fakta

0 0 0
                                    

Alfian tak hentinya menatap istrinya, Queena. Sesekali ia tersenyum kala melihat binar bahagia yang terpancar dari sorot mata istrinya itu. Bahkan tak di pungkiri, ia pun sama. Alfian bahkan sangat menikmati keintiman yang terjadi di ruangannya siang tadi. Jika saja Queena tak mengingatkannya perihal membeli hadiah untuk Raja, sungguh, Alfian yakin jika ia tak akan pernah merasa cukup.

Queena menatap Alfian yang tengah fokus pada jalanan di depannya. Ia menggigit bibir bawahnya setiap kali mengingat kelembutan Alfian kala menyentuhnya. Bahkan, percintaan singkat mereka siang tadi mampu membuat Queena meneriakan nama suaminya berkali-kali.

Seakan di perhatikan, Alfian menatap Queena. Lengan kirinya terulur mengusap lembut pipi yang selalu kemerahan dan terlihat cantik bagi Alfian. "Ada apa?"

Queena tersenyum. Ia menggenggam lengan kiri suaminya serta mengecupnya "Terima kasih."

Alfian menggeram. Ia mencengkram kemudinya sedikit lebih kuat. "зая (zaya), please." Ucapnya serak.

Queena tertawa. Ia sangat mengerti ekspresi suaminya saat ini. Sungguh, ia sama sekali tak bermaksud membangunkan monster lembut yang ada dalam diri suaminya itu.

Alfian menepikan mobilnya tergesa. Dan tentu saja membuat Queena bingung. Alisnya terangkat menuntut penjelasan. Namun, bukannya penjelasan yang ia dapat. Alfian justru menarik tengkuknya dan memagut bibirnya penuh hasrat. Ciuman itu kian liar dan membuat Queena mengerang kala tangan Alfian tak tinggal diam di tempatnya.

Alfian melepas pagutannya kala dirasa pasokan oksigen telah habis. Ia menyatukan keningnya dengan Queena. "Sorry" ucapnya seraya meringis. Ayolah, Alfian bukan maniak untuk hal-hal seperti itu. Tapi, tidakkah kalian mengerti? Dia telah menahannya selama dua bulan terakhir bukan. Pikir Alfian.

Queena tertawa. Ia menangkup kedua pipi suaminya itu. "It's ok." Tuturnya. Ia pun berbisik di telinga Alfian dan tentu saja mengundang tawa Alfian dan dihadiahi ciuman bertubi di seluruh wajah Queena oleh Alfian.

"Jangan memancingku saat kita sedang terburu-buru seperti ini зая (zaya)." Pinta Alfian saat ia mulai melajukan kembali kendaraan beroda empat miliknya.

Queena merengut, ia merasa kesal Alfian menyalahkannya sore itu. "kenapa kau menyalahkanku."

Alfian tertawa melihat ekspresi istrinya. "Aku tidak akan menepikan mobil jika saja kau tidak memancingku seperti tadi зая (zaya)."

"Aku tidak tau reaksimu akan seperti itu милая (milaya)." Cicit Queena.

Alfian mengusap puncak kepala Queena gemas. "Kau lebih tau siapa aku setiap berada di dekatmu." Jelasnya yang kemudian mengudang semburat merah di pipi istrinya, Queena.

Dering gawai mengejutkan keduanya. Alfian menatap Queena penuh tanya. Seakan mengerti arti tatapan suaminya, Queena menunjukkan nama yang tertera di layar ponsel berwarna sierra blue itu.

"Q, kami semua sudah menunggumu disini. Jam berapa kira-kira kalian akan sampai?" Pertanyaan yang cukup membuat Queena semakin penasaran itu terucap dari Aliefa dari ujung sana.

Queena menatap Alfian tak mengerti. Bahkan ia belum mengucapkan apapun saat menerima panggilan dari Aliefa, tapi kenapa Aliefa seakan tergesa menanyakan perihal jam berapa mereka akan sampai di kediaman Wiryatama.

"Sepertinya sepuluh menit lagi kami sampai kak. Maaf membuat semua menunggu." Sesal Queena.

Terdengar helaan nafas dari ujung sana. "Tidak apa-apa. Maaf merepotkanmu untuk datang ke tempat mama Winda."

Queena menggeleng meski Aliefa tak melihat itu. "Aku sama sekali tidak keberatan kak, kebetulan aku merindukan mama Winda juga papa."

"Baiklah, terima kasih Q."

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang