kejutan

1 0 0
                                    

Senyum tak pernah surut menghiasi paras Queena. Ia mengigit bibirnya kala mengingat perkataan Alfian tentang rencana nanti malam. Hatinya berdegub kencang, rasanya ingin sekali dia berteriak pada dunia jika saat ini ia tengah sangat bahagia.

"Sepertinya suasana hati anda sedang bagus Nona?"

Queena meringis kala Fuzi, asisten setianya di butik memberikan sindiran seperti biasanya.

"Saya tidak menyangka jika ternyata Tuan Alfian adalah suami anda selama ini. Tapi saya turut berbahagia untuk anda Nona." Imbuhnya lagi.

"Terima kasih." Jawab Queena dengan senyum yang tak lepas menghiasi bibir berwarna merah muda itu.

Sejenak Queena terpekur. Hening menderanya kala ia tak mampu menjelaskan statusnya dengan Alfian yang begitu tiba-tiba itu. Jujur saja dalam hatinya, Queena selalu tersimpan ketakutan. Namun, ia selalu dengan cepat menepis kekhawatirannya itu.

"Saya akan sangat senang membantu anda menyelesaikan pesanan tuan Alfian tempo hari."

Senyum Queena kembali terbit. Fuzi benar, gaun itu nyatanya memang menjadi miliknya. Sesekali ia meringis dan merutuki kebodohannya yang berlarut dalam kesedihan atas berita yang tidak benar adanya yang Luna sampaikan padanya dulu.

Queena terlonjak kaget kala ia melupakan pesan laporannya kepada suami tercinta, Alfian. Suami tercinta? Queena mengulum senyum kala hatinya memilih kata yang dirasa lebay itu.

Dengan cepat Queena mengeluarkan benda pipih berlogo apel tergigit dan membuka aplikasi pesan berwarna hijau. Ibu jarinya mengetuk tepat pada posisi pesan paling atas yang memang ia pin sebagai tanda prioritas. Senyum kembali terukir di bibirnya kala menatap nama kontak yang ia berikan untuk Alfian. 'Hubby'. Katakanlah dia lebay. Ayolah, bukankah semua orang berhak menamai kontak suaminya apa saja? Batin Queena percaya diri.

"Aku berada di butik saat ini. Setelah urusan disini selesai, aku akan menemui papa dan mama. Setelah menemui seraya membawakan makan siang kita."

Queena menempelkan handphone berwarna sierra blue itu ke dagunya seraya menggigit bibirnya pelan. Ia tak pernah terfikirkan sedikitpun satu kata sederhana itu akan menjadi miliknya dan Alfian.

Dering notifikasi memunculkan pesan dari sang tambatan hati. "Baiklah, aku tunggu."

Queena berteriak gemas tertahan. Ia tak sabar ingin segera bertemu dengan suaminya yang semenjak fakta mencengangkan itu, Alfian bersikap terlampau manis kepadanya.

Tak ingin terlalu berlama-lama ia berada di kursi kebesaran yang entah sejak kapan tidak lagi menyita perhatiannya itu. Menatap benda kecil bulat di pergelangan kirinya menunjukkan waktu 09.30 ia terburu kembali pamit dan menitipkan butiknya pada Fuzi. Yang tentu saja selalu dibalas sindiran halus serta gelengan yang berkali-kali Fuzi lakukan atas keputusan Queena.

Queena meringis. "Baiklah, aku pamit. Kupercayakan butik ini lagi untuk hari ini." Ucapnya seraya berlalu meninggalkan asistennya yang nampak kesal.

Queena menginjak pedal gas dan melajukan kendaraan beroda empat yang berwarna hitam itu. Untuk saat ini ia merindukan kedua orang tuanya. Terlepas dari pernikahan antara dirinya dan Alfian yang terlalu tiba-tiba. Queena merasa Alfian adalah hadiah terbaik dari kedua orang tuanya.

Ia menarik nafas pelan kala berdiri di depan pintu kondominiumnya. Jemarinya menekan tombol sandi. Tentunya ia ingin membuat kejutan pada Bastian juga Sandra atas kedatangannya saat ini. Sempat tersirat kekecewaan serta kemarahan Queena untuk kedua orang tuanya saat pertemuan kemarin. Namun, semua kesal itu menguap saat Alfian bersikap lembut padanya.

Tatapan Queena menyapu seluruh ruangan mencari dua orang yang berarti baginya itu. "Pah....." Teriaknya saat dirasa tak menemukan siapapun disana.

Queena kembali berlari ke lantai atas tempat favorit Sandra juga Bastian. Senyumnya terbit kala menatap kedua orang tuanya tengah mengobrol hangat dengan Bastian yang memeluk pundak Sandra. "Aku merindukan kalian." Ucapnya seraya memeluk Bastian dan Sandra.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang