Clarissa meminum teh nya dengan senyum yang tidak luntur darinya semenjak satu minggu kedatangan Alfian dan Queena menginap di kediaman utama itu. Hatinya terasa menghangat ketika Alfian, anak sambungnya memanggilnya ibu untuk pertama kalinya. Meski pagi tadi Alfian nampak enggan. Namun, sukses membuatnya terharu.
Menatap pada jam yang menunjukkan waktu pukul sepuluh, Clarissa kembali tersenyum, ia menghela nafas geli mengingat jika anak sulung dan menantunya turun dari kamar terbilang cukup siang dari biasanya dan terburu-buru untuk sarapan.
"Apa kau melihat kami dari atas sana Al?" Gumam Clarissa dengan tatapan sedikit mengabur.
Memegang erat pada cangkir yang terasa hangat itu, Clarissa tertunduk dan menangis tanpa suara. Entah kenapa ia merasa begitu merindukan sahabatnya itu. Alceena, nama itu nyatanya membawa Clarissa pada titik saat ini. Menikahi suami dari sahabatnya memang tak mudah. Apalagi jika ia mengingat betapa Damar, suaminya itu teramat mencintai Alceena, ibu kandung dari anak sulungnya, Alfian.
"Aku tidak pernah meminta untuk berada di tempat ini Al?" Gumamnya dengan suara bergetar.
Clarissa beranjak perlahan meninggalkan ruang keluarga yang terasa sunyi itu. Dua jam yang lalu Alfian dan Queena berpamitan untuk berjalan-jalan. Dan Julian beserta Damar bahkan sudah lebih dulu meninggalkan kediaman mereka untuk ke kantor. Sedangkan para asisten rumah tangga berada di paviliun yang tak jauh dari rumah utama itu.
Melangkah ke ruang yang mirip seperti perpustakaan itu dengan langkah pelan. Clarissa seakan memeluk dirinya sendiri dengan erat. Jika saja bukan karena ia begitu menyayangi Alceena. Maka sungguh, tak akan pernah ia mau menikahi damar yang saat itu masih berstatus suami dari Alceena.
Clarissa tersenyum pelan menyentuh pada album foto yang entah sejak kapan sudah tak ia lihat itu.
"Apa kau tau? Zayn memanggilku ibu setelah sekian lamanya tidak kudengar itu Al?" Ucapnya sembari memandang pada selembar foto yang nampak usang namun masih jelas memperlihatkan senyum bahagia ketiga sahabat itu.
Tangis Clarissa semakin pilu terdengar. Bahunya kembali bergetar. "Andai waktu itu kau mau memberiku pilihan Al."
Clarissa memeluk erat album foto itu dengan tangis yang kian tergugu. "Maafkan aku Al, aku mencintainya."
Flashback on
Tiga tahun pernikahan Alceena dengan Damar tentu saja membuat Clarissa turut bahagia. Keluarga besar Alceena pun seakan tak terlihat di sekitarnya semenjak Alceena memilih jalan hidupnya sendiri. Mengingat itu Clarissa tersenyum miris dan iba. Alceena terlahir dengan kondisi lemah yang membuatnya terbiasa hidup bergelimang kasih sayang yang tentu saja berlebihan menurut Clarissa.
Awalnya Clarissa merasa tak yakin dengan keputusan sahabatnya itu. Namun, saat ia melihat binar bahagia terpancar dari mata sahabatnya itu, Clarissa pun menjadi pendukung terdepan atas keputusan Alceena angkat kaki dari keluarganya. Tentu saja Sandra pun begitu.
Satu tahun pernikahan Alceena dan Damar tidak pernah diterpa masalah apapun. Setidaknya begitulah kabar yang Clarissa dengar kala itu. Namun, entah kenapa Alceena kembali sering menghubunginya bahkan memintanya selalu menginap di kediamannya untuk sekedar menemaninya.
Pada awalnya Clarissa enggan. Bukan apa-apa, ia hanya merasa tak nyaman dengan adanya Damar di rumah itu. Walau bagaimanapun, ia tidak ingin mengganggu kebersamaan mereka. Namun, berita kehamilan Alceena akhirnya membawanya selalu ada di rumah itu.
Kondisi Alceena yang terlahir lemah itu membuat kehamilannya tak mudah, ia bahkan sering sekali pingsan. Bahkan parahnya, Alceena sempat masuk rumah sakit dan dirawat tiga malam saat kandungannya berusia tiga bulan.
Clarissa selalu melihat betapa Damar mencintai Alceena. Semua jelas terlihat dari apa yang dilakukan Damar kala itu. Raut wajah yang tak secerah biasanya, bahkan cenderung sendu dan cemas juga takut. Semuanya cukup menjelaskan sebesar apa perasaan Damar untuk Alceena. Menghembuskan nafas pelan, Clarissa berharap dalam hatinya. Semoga Tuhan memberikan pendamping seperti Damar yang begitu mencintai istrinya.
Semakin lama Clarissa datang berkunjung dan menginap disana. Tentu saja menumbuhkan perasaan yang tak boleh ia miliki itu. Ia sadar, sepenuhnya Clarissa menyadari jika ia telah jatuh cinta pada sosok suami dari sahabtnya itu.
Waktu kelahiran pun tiba, suasananya bahkan sama seperti saat kandungan Alceena bersuai tiga bulan kala itu. Bahkan mungkin cenderung lebih mencekam. Alceena koma tepat dua hari sebelum HPL nya. Aku panik, kami sangat panik. Bahkan Damar terlihat sangat putus asa. Tatapan ketakutan terlihat jelas dari sorot matanya. Dan Clarissa sangat mengerti alasannya.
"Alceena wanita yang kuat, percayalah." Ucap Clarissa mencoba meringankan ketakutan yang dirasa Damar.
Damar hanya menatap sesaat dan kembali tertunduk dengan jemari yang saling meremas cemas. Perasaannya benar-benar kacau. Keadaan Alceena dengan kehamilan yang sudah mendekati kelahirannya itu, membuatnya mengambil keputusan untuk melakukan tindakan operasi Caesar guna menyelamatkan keduanya. Sungguh, ia merasakan ketakutan teramat besar kala dokter berkata tentang semoga adanya keajaiban untuk Alceena dan anaknya.
"Aku bersyukur jika Alceena mendapatkan suami sepertimu." Clarissa menatap sejenak pada Damar sebelum kembali menatap kosong pada dinding rumah sakit. "Berjanjilah, berjanjilah untuk selalu berada disampingnya." Tuturnya dengan suara bergetar dan cukup menarik perhatian Damar hingga lelaki itu menatapnya. "Kumohon." Imbuhnya dengan tatapan berurai air mata.
Entah dorongan dari mana, Damar yang terlihat kacau itu bahkan memeluk dan mengelus lembut punggung Clarissa yang bergetar. Tangis Clarisaa semakin tergugu di pelukan Damar. Bukan hanya karena perasaan takut kehilangan sahabatnya. Tapi juga karena perasaan yang tak seharusnya Clarissa miliki dan harus ia hilangkan secepatnya itulah yang membuat Clarissa semakin menangis pilu dalam pelukan Damar.
Satu minggu sudah Clarisaa selalu berkunjung bahkan bergantian menginap di rumah sakit untuk menemani Alceena yang masih juga belum terbangun.
"Al, cepatlah bangun. Apa kau tidak ingin melihat anakmu?" Gumamnya seraha menatap pada bayi yang terlelap di gendongannya.
Operasi terbilang berhasil dan bayi laki-laki Alceena yang Damar berinama Zayn Alfian Megantara itu dikatakn sehat oleh dokter. Tentu saja Clarissa merasa bersyukur atas itu. Meski belum sepenuhnya hatinya merasa lega. Alceena, sahabat sekaligus ibu dari bayi tampan yang sejak dua hari yang lalu selalu di urus oleh Clarissa belum juga membuka matanya. Alceena masih koma sejak sepuluh hari yang lalu.
"Dia membutuhkanmu Al, bahkan Damar pun terlihat semakin kacau. Kumohon, jangan terlalu lama kau tertidur Al. Apa kau melupakan janji kita? Apa kau melupakan jika kau ingin melihatku menikah?" Tutur Clarissa dengan tangis yang kembali menganak sungai di pipi.
Flashback off
Clarissa menghapus kasar air mata yang tak hentinya membasahi pipi itu. Beranjak mengelus lembut pada selembar foto bayi mungil yang terlihat gemuk dengan mata hazel yang selalu membuatnya bahagia itu.
"Lihatlah Al, bahkan Zayn terlihat menyukaiku kala itu. Dan kuharap semua itu kembali."
Clarissa selalu menyesali keputusannya menuruti permintaan Alceena kala itu. Nyatanya bahkan ketakutan yang Alceena miliki tak terjadi. Clarissa bersyukur kala itu. Jika Alceena masih diberikan waktu yang cukup panjang hingga usia Alfian menginjak tujuh belas tahun. Hingga membuatnya kembali pada Clarissa yang begitu menyayangi Alfian yang sudah Clarissa anggap anak kandungnya itu.
Menyeringai miris, Clarissa menghela nafas yang kembali sesak setiap mengingat tatapan benci yang terpancar dari Alfian padanya. "Maafkan ibu." Gumamnya seraya menatap pada foto keluarga yang di ambil saat bertepatan kembalinya Alfian di kediaman ini sebelas tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...