dinding menjulang

1 0 0
                                    

Queena terbangun dalam pelukan suaminya. Tersenyum dan menatap lembut pada paras suaminya yang selalu terlihat tampan dan mata yang saat ini terpejam itu selalu Queena sukai setiap mata lelaki itu menatapnya.

Tak terasa hampir satu tahun lamanya Queena berharap tatapan Alfian lembut dengan penuh cinta saat menatapnya. Menghela nafas lega seraya mencium kedua mata suaminya lembut. "Terima kasih kau telah memberikan apa yang aku inginkan selama ini милая (milaya)." Bisiknya.

Alfian mengerang sesaat karena terusik oleh kecupan Queena di seluruh wajahnya. Matanya mengerjap pelan seraya tersenyum saat wajah istrinya yang menjadi pandangan pertama ketika ia terbangun.

Alfian tersenyum dan mengecup singkat bibir istrinya. "Pagi." Sapanya dengan suara serak khas orang yang bangun tidur.

Queena tersenyum "pagi."

Alfian bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. "Jam berapa sekarang?" Tanya nya dengan mata yang sedikit hendak kembali terpejam.

Queena tertawa. Rasanya ia merasa kasihan melihat keadaan suaminya pagi ini. Queena bukan tak tau jika suaminya itu semalam bergadang mengurus file-file pekerjaannya yang hanya satu hari ia tinggalkan kemarin.

"Masih pukul enam pagi, maaf aku membangunkanmu." Sesal Queena.

Alfian tersenyum seraya menggeleng. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Queena. "Tidak, aku ada meeting pagi ini. Terima kasih kau telah membangunkanku dengan ciumanmu di seluruh wajahku."

Queena meringis. Ia sedikit malu mendengar penuturan suaminya itu. "Ini hari terakhir kita menginap disini." Ungkap Queena kecewa.

Alfian menghela nafas pelan. Entah kenapa istrinya itu enggan sekali meninggalkan rumah utama. Padahal, Alfian yakin jika istrinya itu begitu mengetahui jika Alfian benar-benar ingin segera pergi dari hunian yang membuatnya selalu terasa sesak itu.

"зая (zaya)." Alfian menangkut wajah istrinya. "Kau bisa berkunjung setiap hari kemari. Dan aku akan mengantarkanmu, tapi tidak untuk kembali menginap di rumah ini." Tutur Alfian tegas. Matanya menatap lurus pada manik cokelat terang istrinya itu. "Kumohon." Ucapnya pelan nyaris berbisik dengan nada penuh permintaan.

Queena menghela nafas pelan. Ia menunduk, kenapa susah sekali menyatukan dan menjelaskan kepada suaminya itu jika apa yang terjadi tidak sama dengan yang selama ini suaminya fikirkan. Batin Queena.

Queena tersenyum sendu. "Baiklah." Jawabnya pasrah.

Alfian tersenyum mendengar jawaban istrinya yang menuruti permintaannya itu. "Baiklah, aku akan segera bersiap. Kurasa akan-"

"Bisakah aku di rumah ini sampai sore nanti kau kembali dari kantor?" Potong Queena saat ia mulai menyadari maksud dari kalimat yang hendak suaminya itu utarakan.

Alfian menghembuskan nafas pelan. Pertanyaan istrinya tentu saja bukanlah untuk ia bantah. Dan tentu saja, kalimat yang terucap dari mulut istrinya itu bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan yang tak tersirat. "Baiklah, kita kembali ke rumah selepas makan malam nanti."

Senyum Queena terkembang, ia memeluk suaminya erat "terima kasih. Aku akan membantu di dapur menyiapkan sarapan untukmu." Tuturnya antusias hendak beranjak turun dari tempat tidur, namun tertahan oleh Alfian.

"зая (zaya), sebelum itu. Baiknya kita mandi bersama." Tutur Alfian tak ingin ditolak seraya mengankat Queena menuju kamar mandi bersamanya.

Queena menjerit tertahan. Dan memukul kecil lengan suaminya itu. Tersenyum geli, ia mengalungkan lengannya di leher Alfian tanpa menolak. Entah kenapa suaminya itu selalu menyukai aktifitas pagi mereka seperti ini. Bukan sekali itu terjadi, di kediamannya sendiri saja hal itu nyaris terjadi setiap pagi jika bukan Queena yang merasa sakit kepala karena kehamilannya itu.

Pukul tujuh tepat Queena dan Alfian telah turun dan berkumpul di meja makan. Rencana Queena untuk turun dan membantu menyiapkan sarapan pagi gagal total karena aktifitas pagi mereka. Bahkan, jika saja Queena tak mengingatkan meeting penting suaminya pagi ini, Queena yakin jika aktifitas mereka tak akan selesai secepat itu.

"Kurasa hari ini tidak ada jadwal apapun untukku kan ayah?" Tanya Julian membuka percakapan.

Damar terlihat sejenak berfikir dan mengangguk kemudian.

"Memangnya kau ada rencana apa hari ini El?" Tanya Clarissa yang cenderung mewakili rasa penasaran semua yang hadir di meja makan pagi itu.

Menatap sesaat pada ibu nya. "Tidak ada." Jawabnya sembari kembali fokus kepada seporsi nasi goreng di depannya. "Aku hanya ingin menikmati waktuku satu hari ini di rumah." Tambahnya.

Damar menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah laku anak bungsunya yang cenderung selalu terbuka dan apa adanya itu. Menghela nafas sesaat, ia selalu berharap jika Alfian, sang anak sulung dapat kembali bersikap terbuka seperti sedia kala padanya.

"Akan lebih baik ayah memberikan jabatan pada anak ayah itu untuk memegang cabang di Surabaya." Ungkap Alfian yang membuat semua orang terkejut. Terlebih Queena. Ia tak menyangka jika suaminya itu terlihat jelas enggan sekali menyebutkan nama dari Julian yang statusnya sebagai adiknya itu.

Julian membelalak lebar. Suapannya terhenti. Surabaya bukanlah jarak yang dekat. "Aku tidak setuju ayah. Surabaya itu tidak dekat. Dan aku tidak akan meninggalkan ibuku." Tekan Julian.

Sejenak Queena terhenyak di kursinya. Baru kali ini ia melihat adik iparnya itu nampak sangat jelas tengah marah.

"Kurasa ayahmu tidak akan mengijinkan itu El, kau masih perlu banyak belajar dari kakakmu Zayn." Ungkap Clarissa menengahi.

Damar menghela nafas pelan. Bukan pemandangan yang aneh baginya saat ini. Sejak dulu, anak sulung dan bungsunya itu selalu menunjukkan aura permusuhan. Apalagi sejak dulu Damar tau jika Julian selalu bersikap keras kepala dan tak menurut jika itu menyangkut kakanya, Zayn.

"Ibumu benar El, dan aku akan memikirkan saran darimu Zayn. Aku akan memberikan cabang Surabaya pada Julian, Tapi nanti. Nanti setelah ia belajar semua yang kau mengerti dan ketahui tentang perusahaan keluarga kita." Tutur Damar lugas.

Tak adalagi suara yang mengisi acara sarapan mereka pagi itu selain dentingan sendok yang beradu dengan piring. Queena sama sekali tak dapat berkata-kata. Entah kenapa, untuk kali pertama ia merasa seperti orang asing di tengah-tengah konflik keluarga internal Megantara itu.

"Aku sudah selesai." Ucap Alfian memecah keheningan. "зая (zaya), aku pergi dulu." Tutur Alfian lembut seraya mengecup puncak kepala Queena tanpa menghiraukan ketiga orang lain yang berada satu meja dengannya, Alfian beranjak pergi dan meninggalkan meja makan yang masih terasa dingin itu.

Queena mengangguk, sejenak ia melirik pada ibu mertuanya yang menatap sendu atas kepergian Alfian. Queena tau, Queena menyadari betapa sorot mata ibu nertuanya itu menunjukkan luka dan kesedihan. Tapi kenapa Alfian tak mampu melihat itu. Atau apakah suaminya hanya tidak perduli? Batin Queena.

"Q, apa kepalamu masih sering terasa pusing?" Tanya Clarissa memecah keheningan selepas kepergian Alfian.

"Tidak bu, aku beruntung tidak terlalu merasakan itu. Bahkan saat kehamilanku menginjak tujuh minggu."

"Syukurlah cucu ibu tidak nakal."

"Keponakanku tidak akan nakal bu. Bukankah dia seperti om nya yang baik dan penurut, akan sangat tidak mungkin dia nakal bukan?" Ungkap Julian jumawa.

Queena tertawa begitupun Clarissa. Entah kenapa Queena menyukai suasana hangat seperti ini. Mertua yang sangat hangat dan baik. Cepat atau lambat suaminya harus mengetahui fakta tentang yang terjadi di masa lalu. Sungguh, Queena merasa kecewa pada suaminya atas kemarahan yang tak mendasar itu. Nyatanya cerita sebenarnya bahkan memilukan bagi Clarissa. Andai Alfian tau, jika ibu sambungnya itu sosok yang penyayang dan sudah terlalu banyak berkorban bahkan di usianya saat ini.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang