya itu membuat ketiganya tertawa.

Queena dengan sigap melindungi suplemen energinya kala Sandra hendak mengambil sepotong kue dari paper bag. "Tidak ... Ini milikku, jangan ada yang menyentuhnya."

Tawa ketiganya kembali mengudara. Lihatlah itu, bukankah Queena terlalu kekanak-kanakan?

"Akan aku bawakan lagi besok untuk tante Sandra." Eldrich bersuara seraya tertawa melihat Queena yang tampak menggemaskan.

Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya kala melihat tingkah putri semata wayangnya itu.

"Apa se-enak itu sampai kamu tidak memberi mama sedikitpun sayang?" Tanya Sandra lembut seraya mengelus surai kecoklatan Queena.

Queena mengangguk yakin dengan tangan yang masih sibuk mennyuap potongan-potongan suplemen energinya di pagi hari itu.

"Cake ini enak, tapi tidak ada yang mengalahkan enaknya teh buatan mama." Queena berkata jumawa saat ia menikmati teh hangat buatan ibunya, Sandra.

Sandra tersenyum mendengarnya. Putrinya itu selalu mampu menghangatkan suasana.

"Apa kabar Wisnu dan Yuki?" Bastian mengejutkan Eldrich yang sedari tadi terpaku dengan tingkah Queena yang selalu menggemaskan baginya.

"Ayah dan ibu baik-baik saja om. Mereka menetap di paris."

"Apa tidak ada rencana mereka kembali ke tanah air?"

"Belum dalam waktu dekat om."

"Sampaikan terima kasihku untuk mereka, karena telah merawat Queena saat kami sibuk dulu." Suara Bastian terdengar hangat.

Eldrich tersenyum melihat perubahan Bastian yang dulu selalu penuh ambisi itu, kini terlihat hangat. "Kami sama sekali tidak merasa keberatan karena kehadiran Queena dulu om. Karena ia selalu mampu menghangatkan keluarga kami." Jawab Eldrich dengan tatapan yang beralih menatap Queena yang masih asik menikmati kue buatannya.

Bastian menatap Sandra. Keduanya tersenyum melihat tatapan Eldrich yang terlihat begitu mencintai putrinya itu. Dan tentu saja itu membuat Bastian merasa lega. Karena ia percaya jika Eldrich bukanlah seorang yang akan menyakiti putrinya.

Bastian berfikir. Andai saja Tuhan menjodohkan Queena dan Eldrich, maka ia tidak akan mengkhawatirkan apapun. Selain Eldrich terlahir dari keluarga yang hangat, Wisnu dan Yuki pun sangat menyayangi Queena layaknya anak kandung mereka sendiri. Entah mungkin karena Queena adalah perempuan yang hadir di antara kedua anak laki-laki Wisnu dan Yuki. Bastian tidak terlalu perduli. Tapi yang jelas keluarga besar Wisnu menyayangi Queena.

"Aku memang seorang Bastian Abigail, tapi aku juga tetap seorang ayah." Jawab Bastian seraya menatap putri semata wayangnya itu.

Eldrich menangkap kekhawatiran dari suara Bastian. "Aku akan melindunginya apapun yang terjadi om." Jawabnya jumawa.

Bastian tersenyum melihat keyakinan Eldrich saat ini. Ia sangat mengerti jika Eldrich benar-benar mencintai putrinya.

Bastian berharap jika Queena menikah dengan Eldrich. Tapi ia tak ingin terlalu kembali memaksakan ambisinya. Karena ia sendiri tau, jika perasaan tidak akan pernah bisa dipaksakan. Dan Bastian sangat mengerti itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang