Sarapan sudah selesai, namun ia masih setia mendengarkan ibu mertuanya yang menceritakan kisah persahabatannya bertiga.
"Tak berselang lama, Sandra pun bertemu dengan tambatan hatinya. Ayahmu Q. Kami tidak pernah menyangka jika ternyata Sandra telah menemukan pendampingnya. Sejak dulu bahkan dia tidak pernah menceritakan tentang kisah asmaranya pada kami." Clarissa tertawa ."anak itu benar-benar pandai menyimpan perasaannya." Imbuhnya.
Queena tersenyum. Ibu mertuanya benar. Sandra memang wanita yang pandai menyimpan semuanya sendiri. Bahkan tak jarang ia dibuat geli setiap mengingat bagaimana repotnya Bastian menebak apa yang dirasakan Sandra guna mengembalikan senyuman ibu kandungnya itu.
"Alceena sudah menikah, Sandra pun demikian tepat satu tahun setelah Alceena melahirkan Zayn waktu itu. Dan kami kembali berkumpul setelah sebelumnya berpisah karena memiliki urusan masing-masing."
Queena menatap ragu pada ibu mertuanya. Pertanyaan yang sejak tadi hinggap di benaknya seakan ingin menyuarakan diri segera. Menghela nafas pelan sesaat dan menatap ibu mertuanya takut. "Bu ... sebenarnya, ibu kandung Zayn sakit apa?"
Clarissa tersenyum sendu. Ia menghela nafas pelan. "Alceena sejak dulu memang memiliki kondisi lemah. Tubuhnya tidak bisa terlalu lelah, atau dia akan pucat dan pingsan." Clarissa menunduk dan bahunya sedikit bergetar.
"Ibu ingat waktu itu usia kami menginjak tujuh belas, dan Alceena memaksa kami untuk mengajaknya menonton konser. Sebenarnya bukan karena dia suka dengan artis yang mengisi konser itu. Tapi dia mengatakan jika ingin sekali saja merasakan bagaimana kehidupan remaja normal yang seakan hal kecil itu hanya menjadi mimpi baginya."
Perasaan sesak Clarissa seakan menulari Queena yang duduk disisinya. Matanya memanas dan pandangannya mengabur karena air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Sungguh, ia tak bisa membayangkan bagaimana ibu kandung dari suaminya melewati masa-masa sulit itu.
"Kami, Ibu dan Sandra membawa kabur Alceena tepat pukul sepuluh malam." Clarissa tersenyum. "Terlahir dengan memiliki tiga saudara tidak memudahkan kami membawa labur Alceena waktu itu. Kami tidak pernah menyesal membawa kabur Alceena yang sudah dipastikan akan mendapatkan hal buruk menimpa kami pun Alceena sendiri. Tepat saat kami berhasil membawa Alceena keluar kamarnya-." Clarissa menangis tergugu. "Untuk pertama kalinya kami melihat Alceena tertawa bahagia seperti itu. Ibu bangga setidaknya meski kami membahayakan kondisinya, tapi dia terlihat sangat bahagia untuk pertama kalinya."
"Kami tidak akan pernah melupakan tawa bahagia untuk pertama kalinya yang Alceena tunjukkan pada kami, sahabatnya."
Queena tersenyum melihat binar bahagia terpancar dari mata ibu sambung suaminya itu. "Lalu ... Apakah, apakah keluarga ibu Alceena tau jika...-" gugup, Queena memandang Clarissa.
Clarissa tersenyum penuh arti. "Jika yang ingin kau tanyakan adalah bagaimana sikap keluarga besar Alceena saat tau berlian berharga mereka pergi untuk selama-lamanya?" Clarissa memandang Queena sejenak dan menatapnya penuh arti sebelum menghela nafas perlahan. "Mereka tau, dan mereka tidak perduli." Imbuhnya nyaris berbisik dengan tatapan menunduk dan bahu yang kembali bergetar.
Queena membelalak tak percaya dengan fakta yang di dengarnya. Bagaimana bisa keluarga besar ibu kandung suaminya itu bersikap tidak perduli. Dan, bukankah Clarissa mengatakan jika Alceena adalah berlian berharga keluarga Xavier? Tapi kenapa? Batin Queena kesal.
"Alceena memiliki tiga kakak kandung. Salah satunya Juan Xavier. Tentunya kau pasti mengenal siapa Juan Xavier? Pengacara yang karier dan kinerjanya yang tidak dapat diragukan lagi itu."
Lagi-lagi Queena dibuat terkejut dengan fakta itu. Siapa yang tidak mengenal pengacara besar sekelas Juan Xavier memangnya. Seketika hatinya membenci sang pengacara yang sempat beberapa kali Bastian sebutkan untuk membantu permasalahan di Abigail Candy dua bulan yang lalu. Dan untung saja, Bastian tidak memakai jasa Juan. Jika iya, Queena tak yakin jika suaminya akan baik-baik saja. Queena meyakini, jika sedikit banyak Alfian mengetahui fakta yang Clarissa sampaikan padanya saat ini.
"Tapi bu, memangnya penyakit yang diderita mendiang ibu Alceena tidak dapat disembuhkan?"
Clarissa menggeleng. "Tidak Q, dokter bilang penyakit itu sering sekali menipu kalangan dokter. Terkadang Alceena terlihat baik-baik saja. Tapi ternyata kenyataannya tak begitu. Bahkan dokter mengatakan jika kondisi yang diderita Alceena cukup langka dan termasuk penyakit baru. Meski ibu cukup bersyukur Alceena mampu bertahan cukup lama sampai usia Zayn tujuh belas tahun kala itu."
"Jadi, sampai saat ini pun penyakit itu tidak diketahui?" Ungkap Queena tak percaya. Ayolah, sekarang jaman sudah sangat canggih dan modern, tapi kenapa para dokter dan ilmuwan sebanyak itu di dunia ini tidak dapat menafsirkan penyakit apa yang di derita ibu kandung suaminya itu, memangnya apa saja sih kerjaan mereka selama ini? Pikir Queena geram.
Clarissa tersenyum pahit. "Iya Q, ibu juga merasakan hal yang sama sepertimu. Dan sekarang ibu mengerti kenapa keluarga Xavier amat melindungi bahkan terkesan memenjarakan Alceena."
"Apa mungkin saja penyakitnya itu lupus bu?" Queena tidak terlalu mengerti tentang ilmu kedokteran dan sangkut pautnya. Tapi dari cerita yang ia dengar dari Clarissa saat ini, ciri-ciri itu sama seperti lupus.
Lagi-lagi Clarissa menggeleng. "Tidak Q, dokter tidak berani menafsirkan itu. Karena penyakit Alceena cukup misterius. Terkadang dia ada, tapi terkadang juga tidak ada. Namun membahayakan nyawanya kapan saja." Tuturnya.
Queena menghela nafas. Ya Tuhan, andai saja ia sekolah kedokteran dulu. Yah... Queena berandai-andai. Sungguh, ia merasa jika hidup ini tidak adil.
"Lalu..." Queena tampak menatap canggung ibu mertuanya. Tapi sungguh pertanyaan yang hinggap di benaknya kini terasa sangat mengganggu.
Clarissa mengernyit saat menatap menantunya yang tampak ingin mengutarakan sesuatu namun tak nyaman.
Queena menunduk seraya menggeleng. "Tidak bu." Cicitnya.
Clarissa tersenyum penuh arti seakan mengerti sikap yang menantunya tunjukkan saat ini.
"Zayn berusia dua tahun waktu itu. Dan Alceena selalu menangis setiap kali menghubungi ibu." Ada senyum sendu yang menghiasi wajah ibu mertuanya itu.
"Alceena selalu mengeluh jika dia merasa tidak mampu mengurus Zayn dengan sempurna. Dan sebenarnya Damar tidak merisaukan itu. Dia begitu mencintai Alceena, dan penyakit Alceena bukanlah halangan untuk Damar menunjukkan betapa ia mencintai Alceena waktu itu."
Clarissa menatap Queena sejenak dengan tersenyum sendu. Tatapannya nampak keraguan untuk kembali melanjutkan cerita pagi itu. Dan Queena mengerti, ia tidak ingin terlalu menanyakan hal yang bersifat terlalu pribadi dalam hubungan mertuanya itu, terlepas Clarissa sahabat dari Sandra sekalipun. "Entah kenapa, sejak usia Zayn menginjak dua tahun. Alceena selalu mengundangku ke rumah ini. Mendekatkan Zayn dan juga Damar padaku."
Queena mengangkat kedua alisnya tinggi. Sikap tanpa suara itu seakan menyiratkan keterkejutan besar atas fakta yang dikatakan Clarissa.
Clarissa menghembuskan nafas perlahan dengan senyum sendu yang masih setia menghiasi wajahnya yang masih terlihat ayu di usia yang tak lagi muda itu. "Ibu tentunya bukan wanita yang bodoh waktu itu. Ibu tau alasan Alceena berlaku demikian. Zayn memang dekat dengan ibu bahkan sangat dekat waktu itu. Dan tentunya ibu bahagia jika Zayn dekat dengan ibu."
Clarissa menangis pilu dengan bahu yang bergetar hebat pagi itu. Dan Queena dapat merasakan betapa hati ibu sambung suaminya itu tidak baik-baik saja.
"Ibu cukup nyaman dengan kedekatan ibu dan Zayn waktu itu. Tapi, ketakutan yang ibu rasakan setiap berkunjung ke rumah ini ternyata benar terjadi." Clarissa menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Alceena memintaku menikahi Damar." Imbuhnya parau.
Queena tertegun, usapannya pada punggung sang ibu mertua sejenak terhenti. Jawaban yang dicarinya selama ini terjawab sudah dan benar saja. Semua itu membuatnya begitu terkejut.
"Ibu menolak keras usulannya waktu itu tentu saja. Itu adalah ide tergila yang pernah ibu dengar dari Alceena. Tapi, lagi-lagi Alceena berhasil membuat ibu dan juga Damar menuruti permintaan gila nya itu."
Queena masih setia mengusap punggung ibu mertuanya lembut. Tangisannya seakan menyiratkan perasaan lain, dan Queena menebak jika ibu mertuanya itu sangat mencintai Damar yang saat ini adalah suaminya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...