sesak

4 0 0
                                    

"Apa kau yakin akan menyerah begitu saja?" Suara yang terdengar menuntut itu seakan melukai Luna.

"Aku tidak ingin menyerahkan Alfian pada siapapun ayah. Tolong buat dia menjadi milikku, aku mohon."

Saka menarik nafas dalam, ia merasa tak tega melihat anak semata wayangnya menderita. "Cari tau informasi tentang Alfian Megantara." Saka tersenyum puas kala centang pesan singkat itu berubah biru.

***

Pagi yang tak biasa bagi Queena terasa sedikit canggung, entah kenapa mama dan papa nya itu terlihat aneh. Bagaimana tidak, mereka bukanlah pasangan yang akan berlaku baik padanya jika bukan ada maksud lain di baliknya.

"Pagi sayang, apa hari ini kau sibuk?" Sandra mencium pipi Queena lembut.

"Pagi mah, pah."

"Pagi cutiepie." Jawab Bastian.

"Apa hari ini juga kau pergi ke butik cutiepie?"

"Iya pah, kebetulan ada project yang bisa dibilang besar untukku."

Bastian menatap Sandra seraya tersenyum. "Sudah Papa duga kau hebat melakukan apapun cutiepie."

"Ngomong-ngomong ada kepentingan apa Papa dan mama mengunjungiku." Queena benar-benar tak sabar dengan tingkah Bastian dan Sandra. Sungguh itu hanyalah kepura-puraan yang kedua Abigail tunjukkan. Setidaknya itu yang Queena rasakan selama ini.

Sandra tampak menatap Bastian.

"Apa kau tidak berniat mencari pendamping hidup cutiepie?" Tanya Bastian

Queena hampir tersedak sarapan buatan Sandra. "Kenapa tiba-tiba papa menanyakan itu?"

"Papa hanya khawatir, kau tau perasaan orang tua yang harus meninggalkan anaknya sendirian bukan?"

"Aku bisa jaga diri Pah, aku yakin kalian percaya padaku bukan?"

"Tapi sayang, alangkah baiknya ada yang akan melindungimu." Sandra membuka suara.

Queena menarik nafas dalam, ia benar-benar merasa orang tuanya mulai gila. Ada apa memangnya dengannya yang terbiasa hidup sendiri.

"Papa tau Ken sudah tidak bisa menemanimu dan membantumu seperti dulu cutiepie."

"Tapi Pah, mencari pendamping hidup itu tidak seperti membeli perusahaan yang selalu Papa dan Mama lakukan." Jawab Queena sebal.

"Kami tidak akan kembali ke Eropa sebelum melihatmu menikah. Menikahlah dengan pilihanmu atau kami yang akan mencarikan untukmu." Jawab Bastian tak terbantah.

Queena menatap Sandra tak percaya "Mah, tolong jelaskan ke papah aku bukan anak kecil lagi."

Sandra hanya diam dan tatapannya menunduk.

"Aku mengerti apa maksud kalian mengunjungiku, aku lelah mengikuti aturan kalian selama ini. Jadi tolong jika itu tentang pilihan hidup, aku ingin atas pilihanku sendiri. Jika kalian berharap adanya pernikahan bisnis, maka aku tegaskan. Aku menolak." Jawab Queena telak seraya pergi meninggalkan Bastian dan Sandra.

Meja makan yang selalu sepi itu nyatanya tetap terasa dingin bagi Queena.

"Buatlah mereka menyayangiku Tuhan." Gumam Queena sedih.

Queena merasa tak akan baik jika ia lanjutkan menuju butik, kehadirannya disana hanya akan merepotkan Fuzi, menuju rumah Aliefa dan Ken pun rasanya tak mungkin. Queena tak ingin mereka menyadari masalah antara ia dan Alfian. Karena dapat Queena pastikan Ken akan semakin menentangnya.

Queena menunduk, ia lelah. Hatinya menjerit rindu pada Alfian. Tapi kenyataan memukulnya telak. Sungguh, ia ingin bertemu Alfian setelah satu minggu lamanya.

Queena seakan tak memiliki arah dan tujuan. Dan lagi-lagi ia hanya mampu kembali merenung di cafe KING. Sungguh, ia tak tau harus kemana lagi saat ini.

"Pagi Q." Sapa Kiara.

"Hai ... Pagi."

"Pak Eldrich sedang pergi Q."

Queena sedikit merasa lega mendengar ketiadaan Eldrich di cafe. "Tidak biasanya dia pergi."

"Pak Eldrich di undang menjadi mentor di salah satu kampus luar kota."

Queena takjub mendengar itu, yah meski bukan hal yang tabu jika Eldrich selalu menjadi mentor di setiap seminar. Queena sangat tau kecerdasan yang dimiliki Eldrich. Entah terbuat dari apa isi kepala anak itu. Mengingatnya saja membuat Queena tertawa pelan.

"Apa pesanan seperti biasa?" Dan dijawab dengan anggukan Queena sesaat sebelum Kiara berlalu.

Queena selalu dibuat takjub dengan interior cafe yang dibuat Eldrich. Namun tiba-tiba matanya tertuju pada salah satu sudut cafe. Alisnya bertaut. "Sedang apa dia sendirian di tempat ini?" Gumamnya. Mata Queena menjelajahi seisi cafe mencari sosok yang mungkin saja ia bisa melihatnya.

"Ini cake yang khusus dibuatkan pak Eldrich untukmu Q. Dia selalu berpesan "berikan ini untuk Q, meski aku sedang tidak di tempat sekalipun." Suara Kiara mengejutkan Queena.

Tawa Queena mengudara, "kau lucu sekali Ara. Nada bicaramu sama percis saat menirukan Eldrich."

"Saya permisi."

Queena melihat semburat merah muda di pipi Kiara. "Sepertinya dia menyukaimu El." Gumamnya.

"Bolehkah saya bergabung." Suara perempuan mengejutkan kesenangan Queena saat menikmati suplemen energinya.

Queena mencoba menyembunyikan keterkejutan atas kedatangan Luna. "Silahkan."

"Perkenalkan nama saya Luna."

"Queena."

"Saya lihat anda sering sekali datang ke cafe ini."

"Kebetulan pemilik cafe ini sahabat masa kecil saya." Jawab Queena acuh seraya menikmati cake buatan Eldrich yang khusus untuknya.

"Apa kau mengenal Alfian Megantara?"

Queena tertegun, jantungnya seakan berdegub kencang mendengar wanita di depannya mengatakan nama Alfian.

"Sepertinya anda sangat mengenal Alfian?" Cecar Luna

Queena mencoba acuh dan kembali fokus menikmati cake kesukaannya.

"Kebetulan sekali kita bertemu disini. Aku hanya ingin memberi tahukan berita penting sekali." Tekan Luna

Akhirnya Queena menatap Luna. Tadinya ia berusaha acuh. Namun, nada bicara Luna seakan menyiratkan sesuatu yang buruk.

"Kurasa kau tau siapa aku bagi Alfian." Luna menyeringai "mungkin kita memang ditakdirkan bertemu disini. Jadi aku tidak perlu repot-repot menemuimu di lain tempat bukan." Tambahnya.

Alis Queena bertaut, ia tak memahami kemana arah pembicaraan Luna saat ini.

"Aku yakin kamu mengenal Alfian. Dia tidak akan bersikap hangat jika ia tak ingin bukan?"

Queena masih terkejut mendengar beberapa penuturan yang semakin ia dengar semakin ia takutkan.

"Baiklah, sepertinya aku tidak perlu mengenalkan diriku lebih jauh lagi karena tatapanmu menjawab semuanya." Cecar Luna

Tatapan Queena kosong, ia hanya mampu menahan air mata yang kian mendesak karena hatinya seakan tersayat mendengar penuturan Luna.

"Kabar baiknya lagi, kami sudah bertunangan dua hari yang lalu." Luna menunjukkan cicin yang melingkar indah di jari manisnya.

Queena menggigit bibir dalamnya kuat. Kalimat yang benar-benar ia takutkan pun akhirnya menyapa rungunya. Cake yang selalu terlihat enak pun tiba-tiba terasa hambar. Sesak, dadanya sakit.

"Baiklah, sepertinya hanya itu yang ingin aku sampaikan padamu nona Queena." Luna tampak jumawa meninggalkan ketermanguan Queena.

Queena menunduk, ia menyeringai miris. Tangannya memukul dada berkali-kali. Namun, sesak itu tak kunjung hilang "Sakit Tuhan, inikah akhirnya." Bathin Queena.

Air mata yang sedari tadi ia tahan pun kini berlomba membasahi pipi. Sungguh bukan ini akhir yang ia harapkan. Apakah harapan Queena itu terlalu muluk bagi Tuhan?.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang