kabar baik

0 0 0
                                    

Alfian mengerjap dan menatap sekeliling dengan badan yang terasa sakit. Ia terduduk dan menghela nafas saat mengingat jika semalam dia bahkan tertidur di sofa ruang kerjanya.

Kemarahannya pada Queena membuatnya enggan untuk kembali ke kamar. Ia menghela nafas saat mengingat jika ia telah membuat istrinya menangis. Sungguh, bukan seperti itu yang ia harapkan kala menatap Queena. Tapi sial memang, kebenciannya pada Clarissa juga Julian membuatnya bersikap demikian.

Ia berjalan gontai dan melihat waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Ia beranjak dan berjalan ke kamar dimana saat ini istrinya tertidur yang mungkin menunggunya sejak semalam.

Alfian tersenyum sendu saat menatap istrinya yang tengah tertidur nyenyak dengan jejak sisa air mata semalam. Ia merutuki sikapnya yang telah melukai Queena, istrinya.

Jemarinya mengelus pipi Queena dan mengecup kening istrinya lembut. "Maafkan aku зая (zaya)." Ucapnya pelan.

Alfian beranjak dan bersiap-siap untuk meetingnya pagi ini. Kedatangan Klien dari Singapura benar-benar menyita waktunya. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali untuk meeting. Bahkan ia mendengus mengingat jika dua hari lagi, resepsi pernikahannya dengan Queena akan digelar. Dan dia masih sibuk mengurusi pekerjaan sialan ini.

Pukul enam pagi Alfian berangkat, ia bahkan tak sempat sarapan. Sungguh, melihat istrinya yang nampak pucat dengan mata terpejam yang masih terlihat menyisakan air mata, membuatnya tak sampai hati untuk membangunkan Queena hanya untuk menyiapkan sarapan.

Meeting pagi ini terasa membuatnya lelah. Ia belum sarapan sedikitpun sejak tadi, bahkan Julian pun terlihat tak nyaman berada di dalam ruangan bersama klien dari Singapura kala itu. Pukul delapan Julian meminta ijin untuk keluar dari rapat. Ia tau, Alfian mengerti jika adiknya itu hanya merasa tidak nyaman dengan sikap Alfian yang selalu menekan posisinya di Megantara grup saat di dalam tadi.

Hampir dua jam meeting berjalan, dering notifikasi gawai Alfian mengalihkan fokus semua orang yang hadir di ruangan itu. Alfian meringis dan meminta maaf karena dia sedikit ceroboh untuk merubah ke mode silent ponsel berlogo apel tergigitnya.

Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh. Dia menghela nafas lelah karena meetingnya cukup memakan waktu. Dan lagi, Ia kesal saat tidak melihat Julian dimanapun sejak adiknya itu meninggalkan rapat di pertengahan tadi.

"Agnes, tolong buatkan saya kopi. Dan bawakan cemilan ke ruangan saya." Titah Alfian dari sambungan telpon yang tersambung ke meja sekretarisnya, Agnes.

Alfian menyandarkan kepalanya pada kursi kebesarannya itu. Ia menutup mata seraya menghembuskan nafas pelan. Sudah pukul sepuluh, dan ia merindukan istrinya.

Seakan teringat sesuatu, Alfian membuka mata dan membuka ponsel yang sejak tadi ia rubah ke mode silent. Tatapannya membola, wajahnya memucat saat membaca pesan dari Julian. Ia beranjak tergesa dan menghiraukan panggilan Agnes yang membawakan kopi beserta cemilan yang ia minta sesaat lalu.

"Kumohon зая (zaya), bertahanlah. Maafkan aku." Rutuknya penuh sesal.

***

Satu jam menunggu kabar dari dokter yang menangani kakak iparnya, Julian duduk dengan gelisah. Ia berharap semoga kakak iparnya itu hanya kelelahan. Beberapa kali dia melihat pada ponsel pintarnya dengan harapan Zayn segera membalas pesannya yang sudah satu jam ia kirimkan. Namun belum juga dibaca.

"Keluarga nyonya Queena?" Suara dokter yang keluar dari ruangan Queena mengejutkan kegelisahan Julian kala itu.

Julian beranjak dan sedikit berlari tergesa menghampiri Dokter yang menangani Queena pagi tadi.

"Apa anda suaminya?"

Julian tergagap, dia hanya mengangguk sekali. Ayolah, bukan itu yang dia ingin dengar. Tapi ia ingin cepat mengetahui kabar dari kakak iparnya itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang