pernyataan Eldrich

0 0 0
                                    

Pagi ini rutinitas Queena kembali seperti biasanya. Karena permasalahan di Abigail Candy sudah menemui titik terang, Queena fikir jika ada baiknya ia kembali mengurus butik. Entah omelan seperti apa yang akan ia dapatkan dari Fuzi setelah dua bulan lamanya ia bekerja hanya via email. Mengingat itu Queena menyeringai miris, entah kenapa Fuzi melebihi ibunya jika sedang marah. Dan yah, itulah yang harus Queena hadapi saat ini.

Kendaraan beroda empat itu terparkir di pelataran butik. Dan tepat seperti yang Queena fikirkan sesaat lalu, Fuzi tengah menyambutnya di depan butik dengan air muka yang tidak terbaca. Dan ... Dapat Queena pastikan, jika beribu kata itu terlukis jelas di wajah Fuzi.

"Sepertinya pagi ini terlihat cerah. Bukankah begitu nona Queena." Fuzi menyapa Queena lembut namun mengintimidasi.

Queena tersenyum kikuk. "Selamat pagi Fuzi, apa jadwalku untuk hari ini?"

Fuzi menarik nafas seraya memijat keningnya. "Apakah itu pertanyaan nona setelah dua bulan lamanya tidak mengunjungiku dengan beberapa komplain pelanggan?"

Queena merengut. "Tidak bisakah kau ramah dalam menyambutku?" Cicitnya.

Fuzi menghembuskan nafas perlahan. Ia benar-benar tidak habis fikir melihat owner Aurora ternyata memiliki sisi kekanak-kanakan dan tidak kompetitif. Tidakkah ia sedikit saja merasa iba padanya kala banyak sekali komplain masuk karena tertundanya pesanan vip, meski kenyataannya Queena benar-benar mampu menyelesaikan gaun yang dipesan dari jauh-jauh hari dengan sangat memuaskan meski di detik-detik terakhir. Yah, untuk hal itu Fuzi merasa kagum atas kinerja majikannya, Queena.

"Bukankah sudah ku selesaikan masalah yang itu." Cicit Queena lagi.

"Baiklah nona, saya rasa cacian customer yang terdengar menyakitkan itu bisa saya lupakan karena kerja keras anda di detik-detik terakhir."

Queena menyeringai miris kala ia mendengar kalimat terakhir Fuzi yang sarat akan penekanan.

"Jangan pernah lupakan jika aku juga seorang Abigail." Jawabnya jumawa.

Fuzi menggelengkan kepalanya pelan seraya tersenyum. "Majikannya itu benar-benar ajaib" fikirnya.

"Apa kau sudah sarapan? Kebetulan aku membawakan cake untukmu. Dan suatu kehormatan, karena cake ini buatanku sendiri. Khusus untuk asistenku yang setia." Ucap Queena jumawa seraya menyerahkan paper bag untuk Fuzi.

Ucapan Queena yang terdengar jenaka di rungu Fuzi entah kenapa mampu mengembalikan mood nya yang hilang selama dua bulan terakhir.

"Satu minggu yang lalu pak Alfian datang berkunjung."

Queena tertegun, apa ia tidak salah dengar? Atau apakah Fuzi salah menyebutkan nama pelanggan? Untuk beberapa detik Queena terpaku. Berbagai pertanyaan tiba-tiba mengisi kepalanya.

"Aku sempat bertanya saat dia melihat beberapa gaun pengantin. Tapi, seperti rumor yang beredar. Dia pribadi yang dingin. Dan yah, tidak berselang lama dia pergi tanpa sepatah katapun setelah aku menjelaskan jika nona tidak disini."

Queena kembali tertegun, kalimat Fuzi seakan menyadarkannya telak. Ia seakan lupa perkataan Luna. Queena menyeringai miris, apakah ini artinya ia harus menyerah.

Dadanya sesak, Ia berjalan lemah menuju kursi kebesarannya. Ia gemetar, tangannya menepuk-nepuk dadanya yang kian sesak. Sekuat tenaga ia menahan cairan bening yang siap berlomba membasahi pipi. Sakit sekali rasanya jika memikirkan ia harus melepaskan Alfian.

Queena kembali membuka lembar demi lembar sketsa desain gaun yang ia siapkan saat ia memikirkan Alfian. Jemarinya menyentuh lembaran itu dengan lembut. Ia tersenyum miris jika gaun impian itu tak akan pernah ia pakai pada akhirnya.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang