goresan

0 0 0
                                    

Satu minggu menuju persiapan resepsi pernikahan Queena dan Alfian. Membuat Queena sibuk di butik hingga larut malam. Dan tentu saja ia tak bisa menikmati setiap harinya bersama Alfian.

Terkadang Alfian yang pagi-pagi sekali harus berangkat ke kantor. Ataupun dengan Queena yang pulang terlalu larut hingga mereka hanya berbincang sebentar berlanjut istirahat.

Sang surya telah kembali ke peraduan. Langit yang telah gelap menyambut Queena bersama juga lelah yang bergelayut. Sungguh, ia tak menyangka jika persiapan resepsi pernikahan dengan gaun yang dibuatnya sendiri membuatnya lelah dan benar-benar menyita waktunya untuk bersama Alfian.

Akhir-akhir ini ia mudah lelah dan merasa cepat mengantuk.  Gawai yang menjerit meminta perhatian Queena malam itu menariknya dari ketermanguan. Ia memijat pangkal hidungnya kala merasa kepalanya sedikit pusing.

"зая (zaya)." Suara dari sebrang telpon menyapanya lembut.

"Iya." Jawabnya lemah seraya tangan yang masih setia memijat pangkal hidungnya.

"Aku sedikit terlambat menjemputmu. Tunggulah sebentar lagi."

Queena menghela nafas pelan. Sudah dua hari ini Alfian terlambat menjemputnya. "Baiklah." Jawabnya lemah.

Queena menyandarkan kening di atas meja dengan bertumpu pada kedua tangannya. Ia lelah. Bahkan sangat lelah. Entah kenapa tubuhnya terasa remuk. Padahal jika dilihat, dia hanya fokus pada pekerjaan desain untuk project black rose musim dingin nanti. Bahkan gaun pernikahannya sudah selesai sejak tiga hari yang lalu.

Sepuluh menit sudah Queena menunggu Alfian dengan bosan. Fuzi bahkan telah pulang sejak satu jam yang lalu. Ia kembali membuka aplikasi pesan singkat. Namun nihil. Tidak ada tanda-tanda suaminya itu memberitahukan posisinya. Ayolah, tidakkah Alfian mengerti jika Queena lelah dan ingin segera beristirahat.

Dua puluh menit pun berlalu. Dan Alfian tak kunjung juga datang menjemputnya. Queena menghembuskan nafas kasar. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Selain lelah, Queena pun lapar. Dering notifikasi memberi sedikit harapan disaat bosan mendera Queena malam itu.

Mata yang sedikit berbinar kini semakin redup. Pesan yang muncul semakin membuatnya kesal. Kenapa Alfian tidak membiarkannya membawa mobil sendiri selama satu minggu ini. Batin Queena.

Ia tidak membalas pesan yang mengatakan jika suaminya itu lagi-lagi tak bisa menjemputnya karena ada temu klien yang sangat penting. Helaan nafas kembali terdengar darinya. Kesal? Tentu saja. Apalagi mengingat ini bukan kali pertama suaminya itu tak bisa menjemputnya dan mengatakan jika akan ada supir yang akan menjemput dan mengantarkannya selamat sampai ke rumah.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Queena semakin kesal saat menyadari jika ia bahkan melewati jam makan malamnya. Kenapa Alfian semakin membuatnya kesal seperti ini. Supir yang bahkan akan menjemputnya kini pun belum terlihat batang hidungnya.

Ia memijat kakinya yang terasa pegal karena berdiri hampir seharian. Butik yang nampak sibuk karena bertepatan dengan waktu yang memang sering sekali diadakan pesta berbagai keperluan itu cukup menyita waktu istirahat seharian ini.

"Kakak ipar?" Suara yang terdengar familiar itu menyapa rungu Queena malam itu.

Kedua alis Queena terangkat penuh tanya.

Julian terkekeh melihat keterkejutan kakak iparnya karena kedatangannya malam ini. "Untung saja firasatku benar."

Queena mengernyit. "Firasat?"

"Iya, kami kedatangan tamu dari Singapur. Dan yah, kurasa kau mengerti bagaimana sibuknya Bang Zayn saat ini." Tutur Julian.

Queena menghela nafasnya perlahan seraya menunduk. "Iya, dan Abang kesayanganmu itu tidak mengijinkanku membawa mobil sendiri."

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang