malam bernuansa merah muda

1 0 0
                                    

Queena mengintip di balik pintu kamar mandi. Ia merutuki kebodohannya kala melupakan baju ganti. Ia jelas tau jika di kamar itu juga lengkap dengan walk in closet. Tapi ayolah, ini adalah kali pertama situasi dalam satu atap dengan seorang laki-laki dan itu adalah Alfian. Ia jelas tak mampu membayangkan akan betapa malu dan gugupnya ia kala nanti Alfian mendapatinya hanya menggunakan handuk yang nyaris terbuka.

Queena menggigit bibirnya panik. Ia mengedarkan pandangan mencari sosok yang pagi tadi mengaku sebagai suaminya itu. Hrlaan nafas lega terdengar kala ia tak mendapati kehadiran Alfian saat ini. Dengan cepat ia berlari menuju walk in closet untuk sekedar berganti baju tidur. Jujur saja, kenyataan yang ia terima hari ini membuatnya teramat lelah.

Queena menatap penuh takjub pada apa yang tersuguh di hadapannya kini. Seluruh pakaian seleranya benar-benar memenuhi tempat ini. Ia merasa terharu Alfian menyiapkan semua ini untuknya. "Bolehkah aku sedikit berharap." Gumamnya.

Ia terkikik geli kala mendapati beberapa lingerie yang berwarna nude juga hitam. Tak pernah terpikirkan jika suatu saat ia akan mengenakan baju seperti itu. Dan Queena pastikan Alfian sama sekali tak akan pernah memintanya mengenakan gaun malam itu bukan?.

"Sepertinya ini sangat nyaman." Ucapnya kala melihat piyama  selutut dengan bahan satin halus dan dingin.

Queena tersenyum haru menatap semua koleksi yang mulai hari ini menjadi miliknya itu "Aku senang sekali Alfian menyiapkan semua ini untukku."

Queena terkesiap di daun pintu kala menatap saat ini Alfian tengah duduk santai dengan ponselnya di ranjang. Alisnya terangkat kala menatap Alfian yang juga terlihat segar dan telah berganti pakaian.

"Aku membersihkan diri di kamar mandi bawah." Jawab Alfian seakan mengerti maksud tatapan Queena.

Queena mengulum senyum malu saat mendengar penuturan Alfian. Ia memainkan kakinya gugup. Queena masih mematung di depan Walk in closet untuk beberapa menit. Ia benar-benar bingung. Sejujurnya ia belum siap untuk tidur disamping Alfian.

"Kemarilah." Titah Alfian lembut.

Queena menurut, ia berjalan menunduk. Sungguh Queena ingin sekali rasanya keluar dari kamar ini. Ia benar-benar tak berani menatap Alfian.

"Sepertinya besok kita kedatangan tamu yang menuntut penjelasan." Tutur Alfian seraya tertawa pelan.

Alis Queena bertaut. Ia tak mengerti maksud dari kalimat Alfian.

"Aliefa dan Ken menerorku dan menuntut penjelasan. Yah aku mengerti kenapa mereka sampai seheboh itu." Alfian meringis dan menatap Queena lembut. Tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala Queena. "Jangan gugup. Aku tidak akan melakukan apapun."

Terdengar helaan nafas lega dari Queena kala mendengar penuturan Alfian. Tentunya Queena tau dan kegugupannya sedari tadi adalah kala ia memikirkan hal-hal yang memang seharusnya terjadi.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Akhirnya Queena memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sejak pagi tadi bercokol di benaknya.

"Kenapa?"

"Sejak kapan?" Cicit Queena.

Alfian mengerutkan kening tak mengerti.

"Sejak kapan status kita ... Seperti ini." Suara Queena semakin pelan dan tertunduk malu. Ia merutuki mulutnya yang entah kenapa sejak pagi ia merasa canggung dan kikuk.

Alfian menatap Queena dengan tatapan yang tak mampu Queena artikan. Queena semakin tertunduk. Ia benar-benar malu menanyakan hal itu. Tapi rasa penasarannya sungguh sangat mengganggu.

"Ingat saat kita membawa Raja jalan-jalan?"

Queena mengangguk pelan dengan kedua alis terangkat menuntut kelanjutan dari kalimat Alfian.

"Saat itu adalah tepat satu minggu statusmu menjadi istriku."

Tatapan Queena membola. Kenapa orang tuanya tidak menjelaskan apapun saat itu. Ia benar-benar seperti orang bodoh. Yah meski ini adalah yang Queena inginkan. Tapi ... Ia tak ingin memaksa Alfian untuk membersamainya bahkan ia sama sekali tak pernah berani bermimpi menjadi istri dari Alfian.

"Kenapa kalian tidak memberitahuku sejak awal?"

Alfian tersenyum misterius kala mendengar pertanyaan Queena.

"Lalu. Lalu gaun pernikahan yang kau pesan? Untuk siapa? Bukankah itu sebelum kau menjadi suamiku?"

Alfian tersenyum dan menarik tengkuk Queena lembut. Ia melumat bibir yang sedari tadi tak berhenti bertanya itu. Lumatan lembut yang membuat Queena nyaris terkulai tak berdaya. "Tidurlah. Kau terlihat sangat lelah." Ucapnya seraya mengecup lembut kening Queena.

Queena mengerjap tak percaya atas apa yang Alfian lakukan padanya. Tangannya menyentuh dada yang bertalu tak terkendali. Ia benar-benar terkejut atas apa yang terjadi sesaat lalu. Perutnya terasa penuh dengan beribu kupu-kupu yang membuatnya geli. "Kenapa cuma sebentar." Fikirnya. Lihatlah otaknya kotor sekali karena cintanya pada Alfian.

Queena menatap Alfian yang membelakanginya kini, otaknya memerintah untuk memeluk dan menghambur ke pelukan Alfian. "Astaga Queena. Kenapa kau mesum sekali." Bathinnya. Rasanya ia ingin sekali suka rela menyerahkan diri ke pelukan Alfian saking bahagiannya.

Suasana kamar yang temaran ternyata sangat berbahaya. Meski sebenarnya hal-hal yang memenuhi isi kepala Queena sah saja untuk dilakukan. Tapi ia sebisa mungkin menahan diri. Ia menggelengkan kepalanya pelan kala otaknya mulai terkontaminasi. Jika Alfian ingin, mungkin saja Queena tak perlu memohon pun. Semua itu akan terjadi. Tapi sekarang ternyata lain, buktinya Alfian tak berniat menyentuhnya lebih dari ciuman sesaat itu.

"Kau seperti perempuan murahan Queena. Tapi bukankah tak apa jika aku menginginkan lebih dari sekedar ciuman? Bukankah kau suamiku?" Gumamnya.

Queena mengerang frustasi "Kau menyebalkan sekali Fian." Ucapnya pelan seraya berbaring menatap langit kamar bernuansa abu-abu itu.

Tatapannya menerawang jauh, ia mengangkat tangan dan menatap jari manis yang tersemat cincin yang Alfian klaim sebagai cincin pernikahan itu. Helaan nafas berat terdengar dari Queena. Ada perasaan campur aduk atas fakta yang ia dengar hari ini.

Entah ia harus merasa bahagia, sedih atau kecewa menerima fakta itu. Ia teramat mencintai Alfian tentu saja. Tapi, jika takdir membawanya menjadi istri Alfian dengan cara seperti ini, sungguh ia merasa tidak puas.

Ia berbaring membelakangi Alfian. Matanya tak bisa terpejam barang sejenak. Masih banyak sekali pertanyaan yang hinggap di benaknya sejak pagi tadi. Namun, apalagi sejak pertengkarannya terakhir kali enam bulan lalu dengan Alfian sama sekali belum terselesaikan. Yah, Queena tau jika Alfian adalah pribadi yang tak ingin repot memikirkan hal yang remeh seperti itu. Namun tidak baginya. Karena ia menginginkan kejelasan.

"Aku tidak ingin melihat tatapan bencimu lagi." Gumamnya sendu.

Ketermanguan Queena dikejutkan dengan sepasang tangan yang kini memeluknya dari belakang. Matanya bergerak tak teratur. Ia panik mendapatkan perlakuan manis seperti ini dari Alfian.

"Biarlah seperti ini sampai pagi." Suara yang terdengar berat itu seakan menghipnotis Queena.

Ia tersenyum kala mendapati sentuhan dan perlakuan manis juga lembut dari Alfian. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa ia cegah. Perasaan nyaman dan haru menyeruak membuatnya meneteskan air mata. Ia bahagia saat ini. Bolehkan ia berbahagia dan berharap untuk malam ini saja?

Entah keberanian dari mana Queena berbalik menghadap Alfian dan mengecup singkat bibir suaminya itu seraya membalas pelukan Alfian dan menyembunyikan wajahnya yang terasa panas karena malu.

Alfian menggeram tertahan. "Kau istriku apapun yang terjadi."

Queena semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Sungguh ia merasa sangat bahagia kini, meski ia sama sekali tak tau perasaan Alfian padanya.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang