Pagi ini semangat Queena kembali terisi penuh berkat bantuan Eldrich. Yah secara tidak langsung cake Princess berhasil mengembalikan semangat yang sempat hilang kemarin.
"Baiklah, mari kita coba untuk hari ini. Kira-kira apa yang harus aku berikan siang ini ya?" Queena bergumam sembari melihat beberapa resep yang menurutnya dirasa mudah. Namun, entah kenapa siang ini Queena ingin sekali memberikan Alfian makanan kesukaannya.
Dengan senyum sumringah, Queena cekatan membuat makanan kesukaannya. Ia ingin melihat reaksi Alfian memakan cake yang ia buat. Queena sangat pintar membuat cake yang ia sukai, berbekal dengan semua rasa cake yang sudah ia coba dari banyak tempat dan kegigihannya melahirkan ia yang paling pandai membuat red velvet versi Queena tentu saja.
Tak perlu waktu lama, Red Velvet pun jadi. Ia kemas dengan apik dan tak lupa pula ia siapkan earl grey tea yang dirasa cocok saat memakan red velvet.
"Baiklah, mari kita lihat ekspresi apalagi yang akan Alfian lukis di wajah juteknya itu. Ya Tuhan, rasanya aku tidak sabar."
Seperti biasa Queena menarik nafas panjang serta merafalkan beberapa kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri. Sebelum ia bertemu kekasih hatinya itu.
"Siang Agnes." Sapa Queena ramah
Agnes tersenyum "syukurlah kau baik-baik saja Q, aku khawatir dua hari ini karena tidak melihatmu. Dan semoga kehadiranmu bisa mencairkan suasana Pak Alfian."
Alis Queena bertaut. Dia merasa heran dengan kalimat terakhir Agnes. Tapi tak apa, menurut Queena semua amarah akan lenyap saat memakan cake. Meski orangnya sedingin Alfian pun.
"Selamat siang Fian."
Alfian tertegun di sela kesibukannya dengan beberapa dokumen yang berserakan dan jelas sekali ia nampak kacau seperti kata Agnes. Terdengar helaan nafas lega dari seorang Alfian.
"Aku membawakan sesuatu yang sepertinya cocok menemanimu yang terlihat kacau." Queena sedikit tersenyum kikuk.
Alfian tersenyum kecil, entah kenapa suasana hatinya sedikit terasa ringan.
"Duduklah."
Queena tersenyum lembut sekali mendengar ucapan yang berbeda dari biasanya itu. Entah kenapa satu kata itu terdengar sedikit lembut.
Dengan cekatan Queena mengeluarkan cake kesukaannya yang sudah terpotong rapi, disertai dengan teh yang masih hangat.
"Makanlah, aku jamin ini akan terasa enak." Pinta Queena penuh percaya diri.
Alfian beranjak dari kursi kebesarannya dan duduk di samping Queena. Dan tentu saja Alfian selalu diluar prediksi Queena, entah kenapa akhir-akhir ini Alfian sedikit lebih lembut padanya.
"Bagaimana? Ini kue buatanku sendiri, asal kau tau." Kata-kata Queena terdengar jenaka d rungu Alfian.
Entah kenapa cake dan teh yang dibawa Queena terasa meringankan bebannya akhir-akhir ini.
"Terima kasih." Jawabnya lembut
Queena menatap tak percaya, apakah yang ia dengar sesaat tadi itu nyata adanya? Apakah bisa ia anggap semua itu sebagai lampu hijau dan angin segar baginya?
Queena terlalu takut akan kepercayaan diri ini."Dulu, setiap aku merasa lelah dan hari dirasa begitu berat, Mas Andrean selalu menemaniku minum teh dengan cake ini. Jadi kurasa kau juga akan merasa lebih baik Fian."
Air muka Alfian berubah saat itu juga, entah kenapa tiba-tiba suasana hatinya dipenuhi amarah. Ia meletakkan piring yang masih tersisa sedikit potongan cake itu dan menyimpan sendok sedikit kasar hingga terdengar bunyi sendok dengan piring yang beradu. "Aku sempat mengira semua ini untukku, jika kau kembali kesini hanya untuk melihat bayangan Andrean. Maka, jangan harap aku mengizinkanmu kembali berkunjung. Perlukah aku tegaskan lagi? Aku Alfian, ALFIAN MEGANTARA."
suara Alfian memang pelan, namun mengintimidasi dan sorot mata penuh emosi itu benar-benar melukai Queena. Sungguh, Queena tak pernah melihat Alfian semarah itu, bahkan ketika kesalahannya dulu.
Queena menatap nanar pada Alfian, "sebenci itukah kau padaku Fian? Setidak berartikah usahaku selama ini untukmu?"
Alfian tertegun, ia benar-benar lepas kendali kali ini. Dan lihat, dia melukai mata itu, tatapan yang biasanya hangat pun kini benar-benar menyiratkan luka serta kecewa. Seharusnya Alfian tau, seharusnya Alfian mengerti maksud Queena. Tapi emosi tiba-tiba menguasainya. Apakah ia sudah gila? Tak biasanya ia lepas kendali seperti ini.
"Baiklah, aku jamin ini adalah kedatanganku yang terakhir, terima kasih." Queena pergi tanpa sedikitpun menatap Alfian.
"Aaaarrrggghhhh" teriakan Alfian disertai suara pecahan kaca terdengar hingga meja Agnes.
Alfian menyugar rambutnya, ia tidak percaya bisa setidak terkendali ini. Sedari kecil ia piawai mengontrol emosinya. Ia benar-benar tidak percaya sebenarnya ada apa dengan dirinya.
Suara gaduh dari ruang Alfian membuat Rein yang berada di ruangan sebelahnya terganggu. Sebagai sahabat Alfian, Rein tak pernah melihat sahabatnya itu terlalu emosi seperti saat ini.
"Ada apa sebenarnya bung?" Tanya Rein sesaat ia mematung melihat kekacauan di ruangan Fian.
Alfian tidak menjawab, ia hanya kembali bergelut dengan beberapa dokumen yang sedari tadi ia abaikan.
"Jangan sentuh cake itu." Tegas Alfian sesaat sebelum Rein memakan sepotong red velvet yang berada d atas meja.
Rein tersenyum licik, "jadi masalahmu ada pada kue ini atau pemberi kue bung?"
"Selama Aku berteman denganmu, baru kali ini aku melihatmu lepas kendali, Fian."
Alfian melempar sembarang dokumen ke atas meja. Ia menyugar rambutnya kasar. Sungguh ia sendiri pun tak mengerti ada apa dan kenapa dengan dirinya itu.
"Aku harap kau tidak melukainya dengan ke-egoisanmu."
Alfian menghembuskan nafas kasar dan menunduk. Tatapannya sendu, dan Rein tau betul apa yang telah dilakukan sahabatnya itu.
Rein menarik nafas dalam "jangan bilang kau cemburu."
Alfian menatap Rein tajam. Apa katanya tadi? Cemburu? Atas dasar apa Alfian cemburu.
"Ya aku tau Queena Abigail Hito melihatmu sebagai bayangan Andrean. Dan kau cemburu pada orang yang bahkan sudah tidak ada lagi di dunia ini bung. Kau benar-benar tidak waras."
Tatapan Alfian terlihat menyelidik Rein. Dari mana sebenarnya anak ini tau betul kejadian siang ini. Padahal Alfian tidak menceritakan apapun.
"Jangan heran kenapa aku bisa tau, kau kira aku mengenal seorang Alfian baru setahun? Ayolah bro, dua hari ini aku perhatikan kerjamu uring-uringan. Dan itu bertepatan dengan tidak adanya Queena datang berkunjung. Kalo memang kau mencintanya kenapa tidak langsung kau katakan saja. Bukankah sudah jelas dia juga mencintaimu bung."
"Wanita itu rumit, dan tugasmu sebagai pria meluruskan hati dia. Yakinkan dia kalo di depannya itu Alfian Megantara, bukan orang lain atau Andrean. Sesederhana itu saja kau payah bung. Dan biar aku tebak, kau berlaku sebaliknya bukan? Kau membuatnya takut dan salah faham." Tambah Rein
"Ayolah, Tugasku sebagai pengacara perusahaan, kenapa juga menjadi penasehatmu harus turut menjadi tugasku Fian? Tuhan ... Kenapa Engkau memberikanku sahabat yang payah. Ganteng sih iya, tapi payah."
Alfian melempar balpoin yang mengenai kepala Rein, ia benar-benar tidak menyangka Rein mampu mengerti isi kepalanya. Sahabat memang mengerikan bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reflection
RomanceQueena Abigail Hito. Ya, dia seorang gadis yang selalu merasa sendiri. namun, tidak lagi setelah Ia bertemu dengan sosok yang menggerakan kembali hatinya yang beku dan dipenuhi dendam. "baiklah pak Alfian. Kita lihat, seberapa kuat anda bertahan de...