semakin dekat

2 0 0
                                    

Alfian menatap lembut Queena yang tertidur di sofa yang tak jauh dari meja kebesarannya itu. Alfian sungguh merasa bersalah kala menatap benda bulat di lengan kirinya yang menunjukkan waktu pukul 16.50. dan ia tak mengira jika pekerjaannya ternyata akan sebanyak itu hari ini.

Ia berjalan mendekat dan menyentuh lembut pipi istrinya. "Maaf membuatmu lelah karena menunggu." Gumamnya lembut.

Queena terusik dari tidurnya. Matanya mengerjap karena silau penerangan di ruangan Alfian. Ia tersenyum kala mendapati sang suami tengah berada di depannya dan tersenyum lembut. "Apa aku tertidur cukup lama?" Ucapnya serak.

Alfian tersenyum dan mengecup singkat puncak kepala istrinya. "Tidak Q. Maaf jika kau lelah menungguku hari ini." Tuturnya seraya tersenyum lembut.

Queena menggeleng. "Aku tidak keberatan jika setiap hari berada di dekatmu dan menunggumu seperti ini."

Queena menatap heran suaminya, entah kenapa ia merasa penampilan suaminya ada yang kurang. Namun ia cukup terkejut sesaat kemudian kala mendapati jas Alfian tengah menyelimuti sebagian tubuhnya. Queena mengulum senyum seraya memeluk jas suaminya, Alfian. Perlakuan Alfian yang sederhana itu nyatanya membuat Queena semakin mencintai sosok yang saat ini menjadi suaminya.

Queena menghambur memeluk suaminya, Alfian. Ia masih tidak percaya jika Alfian adalah suaminya kini. Sungguh ia takut jika sewaktu-waktu semua kebahagiaan ini hanyalah mimpi.

"Ada apa?" Tanya nya lembut.

Queena menggeleng, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Alfian. Ia menyadari apa yang dia lakukan saat ini karena spontanitas. Betapa ia mencintai sosok di hadapannya itu hingga membawanya memeluk Alfian tanpa bisa ia cegah.

"Apa pekerjaanmu sudah selesai?"

Alfian merenggangkan pelukannya. Jemarinya mengelus pipi Queena seraya menatapnya lembut. "Untuk hari ini selesai. Sepertinya hari sudah mulai petang."

Queena menatap benda pipih di lengan kirinya dan tatapannya melebar kala mengingat janji temu mereka dengan Eldrich.

"Hari ini dia tak jadi berkunjung." Jelas Alfian seakan mengerti keterkejutan Queena.

Queena menatap Alfian heran. Ia menaikkan kedua alisnya menuntut penjelasan.

"Dia mengirim pesan singkat padaku." Tunjuk Alfian.

"Dari mana dia tau nomormu?"

Alfian mengedikkan bahunya. Sejujurnya dia malas jika membahas pria lain, apalagi Eldrich. Katakanlah dia cemburu dan kekanakan. Tapi, ayolah. Bagaimana dia bisa tenang jika ia menyadari sorot mata penuh cinta Eldrich kala menatap istrinya itu.

"Bisa saja ayah memberitahukannya." Jawab Alfian asal.

Queena tampak menganggukkan kepalanya.

"Sebaiknya kita segera pulang. Hari sudah mulai gelap." Tutur Alfian seraya bangkit meninggalkan Queena yang masih setia duduk di sofa.

"Jas mu." Cicit Queena.

Alfian berbalik dan mengambil jas dari tangan Queena. Namun, sesaat Queena terlonjak karena perlakuan Alfian yang begitu terasa manis itu. Alfian memakaikan jas kebesarannya untuk sekedar menghangatkan sebagian tubuh istrinya itu. Sungguh Alfian akan merasa sangat bersalah jika membiarkan dress yang tak menutupi lengan Queena. Membuat istrinya itu kedinginan.

"Terima kasih." Cicit Queena.

Alfian tersenyum lembut dan mengecup kening istrinya sekilas. Ia pun menarik bahu Queena untuk sekedar mendekatkan jarak keduanya.

Queena mengulum senyum saat mendapati perlakuan Alfian. Entah kenapa ia merasa dilindungi saat ini. Suaminya yang dingin itu ternyata sangat manis dan penuh kehangatan. Fikirnya. Sejenak ia terfikirkan suasana nanti malam. Ia menggigit bibirnya, bayangan Alfian yang akan memperlakukan dan menyentuhnya nanti dengan sangat lembut membuat darahnya berdesir.

"Aku....." Queena menggantungkan kata-katanya kala mereka berada dalam perjalanan kembali ke kediamannya.

Alfian melirik istrinya penuh tanya.

"Aku lapar. Bolehkan kita mampir sebentar ke restoran terdekat?" Cicitnya.

Tawa Alfian mengudara. Tangan kirinya terulur mengusap puncak kepala istrinya, Queena. "Tentu. Rencanaku pun seperti itu."

Queena meringis. Ia menatap malu suaminya.

Alfian menepikan kendaraan beroda empat miliknya saat mereka berada di pelataran parkir sebuah restoran. Ia membukakan seatbelt Queena serta membukakan pintu untuknya.

Queena merasa bahagia kala Alfian memperlakukannya dengan lembut bak seorang ratu. Matanya memanas. Ia terharu dan menitikkan air mata kala menatap Alfian.

"Ada apa?" Tanya Alfian lembut.

Queena menggeleng. "Aku bahagia kau menjadi suamiku. Fian." Tuturnya.

Alfian tersenyum dan memeluk pinggang Queena. Ia berbisik namun ramai restoran membuat Queena tak jelas mendengar perkataan Alfian. Ia hanya menangkap kalimat terakhirnya. "Karena itulah aku menikahimu."

"Apakah gaun pernikahan kita yang ku pesan dulu sudah selesai?" Tanya Alfian di sela makan malam mereka.

Queena mengulum senyum mendengar gaun pernikahan yang disebutkan Alfian nyatanya adalah milik mereka.

"Sedikit lagi."

"Apa bisa selesai akhir bulan ini?" Tanya Alfian lagi.

Alis Queena bertaut, dia tak memahami pertanyaan Alfian. Kenapa harus akhir bulan ini? Apa pertanyaan yang tiba-tiba hinggap di benaknya sungguh akan terjadi?

Seakan memahami raut tak mengerti yang terlukis di wajah istrinya. Tangannya terulur dan menggenggam tangan Queena yang nampak kecil dalam genggamannya. "Aku berencana meresmikan pernikahan kita akhir bulan ini." Tuturnya lembut.

Tatapan Queena membola. Ia membekap mulutnya tak percaya. Matanya tiba-tiba menghangat. Air mata haru memenuhi pelupuk matanya yang siap membanjiri pipi kapan saja.

"Maaf melamarmu dengan cara seperti ini. Aku berencana membicarakan ini esok hari dan membawamu ke restoran yang lebih romantis. Namun ... Kurasa....." Alfian menatap lurus istrinya, Queena. "Kurasa, aku tidak bisa menunggu sampai besok."

Queena menangis haru. Ia sungguh bahagia mendengar penuturan suaminya itu.

Alfian nampak membenarkan posisi duduknya. Kedua tangannya turut menggenggam tangan yang terasa kecil di genggamannya itu. Ia menatap lurus Queena yang terlihat menangis haru. "Queena Abigail Hito. Will you be my wife forever?" Ucapnya seraya mengeluarkan cincin bertahta blue diamond yang tak terlalu besar namun terlihat sangat cantik.

Queena menangis haru mendengar Alfian melamarnya seperti ini. Ia bahkan tidak perduli situasi seperti apa yang mereka jalani saat Alfian melamarmya. Ia akan tetap bahagia jika Alfianlah orangnya.
Ia mengangguk cepat. "Kenapa ucapanmu tidak 'will you merry me?"

Alfian tersenyum. Ia mengacak lembut puncak kepala istrinya itu. "Bukankah kita sudah menikah sayang?" Jawabnya jenaka seraya memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Queena. Alfian menarik dan mengecup lembut tangan kiri istrinya itu.

"Terima kasih милая (milaya)" ucap Queena malu-malu.

Alfian tertegun, ia tak menyangka jika Queena memanggilnya dengan sebutan itu. Darahnya berdesir mendengar istrinya memanggilnya dengan panggilan itu.

"As you wish. зая (Zaya)." Jawab Alfian lembut.

Queena menaikkan alis tak percaya. Alfian memanggilnya semanis itu. Hatinya berdegub kencang tanpa mampu ia cegah. Jika saja bukan di tempat umum. Queena pastikan ia akan segera memeluk dan menciumi Alfian bertubi. Ia menggigit bibirnya pelan. Bisakah mereka segera kembali ke kediaman mereka? Queena sungguh tak sabar memberikan yang terbaik untuk Alfian malam ini. Fikir Queena.

"Segera habiskan. Aku tidak ingin terlalu lama untuk tidak segera memelukmu зая (Zaya)." Ungkap Alfian yang tentu saja menghadirkan semburat merah yang menghiasi kedua pipi istrinya itu.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang