semakin erat

2 0 0
                                    

Queena tak hentinya tersenyum kala menatap Alfian. Entah kenapa semenjak kepulangannya dari pemakaman Andrean pagi tadi membuat hatinya merasa nyaman juga ringan. Rindu dan perasaannya untuk Andrean seakan telah tersampaikan.

Alfian benar, kesedihannya sejak kemarin hanyalah perasaan Rindu yang begitu besar untuk Andrean. Hatinya berdesir hangat kala menatap Alfian yang tengah fokus berkutat dengan semua dokumen di meja kebesarannya. Sesekali Queena menggigit bibir bawahnya. Sungguh, ia masih tidak percaya jika Alfian yang dua tahun lalu ia kejar itu telah menjadi suaminya kini.

Queena berteriak tertahan. Jika saja Alfian tidak sedang sibuk saat ini. Maka Queena pastikan ia akan berlari dan memeluk Alfian seharian. Katakanlah dia berlebihan. Tapi, ayolah hatinya membuncah bahagia dengan kebahagian atas takdir ini. Tuhan memang begitu baik padanya. "Maaf aku sempat meragukanMU Tuhan." Gumamnya seraya memandang Alfian.

Merasa di perhatikan, Alfian menatap istrinya yang terlihat berbinar bahagia. Entah kenapa sejak kepulangan dari pemakaman Andrean pagi tadi, Alfian merasa istrinya itu sedikit berbeda. Dan ia sangat bersyukur. Apalagi saat ia mengingat pernyataan cinta Queena di depan pusara Andrean untuknya tadi. Rasanya beban dan ketakutan yang dirasakan Alfian selama ini menguap.

Alfian melambai kepada istrinya untuk mendekat ke arahnya. "зая (zaya), kemarilah." Pintanya lembut.

Queena beranjak antusias, sesekali ia menggigit bibir bawahnya dan menatap malu-malu pada suaminya. Ayolah, ia merasa seperti remaja yang baru merasakan cinta. Bukankah ia telah melewati malam panjang bersama suaminya itu. Tapi entah kenapa perasaannya kali ini terasa lain dan lebih berwarna.

Alfian melingkarkan tangannya pada pinggang istrinya, Queena. "Kau terlihat sedikit berbeda." Tuturnya.

Queena tersenyum malu, semburat merah kembali menghiasi pipinya. Hatinya berdegub kencang tanpa bisa ia tahan. Ia memutar telunjuknya pelan di bahu Alfian seraya menggigit bibir bawahnya. Sedikit menunduk ia berbisik. "Aku bahagia memilikimu милая (milaya)."

Alfian menghela nafas pelan seraya tersenyum. Jemarinya menjentik kening Queena yang saat ini berada tepat di hadapannya. "Mulai pintar menggodaku?"

Queena meringis sembari memegang keningnya. Ia merengut. "Kau tidak percaya padaku?" Ucapnya sebal

Alfian tertawa melihat istrinya saat ini. Sungguh jika saja pekerjaannya tidak menumpuk karena keterlambatan pagi tadi, sungguh Alfian akan membawa Queena dan kembali memanjakannya dengan kelembutan seperti siang kemarin.

Alfian menarik Queena dan mendekatkan wajahnya. Ia berbisik. "Kau terlalu berbahaya." Ucapnya seraya mengigit telinga dan menyesap leher jenjang istrinya itu.

Queena berjengkit kaget. Dia memandang tajam Alfian. Kenapa suaminya itu berlaku demikian. Tidakkah dia memikirkannya. Bagaimana jika ada bekas kemerahan di lehernya nanti. Ayolah, mereka memang suami istri. Tapi Queena merasa malu jika orang lain melihatnya.

Tawa Alfian mengudara. Istrinya benar-benar menggemaskan. "Apa kau bosan?" Tanya Alfian yang masih setia memeluk istrinya, Queena.

Queena menggeleng. Ia memberanikan diri duduk di pangkuan Alfian seraya menyentuh lembut rahang tegas Alfian, Queena mengecupnya lembut seraya bersandar di bahu suaminya. "Kau tau? Aku sempat ingin menyerah saat mengejarmu dulu." Tuturnya sendu.

Alfian mengelus punggung Queena seraya mengecup puncak kepalanya.

Queena menatap Alfian sesaat. "Satu tahun bukan waktu sebentar untuk meyakinkanmu." Ia menghela nafas pelan. "Di fikir-fikir dulu kau jahat sekali padaku." Kesal Queena.

"Karena kau menganggu." Jawab Alfian.

Queena terkejut. Dia mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu Alfian dan menyipitkan matanya penuh selidik.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang