menunggu

0 0 0
                                    

Malam menjelang, cuaca terasa dingin. Dan entah kenapa Queena merasa lelah bahkan tanpa melakukan apapun. Selama ia menginap di kediaman utama Megantara ini, ia benar-benar hanya berdiam diri. Sang ibu mertua, Clarissa. Benar-benar memanjakannya tiga hari ini.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Dan suaminya belum kunjung juga pulang. Saat makan malam tadi pun, bahkan Damar juga Julian sudah ada di rumah itu. Tapi kenapa tidak dengan suaminya, Alfian.

Berkali-kali Queena membuka aplikasi chat di ponsel berwarna sierra blue miliknya. Dan berkali-kali juga kecewa menderanya. Tidak ada satupun pesan dari suaminya disana. Bahkan jawaban adik iparnya sore tadi pun tak cukup membuat kekhawatiran Queena malam ini menghilang.

"Apa meeting bisa selama ini?" Queena bertanya-tanya tentang keterlambatan suaminya untuk kali pertama seperti ini.

Berdiam diri di dalam kamar tak membuatnya merasa nyaman, bahkan cenderung semakin tak tenang. Keterlambatan Alfian saat ini membawa berbagai tanya hinggap di benaknya. Ia berjalan menuruni tangga dan mendapati adik iparnya tengah menonton siaran di televisi.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Julian saat melihat kakak iparnya tampak suntuk dan sarat akan khawatir.

Queena menghempaskan diri duduk di samping Julian beserta menarik camilan yang berada di tangan adik iparnya itu hingga Julian sedikit merengut dengan alis terangkat penuh tanya.

"Ada apa?" Tanya Julian lagi.

"Apa kau yakin Zayn meeting sampai malam?" Tanya Queena dengan mata menatap layar televisi namun ia sama sekali tidak fokus dengan acara itu sendiri.

Julian melirik pada jam dinding di sebelah kanan nya yang menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit, dan cukup membuatnya terkejut. Menghela nafas sesaat, ia menatap bingung pada kakak iparnya. Apa yang harus ia katakan supaya kakak iparnya itu tidak merasa khawatir seperti saat ini.

"El?" Tanya Queena penuh tuntutan.

Julian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pasalnya dia sendiri pun tak yakin dengan yang ia fikirkan. Sore tadi tepat pukul empat sore. Alfian hanya mengatakan jika dia ada meeting dengan klien yang Julian tau jika klien tersebut sama sekali bukan membahas proyek besar. Tapi kenapa bisa sampai selarut ini. Pikir Julian.

"Mungkin saja meetingnya cukup penting." Tutur Julian tak yakin.

Queena mengerutkan keningnya. Ia menghembuskan nafas kasar. Mencoba kembali melihat pada aplikasi chat di ponsel yang sialnya masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada pesan dari suaminya disana.

"Zayn tidak pernah terlambat seperti ini tanpa memberitahu apapun padaku sebelumnya." Tutur Queena kesal.

"Kau tidak perlu berfikir yang tidak-tidak. Bang Zayn tidak akan melakukan hal-hal yang ada di fikiranmu itu." Ungkap Julian.

Queena mengalihkan pandangan dari layar televisi ke arah Julian. Ia menatap kesal pada adik iparnya itu. Entah kenapa kata-kata Julian membuatnya semakin kesal.

"Kau sama sekali tidak membantu El." Tukas Queena.

Julian menghela nafas pelan. "Percaya padaku. Bang Zayn bukan pria seperti itu."

Queena menyipitkan matanya. "Seperti itu bagaimana maksudmu?"

"Ya seperti yang otak kecilmu itu fikirkan." Jawab Julian.

"Kau mengatakan aku bodoh?" Geram Queena.

Tawa Julian mengudara. "Aku tidak mengatakanmu bodoh."

Queena mendengus kesal. "Tolong tanyakan pada Zayn. Apa meeting itu sudah selesai?"

Julian mengusap tengkuk dan meringis. "Kurasa kau salah meminta tolong padaku."

"Apa yang salah memangnya? Ayolah, beberapa pesanku dan teleponku sejak sore tadi bahkan belum ada satupun yang dibalas olehnya."

"Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin saja jalanan macet." Tutur Julian.

Queena kembali merengut. "Tidak mungkin El, biasanya dia mengabariku setiap saat bahkan ketika dia hendak pulang larut." Queena menghembuskan nafas kasar. "Cepatlah El, kenapa kau terlihat enggan sekali menolongku."

Julian berdecak, dan menuruti permintaan kakak iparnya itu dengan enggan. Kenapa Queena sama sekali tidak mengerti atau memang sengaja pura-pura tidak melihat hubungan Julian dengan suaminya itu yang telah beku sejak lama. Dan mana mungkin dia mengirimkan pesan atau menelpon kakaknya itu malam-malam seperti ini.

"Baiklah-baiklah. Kau merepotkan sekali."

Bahu Queena bergetar dan mengusap pelan pipinya yang basah oleh air mata yang sudah ia tahan sejak tadi.

"Hei-hei, jangan menangis seperti itu. Kau membuatku terlihat jahat sekali. Bagaimana jika ibu melihatmu menangis saat tengah bersamaku seperti ini? Bisa-bisa ibu akan memarahiku."

"Aku mengkhawatirkan suamiku. Kau tidak akan mengerti, makanya segeralah menikah. Dan aku yakin kau akan menarik kata-katamu barusan El."

Julian mengacak rambutnya kasar. Ayolah, menuruti permintaan kakak iparnya tadi saja membuatnya cukup repot. Dan apalagi harus melihat seorang wanita menangis di depannya seperti ini? Ya Tuhan, kenapa kaum hawa itu senang sekali menangis dan nampak rapuh. Benar-benar merepotkan. Batin Julian.

"Aku sudah mengatakan pada kakakku tentang kau yang khawatir menunggunya tanpa kabar seperti ini. Jadi ayolah, berhenti menangis seperti anak kecil. Tunggulah sebentar lagi, mungkin benar kataku tadi. Jalanan tengah macet."

Tangis Queena semakin menjadi. Ia tak perduli dengan keadaannya yang nampak rapuh di hadapan adik iparnya itu. Entah kenapa tiba-tiba saja hatinya melankolis seperti ini. Mungkin efek dari anak Alfian yang tengah merindukannya dan si ayah tidak memberi kabar apapun padanya. Awas saja, ia tak akan memaafkan Alfian untuk malam ini. Batin Queena kesal.

"Ya Tuhan Queena. Kau calon ibu atau bukan? Kenapa tangismu malah semakin menjadi seperti ini?"

Queena mendelik pada adik iparnya itu. "Kau jahat sekali. Pantas saja tidak ada wanita yang tertarik padamu."

Tatapan Julian melebar. Ia menatap kakak iparnya tak percaya. Menghela nafas sesaat. "Kau benar-benar. Bukankah aku sudah membantumu. Bisakah kau berhenti menangis. Kau bisa saja membangunkan ibu dan ayah. Aku tidak ingin terlihat jahat membuat ibu hamil menangis."

"Kau memang jahat Julian. Lihat saja, aku akan meminta ibu untuk segera menikahkanmu dalam waktu dekat."

Julian berdecak. Dia lebih memilih diam dan kembali fokus pada layar televisi yang sejak tadi ia pun tak terlalu memperhatikan acara disana. Tangis kakak iparnya benar-benar terdengar mengganggu.

Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Dan Alfian belum juga terlihat batah hidungnya. Queena bahkan sudah terlelap di samping Julian karena lelah menangis.

"Akhirnya kau berhenti juga." Gumam Julian.

Julian menghela nafas, ia tak habis fikir tentang kakaknya yang tidak ada kabar sejak sore tadi itu. Apa dia tidak merindukan istrinya atau bahkan calon anaknya. Sungguh, Julian benar-benar tak nyaman melihat posisi tidur kaka iparnya itu. Ada rasa ingin memindahkan sang kakak ipar ke kamarnya. Tapi ayolah, ia tak ingin jika Alfian tiba-tiba pulang dan melihat Julian melakukan itu. Ia sangat yakin jika itu terjadi. Maka Alfian pasti akan marah besar dan berfikir hal-hal yang semakin membuat hubungannya menjauh.

Deru mobil memasuki halaman rumah mengejutkan sekaligus membuat Julian menghela nafas lega. Ia yakin, jika itu Alfian. Namun, kenapa kakaknya itu baru kembali bahkan saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam.

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang