panik

0 0 0
                                    

Malam itu turun hujan dan petir terdengar menyambar bersahutan. Alfian mengerang, dia berteriak di ruangan kerjanya. Kepergian Queena yang berderai air mata dengan tatapan penuh kecewa tentu saja mengusik hatinya.

Bukan seperti ini yang Alfian inginkan saat dia melihat istrinya yang bahkan setia menungguinya pulang hingga tertidur di sofa dan menyambutnya dengan tatapan lelah. Apalagi, jika diperhatikan, istrinya nampak pucat sejak pagi tadi. Dan sialnya, malam ini Alfian justru membuatnya menangis.

Alfian tidak ingin menyakiti istrinya. Sungguh, dia hanya tidak suka melihat kedekatannya dengan Julian. Meski Alfian tau jika Julian tak akan pernah bahkan tak sedikitpun memiliki niat merebut Queena darinya. Katakanlah dia tolol. Tapi ... Kebenciannya pada Clarissa si ibu sambung membuatnya menilai sama pada Julian. Pun pada ayahnya sendiri.

Pagi menjelang. Queena mengerjap dan meraba sisi tempat tidurnya yang masih sama sejak semalam. Ia menyeringai miris menyadari Alfian bahkan enggan untuk tidur bersamanya di kamar ini. Ia menghela nafas lelah sembari berdesis dengan tangan yang memijat Kepalanya yang masih berdenyut sakit sejak semalam.

Ia bangkit dan berjalan gontai dengan menahan sakit dan pusing di kepalanya. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh pagi dan dia belum menyiapkan sarapan untuk suaminya, Alfian.

"Aku belum menyiapkan sarapan." Gumamnya.

Queena berjalan keluar menuju ruang kerja suaminya. Mungkin Alfian tertidur disana. Pikirnya. Namun, matanya menatap kecewa saat hanya keheningan yang menyapanya. Kosong, tidak ada seorangpun di dalam sana. Helaan nafas kembali terdengar. Ia berjalan menuruni tangga dan berharap jika suaminya tengah menunggu di meja makan. Namun dugaannya salah, Alfian tidak ada dimanapun di rumah ini.

Queena menyeringai miris. Matanya memanas. Pelupuk matanya kini dipenuhi cairan bening yang siap tumpah membasahi pipi. "Aku tidak pernah menyangka kau melakukan ini padaku милая (milaya)." Gumamnya dengan suara bergetar.

Queena menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Ia menutup matanya dan mengingat kesalahannya semalam. Dia tau, Queena mengerti kemarahan Alfian padanya sampai saat ini. Tapi ayolah, suaminya itu tak mesti harus mendiamkannya seperti ini bukan?

Queena cukup menyadari kesalahannya tadi malam. Tapi ia butuh penjelasan. Queena lebih memilih mereka adu mulut namun ada kejelasan. Jujur saja, sikap dingin Alfian tak ingin lagi ia lihat saat ini. Cukup saja dingin Alfian padanya ia rasakan satu tahun yang lalu.

Lagi-lagi Queena menghela nafas kasar. Saat ini ia tengah lelah dan kepalanya sakit sejak kemarin. Bahkan Fuzi mengatakan jika ia terlihat sangat pucat. Tidakkah Alfian melihat itu padanya saat semalam bahkan kemarin pagi? Rutuk Queena.

Matanya tiba-tiba kembali memanas. Ai mata membasahi pipinya yang tengah termangu di meja makan. Rumah yang luas ini bahkan terlalu sepi dan dingin saat Alfian bersikap sedingin itu padanya. "Apa kau tidak tau jika aku sangat merindukanmu милая (milaya)?" Racaunya.

Pagi ini Queena sangat merindukan Alfian. Entah kenapa rasanya ia ingin sekali memeluk suaminya itu. Setelah sarapan yang ditemani dengan keheningan. Queena bersiap diri. Dia bertekad akan menemui suaminya di kantor pagi ini dan akan menungguinya disana seperti biasa. Jujur saja, satu hari di abaikan Alfian membuatnya nelangsa.

Ia mematut diri di depan cermin. Mengoles lipstick berwarna peach di bibirnya untuk menghilangkan kesan pucat yang dikatakan Fuzi kemarin. Ia merenung di depan cermin, menghela nafas dan memandangi pantulannya yang memang nampak pucat. Ia meringis, bahkan ia tak berselera sarapan pagi ini.

Queena tampak menimang saat dirinya berada di depan rumahnya. Alfian melarangnya menyetir mobilnya sendiri. Tapi ia ingin membuat kejutan pada Alfian dengan mendatangi kantornya. Mengingat jika resepsi pernikahan mereka bahkan sebentar lagi. Ia benar-benar ingin meminta maaf atas kejadian semalam, setidaknya Queena ingin saat resepsi pernikahan mereka nanti, Alfian akan kembali bersikap hangat padanya.

"Akhirnya....., aku merindukan membawamu kemana-mana minie." Ucapnya saat kini Queena tengah berada di dalam mobil mini cooper berwarna yellow miliknya.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi saat Queena sampai di depan kantor suaminya. Ia tersenyum seraya menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Rasanya seperti bernostalgia." Ucapnya dengan seringai miris mengingat apa yang dilakukannya sama seperti saat-saat dulu ia mendekati Alfian.

Queena berjalan tegap dengan sesekali meringis karena kepalanya yang kembali berdenyut.

"Kakak ipar?"

Queena berbalik dan mendapati Julian yang menghampirinya.  "Hai El."

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Julian khawatir.

Queena mengangguk pelan meski tak mampu ia sembunyikan ringisannya karena kepala yang selalu berdenyut.

"Aku ingin menemui Zayn. Apa dia bersamamu?"

Julian menatap kakak iparnya lekat. Queena terlihat mengkhawatirkan pagi ini. Wajahnya terlihat sangat pucat menurutnya. "apa kau belum sarapan?"

Queena tertawa pelan. "Kau sudah seperti adik yang cerewet El."

Julian mendengus pelan. "Sepertinya kau sakit kak."

Queena menggeleng. "Tidak, sepertinya aku hanya kelelahan mempersiapkan acara resepsi dua hari lagi."

Queena berjalan mendahului Julian, dia hanya ingin segera bertemu suaminya pagi ini. Hatinya seakan berteriak merindukan Alfian. "Kenapa kau mengikutiku El?" Pertanyaan Queena mengejutkan Julian yang sedari tadi menatapnya penuh khawatir.

"Aku hanya berjaga-jaga kau selamat sampai di ruangan Bang Zayn."

Queena tertawa geli. "Lihatlah, kau bahkan lebih cerewet dari kedua orang tuaku."

"Apa kalian baik-baik saja?"

Queena mengernyit. "Apa yang kau maksud hubunganku dengan Zayn?"

Julian mengangguk. "Tentu saja."

Queena menghela nafas pelan seraya menunduk dan menyeringai miris. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Bang Zayn terlihat kacau pagi tadi." Jawabnya sedikit berbisik saat keduanya tiba di lantai ruangan Alfian.

Julian berjalan mendahului Queena dengan sesekali mengatakan dan menggodanya jika Alfian tidak mendapatkan jatahnya malam tadi. Untuk beberapa saat ia tak mendengar jawaban dari kakak iparnya. Hingga ia berbalik dan mendapati Queena yang hampir saja terjatuh karena pingsan, jika saja Julian tak dengan sigap menangkap tubuh kakak iparnya.

"Kak, kakak ipar?" Ucapnya seraya menepuk-nepuk pipi Queena perlahan.

Dia melihat ke sekitar berharap ada seorang yang dapat membantunya. Namun sial, lantai ruangan Alfian cenderung sepi yang hanya ada meja Agnes serta ruangan Rein di sebelah ruangan Alfian. Dan double sial saat Julian tau jika di lantai ini tidak ada siapapun.

Pagi tadi jadwalnya memang sedang meeting dengan klien dari Singapura. Dan saat Julian melihat Queena kala itu. Ia tengah sedikit menghirup udara segar karena Alfian begitu menekannya saat di dalam. Dan yah, itu bukan hal yang terasa aneh lagi sejak dulu. Niat Julian mengantarkan Queena ke ruangan Alfian adalah supaya kakak iparnya itu bisa menunggu dengan nyaman di ruangan suaminya nanti.

Julian menggendong Queena seraya berlari tergesa dan menghiraukan semua tatapan dari seluruh karyawan di sana. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan kakak iparnya itu.

"Kau harus bertahan kak." Racaunya saat Julian membawa Queena menuju rumah sakit. Dengan sesekali menatap penuh khawatir pada kakak iparnya yang ia tidurkan di kursi belakangnya.

Dua puluh menit akhirnya ia sampai di rumah sakit dan memangku Queena dan berkata panik pada perawat yang berlalu lalang di sana.

"Kumohon, tolonglah. Dia tiba-tiba pingsan." Ucapnya panik.

Julian menunggu di lobby dengan perasaan khawatir melihat keadaan sang kakak ipar. Ini adalah kali pertama ia melihat seseorang yang pingsan di depannya.

"Ke rumah sakit X sekarang. Kakak ipar pingsan." Julian mengetikkan pesan singkat itu yang ia kirimkan pada Alfian.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang