Dua Megantara

0 0 0
                                    

Satu minggu selepas Queena juga Alfian berkunjung ke kediaman utama Megantara, kini Alfian semakin disibukkan karena kehadiran Julian di kantor juga sesekali di kediamannya.

Sejak tiga hari ini Julian selalu mengganggu acara sarapan paginya. Dan semakin Alfian tak suka melihatnya kala Queena, istrinya selalu bersikap ramah dan terlihat akrab dengan Julian.

"Sepertinya kau menyukai masakanku El?" Tanya Queena yang dijawab dengan ringisan Julian.

"Ayah sama sekali tidak membiarkanku bersantai meski sebentar." Ungkapnya.

Queena tertawa. "Memangnya kau yakin disini tak akan sama?" Tanya Queena seraya melirik Alfian yang semakin merengut dan menatap tak suka pada Julian.

Tawa Julian mengudara. "Sejak kecil aku mengenal Bang Zayn. Dia tidak seperti ayah. Setidaknya kuharap begitu." Tuturnya dengan sesekali melirik pada Alfian.

Queena menggelengkan kepalanya sembari tersenyum kecil melihat kakak-beradik di hadapannya pagi ini.

Julian tampak muram "Satu minggu ini aku tidak bisa bersenang-senang dengan teman-temanku." Ungkap Julian.

"Kau sudah dewasa El. Ibu benar, sepertinya kau harus menikah." Tutur Queena yang dihadiahi tatapan membola Julian.

"зая (zaya)..." Panggil Alfian lembut.

"Ya?" Jawab Queena dan melirik piring Alfian yang sudah bersih. "Kau sudah selesai?" Tambahnya.

Alfian mengangguk. Dan melirik Julian yang masih setia dengan sarapan buatan istrinya. Ia menghela nafas pelan.

"милая (milaya), hari ini aku akan sedikit sibuk di butik. Tapi akan ku sempatkan jam istirahat nanti menemuimu di kantor." Tutur Queena

"Baiklah. Aku akan menunggu." Ungkap Alfian ramah dengan senyum dan menatap teduh istrinya, Queena.

Julian tersenyum samar melihat sikap yang kakaknya tunjukkan. Dalam hati ia berharap suatu saat Alfian akan menatap ibu mereka seperti itu. Ia menyeringai miris kala menunduk. Harapan yang entah kapan akan terwujud itu nyatanya membuatnya lelah. Bahkan kasih sayang yang Clarissa tunjukkan terang-terangan untuk Alfian pun tak serta-merta meluluhkan keras hati Alfian yang seakan membentengi diri dari ibu, ayah bahkan Julian sekalipun.

"El? Apa kau selesai? Sepertinya suamiku sudah tidak bisa menunggumu lebih lama lagi." Ungkap Queena yang cukup mengejutkan ketermanguan Julian.

Julian menyeringai miris. Bahkan kakaknya itu sama sekali enggan berbicara padanya.

Alfian menghela nafas perlahan kala ia berada di dalam mobil hanya dengan Julian. Tak ada yang berinisiatif membuka suara pagi itu. Hening, hanya deru suara mobil yang menjadi latar suara pagi itu.

"Tidak bisakah kau berbicara pada ayah?" Tanya Julian memecah keheningan.

Alfian mengernyit. Ia mencoba menerka kemana arah pembicaraan adiknya itu. Ia masih diam tanpa berniat menanggapi sedikitpun ucapan adiknya.

"Ayah pasti akan mendengarkanmu bang." Tutur Julian.

"Aku menuruti perkataan ayah, hanya agar secepatnya keluar dari lingkaran Megantara. Jadi, jangan pernah berfikir hanya karena menyetujui untuk mengajarimu aku akan berbaik hati pada kalian." Ungkap Alfian sinis.

Julian menghembuskan nafas perlahan. Ia tak berniat menanggapi ucapan kakaknya itu. Ia cukup tau seberapa besar kebencian yang dimiliki Alfian untuknya juga ibu serta ayahnya.

Keramahan yang dimiliki Julian membuatnya cepat diterima di lingkungan Megantara grup. Tak jarang juga beberapa karyawan wanita berpindah menyukainya dibanding Alfian yang cenderung dingin dan cuek.

Dua Megantara yang kini selalu terlihat mondar mandir di area perkantoran membuat beberapa karyawan wanita histeris. Mereka seakan mendamba dua Megantara. Wanita mana memangnya yang tidak akan mendamba dua sosok yang tampan, cerdas, kaya. Meski sifat yang dimiliki keduanya sangat bertolak belakang. Namun nyatanya perbedaan itulah yang membuat Alfian dan Julian menjadi perbincangan hangat di antara semua karyawan disana.

Kehadiran Julian di kantor tidak banyak membantu apapun. Alfian benar-benar menganggapnya sebagai orang asing. Dia hanya selalu turut membawa serta Julian di segala kegiatan tanpa sedikitpun menjelaskan apapun pada adiknya itu.

Sikap cuek yang tak pernah Alfian hilangkan membuat Julian lebih sering duduk di ruangan Rein. Sahabat kakaknya itu setidaknya cukup menjadi teman berbicara Julian selama di kantor.

"Ada apa bung?" Tanya Rein saat melihat raut lelah Julian siang itu.

Julian menyeringai kecil. Ia menghela nafas pelan. "Kau bersahabat dengannya sejak lama bukan?" Tanya Julian.

Rein menatap iba pada Julian. Ia mengerti kemana arah pembicaraan Julian kali ini. Dan yah, Rein cukup lelah melihat sahabatnya yang begitu keras kepala itu. Entah kenapa ia masih setia membangun dinding antara dirinya dan keluarga Megantara. Kebencian yang sejujurnya tak semestinya ia jaga itu.

Rein menepuk pelan bahu Julian. Ia sudah seperti adik bagi Rein. "Zayn memang dingin dan cuek. Tapi kalian harus percaya. Dia selalu berbeda saat pulang ke rumah utama."

Julian menyeringai miris. Rein selalu berkata demikian. Namun pada nyatanya ia sama sekali tak pernah melihat perbedaan yang ditunjukkan Alfian padanya.

"Ada apa?" Rein tertawa mengejek.

"Kau sama saja." Tutur Julian.

Tawa Rein mengudara. "Kau harus lihat bagaimana perjuangan kakak iparmu menaklukan hati Zayn."

Julian mengangkat kedua alisnya tak percaya. "Bukankah perasaan mereka sama?"

Rein kembali tergelak. "Sayang sekali kau melewatkan bagaimana Queena membuat Zayn terganggu setiap detiknya."

"Aku rasa cukup menghibur melihat bang Zayn kala itu." Ungkap Julian dengan tatapan menerawang seraya menerka-nerka sikap konyol yang dilakukan Kakaknya itu.

"Dan beruntungnya Kau mirip dengan Queena. Hanya saja cara kalian mengganggunya berbeda." Tutur Rein.

Julian menyeringai kecil. Ia tau, entah kenapa ia selalu ingin mencari perhatian kakaknya itu sedari kecil. Ia bahkan mengingat betapa setia nya dia mengekori Alfian saat mereka sekolah dasar. Waktu itu Alfian masih bersikap baik selayaknya seorang kakak untuknya. Namun semua berubah kala usia mereka memasuki sekolah menengah.

Perbedaan usia yang cukup menjauhkan Julian dengan Alfian saat Alfian lulus dari sekolah dasar dan kepindahan Alfian yang mengikuti ibunya membuat Julian terpisah cukup lama dengan kakak yang selalu melindunginya itu.

Dua tahun akhirnya Julian berhasil mengikuti kakaknya masuk ke sekolah menengah pertama yang terbilang cukup favorit di kotanya. Senang? Tentu saja, Julian sangat senang bisa kembali berada di satu sekolah yang sama dengan kakak kesayangannya.

Senyum Julian yang tidak pernah luntur kala itu harus dibayar dengan desisan dan tatapan permusuhan yang ditunjukkan Alfian padanya. Julian yang masih polos tentunya tak mengerti letak kesalahannya dimana.

Harapan yang Julian kecil angankan saat bisa berada dalam satu sekolah yang sama dengan Alfian seakan menghilang. Aura permusuhan yang ditunjukkan Alfian membuat Julian lelah awalnya. Berbagai pertanyaan yang hinggap di benak Julian kecil semakin membuatnya pusing.

Sekolah yang harusnya seperti yang ia harapkan nyatanya mampu memberikan kecewa yang diberikan sosok kesayangannya selama ini.

Cukup lama Julian bersedih melihat perubahan sikap Alfian padanya. Namun, bukan Julian namanya jika ia harus menyerah dan menuruti Alfian. Lambat-laun, Julian menjadi anak yang nakal. Ia sering sekali membuat teman-teman di sekolahnya menangis. Dan tak jarang juga akhirnya dia di panggil guru bimbingan atas sikapnya. Tentunya nama Megantara yang tersemat cukup menyusahkan Alfian kala itu.

Alfian yang membenci Julian semakin benci kala guru-guru di sekolahan menyamakan dia dengan Julian. Namun, semakin Alfian menunjukkan permusuhan. Maka, semakin nakal pula Julian kala itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang