pertengkaran sangat kecil

2 0 0
                                    

Sore itu cuaca sedikit tidak bersahabat. Awan kehitaman yang sebelumnya bergelayut di langit. Kini berubah menjadi rintikan yang semakin lama semakin tak terhitung. Hujan sore itu semakin membuat Queena merasa kesal bukan main.

Helaan nafas terdengar dari Queena. Ia masih mengingat jelas janji Alfian pagi tadi. Bukankah suaminya itu akan menuruti dimanapun tempat pilihan istrinya untuk sarapan? Tapi nyatanya lagi-lagi Alfian merubah tujuan tanpa kompromi. Tidakkah ia mengerti jika Queena merindukan suplemen energinya. Batin Queena.

Queena baru melihat sisi menyebalkan suaminya itu. Otoriter dan diktator rasanya. Kekesalannya terhadap Alfian membawanya ke butik siang itu. Entah kenapa hari ini untuk kali pertama ia merasa tidak berminat untuk menemani suaminya di kantor seperti biasa. "Ternyata kau masih manusia normal Fian." Ucapnya seraya tersenyum geli.

Queena hanya kesal pada suaminya itu. Tapi juga ia merasa bahagia saat menyadari jika ternyata suaminya itu tak se-kaku seperti saat pertama kali mereka bertemu. Bahkan Queena selalu canggung setiap saat berhadapan dengan Alfian, dulu.

Queena tersenyum saat kembali teringat permintaan Alfian tentang gaun pernikahan yang sempat ia pesan kepadanya beberapa bulan lalu. "Aku senang saat kau memilih rancangan gaun impianku untuk ku pakai nanti." Jemarinya mengelus gambar yang tercetak sempurna di atas kertas putih itu.

Tatapannya beralih pada tuxedo yang rencananya akan dipakai Alfian akhir bulan ini. Ia menggigit bibir bawahnya kala membayangkan betapa suaminya itu akan nampak sempurna dengan tuxedo berwarna senada dengan gaun impiannya.

Queena menyandarkan diri pada kursi kebesarannya seraya membayangkan jika akhir bulan nanti akan membuatnya menjadi seorang wanita yang paling bahagia percis seperti yang Alfian katakan beberapa bulan lalu.

Jerit gawai mengejutkan lamunan Queena sore itu. Senyumnya sedikit meredup kala kembali mengingat kekesalannya pada Alfian pagi tadi. Ia menghela nafas sebelum menjawab panggilan Alfian.

"Kuharap kau sudah tidak marah зая (zaya)." Sesal Alfian di ujung sana saat Queena menjawab telpon darinya.

Queena mencebik. Ia tidak marah sebenarnya, hanya kesal. Kenapa suaminya itu harus menjanjikan sesuatu jika akhirnya ia tidak kembali menuruti ingin Queena.

"Aku tidak marah." Ungkapnya datar

Hening, helaan nafas dari ujung sana seakan menunjukkan penyesalan Alfian atas sikapnya hari ini. "Sebentar lagi aku sampai."

Queena mengulum senyum mendengar penuturan suaminya itu. Hatinya menjerit bahagia saat untuk pertama kalinya Alfian akan menjemputnya dan mendatangi butik kebesarannya ini. Entah kenapa Queena merasa bangga akan dirinya sendiri di depan Alfian atas pencapaiannya yang tidak bisa dibilang biasa saja itu.

"Baiklah, aku tunggu." Jawabnya lembut.

"Apa kau menginginkan sesuatu?" Tanya Alfian.

Tatapannya menerawang dengan kening mengernyit seakan memikirkan sesuatu. Namun menggeleng setelahnya, meski tidak akan dilihat Alfian. "Kurasa tidak." Jawabnya. "милая (milaya).....-." Queena menggantungkan kalimatnya kala hatinya berdegub kencang.

"Ada apa?" Tanya Alfian bingung di ujung sana.

"Hati-hati." Cicitnya yang masih dapat di dengar Alfian.

Terdengar tawa pelan dari Alfian. Entah kenapa ia merasa istrinya itu menggemaskan. Bukankah jarak kantornya dengan butik Aurora milik istrinya itu tidak terlalu jauh? "Baiklah, tunggu aku."

Queena menjerit senang setelah menutup panggilan telpon dengan suaminya, Alfian. "Kau licik sekali Fian. Kenapa aku tidak bisa berlama-lama kesal ataupun marah padamu." Rutuknya seraya menatap layar ponsel yang kini berhiaskan wallpaper foto Alfian yang tengah memeluk Queena dari belakang. Entah kenapa Alfian memiliki foto seperti itu. Queena sendiri pun tak mengerti, tepat setelah pulangnya dari makam Andrean kemarin, Alfian mengirimkan foto itu padanya.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang