Malam menjelang, Queena masih setia menatap suaminya yang sama sekali tak ada minat merubah air mukanya sejak pagi tadi. Alfian masih tetap setia dengan tatapan datar dan tak nyaman. Sedikit merasa bersalah, Queena menghela nafas saat mengingat. Karenanya lah Alfian merengut sepanjang hari.
Makan malam tadi pun beberapa kali Clarissa mencoba membuka suara dan mendekatkan diri dengan Alfian. Queena tau, Queena Mengerti jika ibu sambungnya itu tengah berusaha melunturkan rasa tak suka yang selalu Alfian tunjukkan kepadanya.
Queena menatap suaminya yang sibuk menatap pada benda pipih lebar berlogo apel tergigit. Ia berjalan mendekat.
"Apa hari libur seperti ini pun kau harus sibuk милая (milaya)?"
Alfian melirik sekilas pada istrinya, dan kembali fokus pada benda pipih di depannya itu. "Hanya sedikit melihat laporan yang dikirimkan Rein." Ujarnya.
Queena mengangguk pelan dengan mulut yang dibentuk bulat. Ia menatap lekat suaminya sedikit menggigit bibir sarat akan ragu.
Merasa diperhatikan, Alfian menatap Queena dengan alis terangkat penuh tanya.
"Aku...." Queena kembali menggigit bibirnya dan menggantungkan kalimatnya.
"Ya...?"
"Namamu...." Queena menatap Alfian gusar
Alfian menautkan alisnya tak mengerti. "Kenapa dengan namaku?"
"Kenapa ibu memanggilmu Zayn?" Cicit Queena akhirnya.
Tatapan Alfian sedikit melembut. Ia tersenyum. "Namaku memang Zayn." Ungkapnya "Zayn Alfian Megantara." Imbuhnya.
Queena mengangkat kedua alisnya tak percaya. Tatapannya membola dengan mulut yang sedikit terbuka. Dan menghadirkan tawa Alfian malam itu.
"Kenapa?" Tanya Alfian.
Queena membuka mulutnya dan mengatupkannya kembali seakan ingin mengutarakan sesuatu. Ia menghembuskan nafas pelan seraya menunduk. "Aku tidak tau tentang itu."
Alfian menyimpan notepad yang sejak tadi di genggamnya ke atas nakas di samping tempat tidur. Tangannya menarik Queena ke dalam pelukannya dan mengusap puncak kepala istrinya itu lembut.
"Namaku sejak dulu memang itu, mamah yang memberikan nama itu. Aku suka sekali saat orang-orang memanggilku Zayn." Ungkapnya dengan tatapan menerawang ke langit-langit kamar.
Queena merenggangkan pelukan suaminya dan mengangkat sedikit kepalanya untuk menatap Alfian. "Lalu, kenapa sampai saat ini semua orang tau namamu hanya Alfian Megantara? Apa kau benci nama itu?"
Alfian tersenyum kecut. Dia menunduk dan semakin menarik Queena dalam pelukannya. "Aku tidak membencinya." Ujarnya "tidak sampai dia memanggilku dengan nama itu juga." Ucapan Alfian yang terdengar dingin itu mampu membuat Queena terdiam di dalam pelukannya.
Queena lebih memilih diam dan tak lagi menanggapi pernyataan suaminya. Nada yang terdengar dingin dan penuh kebencian itu membuat Queena kembali bertanya-tanya perihal masalah apa yang terjadi dalam keluarga suaminya ini.
"Biar kutebak. Kau juga ingin bertanya tentang panggilan dia untuk Julian bukan?" Tanya Alfian.
Queena mengernyit, dia merasa aneh saat Alfian memanggil ibu sambungnya hanya dengan kata 'dia'. Semua yang terjadi satu hari ini seakan membuatnya lelah. Bukan, bukan perihal ibu mertuanya yang tak lelah bercerita apapun sejak kedatangannya pagi tadi ke rumah ini. Tapi ... Keterdiaman Alfian, dan aura permusuhan yang kuat yang menguar dari dalam diri suaminya itulah yang membuat Queena menghela nafas pelan dalam pelukan Alfian.
"Nama kami bukan hanya terdiri dari dua kata зая (zaya)."
Queena mengangkat kepalanya dan menatap penuh tanya pada Alfian.
Alfian tersenyum dan mengecup sekilas bibir istrinya. "Nama Julian tidak hanya Julian Megantara." Tuturnya "sama sepertiku, namanya juga terdiri dari tiga kata." Imbuhnya.
Alfian tertawa pelan menatap istrinya yang antusias menunggu kelanjutan kalimat darinya itu. "Julian Elvaro Megantara."
Queena mangut-mangut dalam pelukan Alfian. Akhirnya dia mengerti kenapa ibu mertuanya itu memanggil Julian dengan nama 'El'. Dia tertawa geli saat mengingat nama panggilan itu sma seperti dia saat memanggil Eldrich.
Alfian melepaskan pelukannya pada Queena dan menatap penuh selidik pada istrinya.
"Ada apa?" Tanya Queena cukup terkejut saat Alfian melepaskan pelukannya dan menatapnya seperti itu.
"Apa yang membuatmu tertawa. Apa nama kami terdengar lucu?"
Queena menggeleng, dia tertawa mendengar pertanyaan suaminya itu. "Tidak. Tentu saja bukan karena itu. Hanya saja...-" Queena berdehem. Dia menyadari pemikirannya pasti akan membuat suasana Alfian tak nyaman.
Kening Alfian bertaut. "Hanya saja...?" Ulang Alfian menuntut penjelasan.
Queena menghela nafas pelan. Ia tau jika ia telah salah sejenak mengingat Eldrich saat mereka tengah bersama seperti ini. Queena meringis saat mengingat jika Alfian bukanlah laki-laki yang akan menghiraukan pembicaraan dengannya seperti ini. Ia yakin Alfian pasti akan mencecarnya dengan pertanyaan yang sama sampai Queena menjelaskan semuanya hingga jelas.
"Panggilan adikmu sama seperti panggilanku untuk Eldrich." Ungkapnya jujur.
Alfian membeku. Air muka yang tadi lembut kini berubah masam dan datar. Dan tentu saja berhasil membuat Queena kalang kabut. Ayolah, ia hanya terpikirkan sekilas saja. Tidak ada maksud apapun. Jadi sikap Alfian saat ini dirasa terlalu berlebihan. Batin Queena.
"Apa maksudmu kau merindukannya?" Tanya Alfian dingin.
Queena menghela nafas. Inilah resikonya saat ia berkata tanpa memikirkan akibatnya. Tapi jujur saja ia hanya spontan. Apakah salah jika ia sekilas mengingat nama panggilan mereka sama. Hanya itu. Tapi jelas Queena sudah salah dimata Alfian, terlepas dari apapun alasan yang dia miliki.
"Tidak. Kenapa kau berfikir seperti itu?"
Alfian menatap dan mencari kebohongan dimata istrinya. Dan sialnya dia tak menemukan itu. Sejenak Alfian merutuki sikapnya sesaat lalu. Dia kembali merengkuh istrinya erat dan berbisik. "Maaf."
Helaan nafas terdengar dari Queena. Kenapa suaminya itu seakan masih tidak percaya jika dirinya begitu mencintai Alfian. Bukankah sejak awal suaminya itu tau jika Queena lah yang selalu mendekati dan mengejarnya.
"Aku mencintaimu милая (milaya), dan kau tau itu." Protes Queena.
Alfian merenggangkan pelukannya dan menangkup wajah Queena. "Aku tau. Aku tau." Ujarnya seraya kembali mengecup kening Queena lembut.
"Aku baru tau Julian hanya berbeda satu tahun denganku."
Alfian tidak menjawab, dia hanya kembali menikmati aroma Queena di dalam pelukannya.
"Ayah memintaku mengajari El di perusahaan." Tutur Alfian.
"Bukankah itu bagus? Kau tidak akan selalu repot saat tiba-tiba beberapa perusahaan ada rapat penting secara bersamaan?"
Alfian menyeringai masam. Entah kenapa perasaan bencinya pada keluarga ini. Membuatnya menutup mata dari semua kasih sayang yang mereka coba tunjukkan untuk Alfian.
Sebenarnya Alfian tau, dia mengerti jika semua sikap ibu sambung bahkan adiknya, Julian. Itu adalah cara mereka menunjukkan jika merekapun menyayanginya. Bahkan Clarissa sebagai ibu sambung bagi Alfian justru terlihat lebih memprioritaskan dirinya dibanding Julian, anak kandungnya sendiri. Namun sayang, kebencian yang sejak dulu Alfian tanamkan membuatnya mengabaikan kasih sayang Clarissa, Julian dan ayahnya, Damar.
"Tentu saja. Sejak awal perusahaan ini bukan hanya milikku." Ungkapnya pelan nyaris berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...