Queena semakin mengeratkan pelukan dalam tidurnya yang terasa sangat nyaman itu. Untuk sesaat ia terbuai, namun tiba-tiba ia mengerjap saat kesadaran menyentak dalam sekejap. Matanya terbuka dan menatap dada bidang suaminya serta tangan yang memeluk erat melingkari tubuhnya.
Queena mengangkat sedikit kepalanya untuk menatap wajah suami yang masih terlelap pagi itu. Ia menghela nafas pelan. Kemarahannya semalam tiba-tiba menguap kala menatap pada wajah tenang dan polos suaminya yang tertidur. Tampan dan ramah, itulah kesan pertama saat Queena menatap suaminya kala terlelap.
Queena mengusap pelan wajah suaminya. "Sebenarnya kenapa kau pulang terlambat kemarin, милая (milaya)?" Gumamnya.
Perlahan Queena melepaskan pelukan erat suaminya, ia bahkan sempat meringis kala sakit kepala itu kembali terasa setiap paginya. Sejenak ia memijit pangkal hidungnya sebelum bergegas ke kamar mandi sekedar untuk membersihkan diri.
Setengah jam Queena membersihkan diri. Berjalan keluar kamar mandi dengan senyum yang tercetak seraya mengelus lembut perutnya yang masih rata itu. Ia bersyukur jika anaknya tidak membuat ibunya mual-mual. Netra Queena yang menunduk seketika tersentak saat melihat sepasang kaki yang tengah berdiri di depannya. Senyumnya memudar, melihat suaminya menatap penuh penyesalan itu seakan membuat sisi egois Queena ingin bertindak.
Alfian berjalan mendekat dengan sedikit menunduk ia mengelus pipi Queena yang pucat dengan rona merah yang semakin jelas terlihat setiap Alfian menatapnya.
"зая (zaya)." Ucap Alfian penuh sesal.
Queena mengalihkan pandangan yang sesaat tadi terkunci oleh netra berwarna cokelat terang milik suaminya itu. Ia masih marah. Jujur saja Queena kesal. Tidakkah suaminya itu berfikir jika ia begitu mengkhawatirkannya tadi malam? Batin Queena.
Alfian menyentuh dagu Queena dan menarik wajahnya pelan hingga istrinya itu kembali menatap padanya.
"зая (zaya), maaf." Ujar Alfian yang masih sarat akan penyesalan.
Queena mendengus pelan. Matanya memanas seketika pandangannya mengabur dengan air mata yang saling berdesakan dan berlomba untuk menuruni pipi.
Alfian terkejut, ia menatap sendu pada istrinya yang menangis karenanya itu. Ia menarik Queena ke dalam pelukannya dengan mengelus lembut dan tak hentinya mengecup puncak kepala istrinya, Queena.
"Apa kami tidak penting lagi bagimu?" Tanya Queena dengan suara yang bergetar.
Alfian sejenak menegang, ia melepas pelukannya pada Queena. lalu menggeleng dan mengecup bibir istrinya berlanjut mengecup kedua mata yang tengah menangis karenanya itu.
"Kau dan anak kita adalah hal terpenting bagiku. Kumohon jangan bertanya hal seperti itu."
Queena bergeming, ia masih berdiri dengan tangisan tanpa suaranya itu. Dan jelas itu adalah tangisan yang paling menyakitkan bagi Queena pun bagi Alfian sendiri yang mendengarnya.
"Kumohon maafkan aku, aku berjanji tidak akan mengulanginya зая (zaya), please. Berhentilah menangis." Tutur Alfian penuh sesal dengan jemari yang menghapus air mata istrinya.
"Tidakkah kau mengerti jika aku begitu mengkhawatirkanmu?" Geram Queena. "Aku ... aku, aku hanya takut jika ..., jika apa yang menimpa Andrean terjadi padamu." Ungkap Queena dengan suara bergetar dan tangis yang kembali tergugu.
Alfian tertegun. Ia tidak terfikirkan jika istrinya akan berfikir sejauh itu. Dan sekali lagi, dia kembali menyesal karena menemui Luna tanpa memberitahu istrinya dulu. Sejujurnya Alfian berniat mengatakan pada istrinya itu pagi ini. Namun jika melihat kondisi Queena dengan tangis begitu tergugu, Alfian mengurungkan kembali niatnya.
"Maaf, maafkan aku. Kumohon berhentilah menangis."
Queena memeluk erat suaminya, entah kenapa kemarahan tadi seakan menghilang tatkala matanya menangkap penyesalan dari sorot mata suaminya itu. Kini yang tersisa hanya ketakutan ditinggalkan Alfian. Sungguh, Queena takut jika apa yang terjadi pada Andrean akan dialami suaminya saat malam tadi.
"Aku mencintaimu Fian. Kumohon jangan pernah pergi seperti Andrean pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua."
Alfian kembali tertegun, bodohnya dia membohongi dan meninggalkan istrinya tanpa kabar malam kemarin.
"Kau adalah hal yang paling berharga bagiku, dan akan selalu begitu sampai kapanpun зая (zaya)." Tutur Alfian lembut.
Tangis Queena sedikit mereda. Matanya yang sembab berkedip menatapi suaminya. Dan tentu saja semakin membuat Alfian gemas melihatnya.
Queena meringis dan memijat kepalanya pelan. Sakit kepalanya tak kunjung hilang meski tak merasakan mual-mual. Dan semua itu membuat Alfian menatap khawatir pada istrinya, dengan cepat ia memangku Queena dan membawanya untuk duduk di pinggir ranjang bersamanya.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Alfian khawatir.
Queena mengangguk pelan. "Ini sudah biasa terjadi setiap pagi sejak satu bulan yang lalu."
Alfian menatap sendu pada istrinya itu. Dan lagi-lagi ia merasa jahat telah membohongi istri tercintanya. Tidak, tidak. Dia bukan berbohong. Hanya saja belum berani mengatakan kejadian sebenarnya tentang menghilangnya kabar Alfian semalam.
"Apa perlu kita ke dokter hari ini?"
Queena menggeleng dan menatap pada jam di atas nakas di samping tempat tidur. Matanya menatap terkejut kala melihat jam yang menunjukkan hampir pukul delapan itu.
"милая (milaya), apa kau tidak berangkat ke kantor hari ini?"
Alfian tersenyum lembut dan mengusap pipi Queena dengan ibu jarinya. "Aku mengajukan cuti pada ayah hari ini."
Queena mengangkat kedua alisnya tinggi menuntut penjelasan.
Alfian lagi-lagi tersenyum dan mengecup singkat bibir istrinya yang terbuka seakan mengundang hasratnya yang lain pagi itu.
"Aku hanya ingin menghabiskan satu hari ini denganmu. Apa ada yang kau inginkan? Kita bisa pergi berjalan-jalan mungkin?" Tuturnya.
Queena menatap tajam suaminya, "apa hari ini tidak ada meeting penting? Atau ... atau mungkin ada berkas penting yang harus kau tandatangani?"
"Hei hei. зая (zaya), Megantara bukan hanya aku. Ada ayah yang masih menjadi pemilik sah dari perusahaan kami. Bahkan ada Julian juga disana untuk membantunya."
Queena menghembuskan nafas perlahan. Bahunya terkulai lega. Ia sungguh tak ingin dikatakan sebagai perempuan hamil yang manja hingga membuat suaminya mangkir dari tanggung jawab pekerjaannya.
"Syukurlah jika aku tidak mengganggu waktumu."
Alfian tertegun, kalimat yang dikatakan istrinya itu tidak tepat di rungu Alfian. Ia menggeleng seraya tersenyum. "Bagiku kau lebih dari segalanya зая (zaya), waktuku adalah milikmu. Kapanpun kau inginkan itu."
"Apa kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku?"
Alfian mengangguk yakin. "Meninggalkanmu adalah hal yang paling mustahil kulakukan. Bahkan kalimat itu tidak akan pernah ada di dalam pikiranku sekalipun." Alfian menatap lurus pada netra istrinya. "Apa.... apa kau ... meragukanku?"
Queena membelalakkan matanya seraya menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Aku tidak pernah meragukanmu. Aku hanya tidak ingin kembali merasakan kehilangan kabarmu seperti semalam. Kau membuatku sangat khawatir."
Alfian kembali menghela nafas seraya menatap lurus nan sendu pada netra istrinya. "Aku mencintamu зая (zaya), bahkan mungkin melebihi rasa cintamu padaku. Aku tidak akan pernah memaksa ayahmu untuk menikahkanmu denganku jika akhirnya aku akan meninggalkanmu." Ungkap Alfian jujur.
Queena tertegun. Tatapannya melebar tak percaya mendengar penuturan dari Alfian yang baru pertama kali ia dengar itu. Apa ia tidak salah dengar? Alfian memaksa ayahnya? Benarkah itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...