kemarahan Alfian

0 0 0
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Dan tentu saja, Alfian sudah tak sabar ingin bertemu dengan istri tercintanya.

Entah kenapa, semenjak kehamilan Queena, Alfian merasa tak ingin berada jauh dari istrinya itu. Saat ini pun Alfian merasa tak nyaman duduk di ruang kerjanya itu. Perasaan rindu itu membumbung tinggi seakan ia tak bertemu dengan istrinya sekian lama.

Menatap pada benda pipih berlogo apel tergigit di tangan kirinya, bibirnya melengkung senyum tatkala melihat foto-foto kebersamaannya dengan Queena. Entah kenapa melihat semua itu Alfian seakan kembali mengingat betapa dulu ia membenci sosok yang saat ini telah menjadi istrinya itu.

Ternyata pernyataan orang lain tentang cinta dan benci itu beda tipis memang benar adanya. Buktinya saat ini Alfian teramat mencintai sosok yang kini tengah mengandung buah hatinya.

Seakan tak sabar, Alfian beranjak dari kursi kebesarannya dan meninggalkan ruangan dengan senyum dan langkah terburu untuk segera menemui istrinya.

"Entah apa yang kau miliki hingga membuatku tak mampu hidup tanpamu зая (zaya)." Gumam Alfian seraya beranjak dan meninggalkan kantor kebesarannya.

Semyum yang terukir tak pernah luntur dari beberapa saat lalu. Hatinya begitu merindukan sosok yang bahkan selalu ada di setiap malam bersamanya itu.

Matanya menatap pada toko bunga yang tidak terlalu besar berada di sisi kiri jalan. Entah kenapa ia ingin sekali memberikan satu buket bunga iris yang mengartikan kerinduan untuk istrinya, Queena.

Alfian bukanlah pria yang suka dengan hal-hal berbau romantis seperti itu. Sejak dulu bahkan ia selalu berfikir jika hal-hal seperti itu terlalu merepotkan. Bahkan sewaktu ia merasakan perasaan yang ia anggap cinta kepada Aliefa dulu, ia tak seperti saat ini. Tapi dengan Queena ia berbeda. Entah kenapa hatinya seakan ingin selalu memberikan kebahagiaan kepada istrinya itu. Alfian seakan tak ingin kehilangan binar bahagia serta senyum yang selalu istrinya tunjukkan saat di depannya itu.

Menatap pada satu buket bunga iris di tangannya, ia kembali tersenyum dan membayangkan bagaimana reaksi istrinya itu nanti. Bahagia telah mengisi seluruh hati Alfian siang itu. Ia terlalu meyakini jika kebahagiaan akan selalu berpihak padanya dan pernikahannya.

"Kuharap kau selalu bahagia bersamaku зая (zaya)." Gumamnya seraya meninggalkan toko bunga yang telah membantunya membahagiakan istrinya. Pikir Alfian.

***

"Aku cukup terkejut bertemu denganmu di cafe tadi kak." Ungkap Julian ketika ia dan Queena dalam perjalanan kembali ke rumah utama.

"Itu cafe sahabatku. Sejak kecil dia memang sangat menyukai bereksperimen dengan makanan manis." Ungkap Queena dengan tatapan menerawang seraya tersenyum.

Julian sedikit merasa heran saat melihat senyum kakak iparnya itu. "Kurasa kalian sangat dekat."

Queena menatap Julian dengan tersenyum sendu. Sejujurnya ia masih merasa tak enak hati kepada Eldrich. Apalagi jika mengingat pengumuman statusnya yang menjadi istri Alfian tidak lama setelah Queena menolak perasaan sahabatnya, Eldrich. Andai saja sejak awal Queena tau jika ia telah menjadi istri dari Alfian. Mungkin Eldrich tak akan sampai mengutarakan perasaannya itu padanya.

"Tentu saja, ia sudah seperti saudara bagiku. Bahkan kedua orang tuanya sudah seperti orang tua bagiku." Queena Menghela nafas sesaat. "Kurasa kau tau jika sejak kecil aku hidup tanpa kedua orang tuaku. Tapi betapa beruntungnya aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku."

Julian tersenyum kagum. Ternyata sosok yang selalu ia anggap manja itu bahkan terlampau mandiri. Berbeda dengan dirinya yang selalu mendapatkan kasih sayang orang tua. Bahkan sejak kecil ia tak pernah jauh dari kedua orang tuanya itu, meski sejak kecilpun ia menyadari kejanggalan dari hubungan ibu dan ayahnya, Damar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang